sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Antara musisi cover, Portamento, dan hak kaum pencipta

Pemerintah tengah menyusun regulasi untuk memastikan kaum musisi mendapatkan royalti dari karya mereka yang dieksploitasi secara komersial.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 18 Okt 2020 18:14 WIB
Antara musisi cover, Portamento, dan hak kaum pencipta

Sejak wabah Covid-19 merebak, Titus Yoan Benedictus kian aktif di YouTube. Jika biasanya ia hadir dengan kuliah-kuliah singkat di bidang hukum, kini Titus mulai rajin mengisi kanal YouTubenya dengan video meng-cover lagu-lagu populer.

"Saya mulai (cover lagu di YouTube) pada 2020 ini. Biar orang-orang enggak bosen aja," ujar pria berusia 26 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (16/10). 

Titus kian rajin bermusik di YouTube lantaran sang adik juga hobi nyanyi. Belakangan, Titus kerap mengiringi sang adik tampil di kanal Youtubenya menyanyikan lagu-lagu berbahasa Mandarin. 

Sebagaimana YouTuber lainnya, Titus tidak memungkiri jika ia berharap konten musik yang ia tayangkan "viral". Dengan begitu, subscriber-nya terus bertambah dan kerjanya sebagai YouTuber bisa mulai dihargai dengan rupiah. 

Meskipun video yang ia tayangkan biasanya ditonton hingga ribuan orang, Titus baru punya sekitar 500 subscriber. "Karena syaratnya harus sampai 1.000 subscriber," ujar pria lulusan Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret itu. 

Sebagai orang yang paham soal hukum, Titus mengakui urusan membawakan ulang sebuah lagu di YouTube potensial berpolemik. Sang pemilik karya, kata Titus, bisa saja protes karena lagunya dibawakan tanpa izin. 

"Lagu itu hak kekayaan intelektual yang harus dihargai. Jangan sampai kita dapat untung, tapi kita melanggar," ujar pria asal Semarang, Jawa Tengah itu. 

Titus sejatinya hanya mengikuti jejak para YouTuber yang tenar lantaran meng-cover lagu milik orang lain. Jauh sebelumnya, sudah banyak musisi YouTube asal Indonesia yang sukses meraup cuan besar dengan membawakan ulang lagu-lagu milik orang lain. 

Sponsored

Nama-nama "tukang cover" lagu populer di YouTube, semisal Hanin Dhiya yang punya 3,77 juta subscriber, Tami Aulia (2,55 juta subscriber), grup musik akustik Eclat Story (1,29 juta subscriber), dan Feby Putri (2,4 juta subscriber).

Di Youtube, lagu-lagu yang dibawakan ulang bahkan kerap lebih populer ketimbang saat dibawakan penyanyi aslinya. Lagu "Celengan Rindu" milik Fiersa Besari yang dinyanyikan ulang Feby Putri pada 2019, misalnya, kini sudah ditonton lebih dari 50 juta orang. 

Duit yang dihasilkan para YouTuber jenis itu tak sedikit. Tengok saja pendapatan Hanin Dhiya. Bergabung pada 10 November 2014, sekitar 542 juta orang sudah pernah menonton konten yang ditayangkan Hanin di kanal YouTubenya. Hanin ditaksir mendapatkan duit kisaran Rp29-169 juta per bulan dari YouTube.

Besarnya duit yang dihasilkan dari remake atau membawakan lagu orang di media sosial itulah yang disebut Titus potensial menghadirkan konflik. Pasalnya, regulasi yang mewajibkan pembagian keuntungan dari pengguna lagu ke pemilik asli karya masih belum jelas. 

Di sisi lain, kelompok musisi atau biasanya diwakili oleh music publisher-nya lazimnya memiliki performing rights. Itu adalah hak eksklusif untuk menyiarkan, menampilkan, menayangkan, memutarkan komposisi, atau lagu yang sudah dibikin kepada khalayak.

 

Kepada Alinea.id, Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) Candra Darusman mengatakan konflik semacam itu rutin terjadi karena karya yang dibawakan ulang tidak mengantongi izin. Apalagi, banyak musikus yang tidak punya publisher sehingga menyulitkan kreator konten untuk meminta izin menggunakan karya-karya mereka. 

"Banyak pencipta yang berjuang sendiri-sendiri. Akhirnya, mereka sering minta take down bila menemukan lagunya di-cover. Nah, supaya hal ini tidak terjadi terus-menerus perlu ada LMK (lembaga manajemen kolektif) yang melindungi karya cipta mereka di YouTube," ujar Candra kepada Alinea.id, Kamis (15/10).

Menurut Candra, bukan hanya para pemilik karya saja yang resah karena ketiadaan aturan baku soal performing rights di ranah digital. Para YouTuber yang sumber penghasilan utamanya dari membawakan ulang lagu orang lain juga turut khawatir jika berkonflik dengan pemilik karya. 

"Sebenarnya mereka (musisi) ingin juga mendapatkan monetisasi dari karyanya. Jadi, perlu satu jenis lagi LMK yang khusus mewakili para pencipta yang tidak punya publisher. Istilahnya self publisher," ujar mantan keyboardis Chaseiro itu.

Candra mengatakan, perlu ada regulasi yang adil bagi pencipta lagu dan musisi cover. Selama ini, kedua belah pihak masih belum memahami batasan hak serta kewajiban masing-masing. "Soalnya ada ribuan lagu dan ribuan pencipta yang saat ini belum dilindungi," imbuh dia. 

Musikus sekaligus pemerhati hukum hak cipta Marcell Siahaan sepakat perlu ada regulasi terperinci untuk mengatur hak cipta di jagat maya. Meskipun substansinya dipandang masih yang terbaik, menurut Marcell, UU Hak Cipta belum menyentuh fenomena cover-mengcover lagu yang marak di jagat maya. 

Karena itu, Marcell menyatakan perlu ada aturan-aturan main yang diberlakukan guna memperjelas batasan antara musisi cover profesional dan mereka yang sekadar menyalurkan hobi. 

"Karena kasian juga kalau semua orang harus diwajibkan izin, tapi enggak ada tujuan komersial, lalu yang nonton cuma sedikit. Namun, dari awal dia harus jujur dengan itikad baik. Kalau tujuannya memang komersial, misalnya, ada sponsor di belakangnya atau promosi serta ada donasinya, itu kan jelas ada motif dan dampak ekonominya. Yang bersangkutan harus melakukan pengurusan untuk mendapatkan hak-hak penggunaan lagunya," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (12/10).

Untuk kelompok nonprofesional, Marcell menyarankan untuk tetap berkreasi tanpa perlu merasa takut. Akan tetapi, jika konten yang mereka unggah viral dan menghasilkan uang, mereka harus siap dengan konsekuensinya.

"Kalau itu ternyata kontennya meledak kan sudah ada perjanjian antara YouTube dengan publisher dan label dan sudah ada hitung-hitungannya sendiri untuk pencipta yang lagunya di-cover pemilik konten," imbuh pelantun lagu "Semusim" itu.  

Ilustrasi sound mixer. /Foto Unsplash

Portamento terkendala payung hukum 

Secara khusus, ia menyoroti isi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang untuk beberapa hal masih terlalu generik. Marcell mencontohkan Pasal 49 UU Hak Cipta soal penggandaan sementara sebuah karya di lembaga penyiaran. Menurut dia, perlu ada aturan-aturan turunan bermodel petunjuk pelaksana (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) untuk lebih mempermudah pemahaman dan penerapan di lapangan.

Juklak dan juknis ini, kata Marcell, diharapkan bakal meminimalisir kerancuan-kerancuan mengenai hak cipta, lisensi, dan royalti. Pasalnya, kerancuan-kerancuan dalam regulasi itu kerap dimanfaatkan pengusaha di dunia hiburan untuk mengeksploitasi karya-karya musisi tanpa membayar kewajiban secara penuh atau bahkan tidak menunaikan kewajibannya sama sekali. 

"Misalnya ada sebuah hotel, mereka punya beberapa tempat, di dalamnya ada karaoke, ada spa-nya. Mungkin juga ada klubnya, ada restoran, dan ada barnya dan semua tempat itu memperdengarkan lagu-lagu. Semua ini sudah ada standar hitungan royaltinya. Walaupun ada juga yang menganggap hitungan-hitungan ini masih belum fair dan kemudian memilih untuk tidak bayar royalti, tapi kan tidak seperti itu harusnya," tutur Marcell. 

Industri karaoke, lanjut Marcell, lebih seru lagi. Menurut dia, mayoritas pengusaha karaoke sudah memenuhi kewajiban membayar royalti. Namun, masih ada pengusaha karaoke yang enggan membayar royalti kendati telah jelas-jelas menggunakan lagu-lagu karya musisi di Tanah Air untuk kepentingan komersial mereka.

"Seperti kasus kejadian karaoke di Jawa Tengah yang kini sedang berlangsung dan sudah melibatkan kepolisian juga, yang enggak mau bayar. Tapi, selain kisah-kidah sedih ini, ada juga yang juga membanggakan. Banyak cafe dan rumah makan biasa yang dengan jelas mereka naro semacam notifikasi di kasir bahwa di tempat ini lagu yang dipasang membayar royalti. Mayoritas sudah sadar bahwa ada hak orang lain yang kita pakai untuk mencari nafkah," tutur dia.

Situasi semacam itu, lanjut Marcell, mestinya tidak perlu terjadi bila ada pertunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang rinci mengatur soal standar-standar hak cipta. Dengan begitu, musisi bisa mendapatkan hak yang sepatutnya dari komersialisasi karya mereka.

"Rezim hak cipta sendiri masih perlu banyak peraturan pelaksana. Soal permasalahan tarif, misalnya, siapa yang memungut dan konflik-konflik yang ada di dalamnya masih kuat menyelimuti industri musik yang sudah terjadi sejak jaman musik konvensional (nondigital). Karena itu, penting untuk membuat aturan turunan yang jelas," kata dia.

Sejak 2017, pemerintah sebenarnya telah merancang platform Portamento untuk mendata sirkulasi penggunaan karya musisi secara komersial di sektor pariwisata dan ekosistem digital. Sempat direncanakan meluncur pada 2020, hingga kini platform tersebut masih "ditahan" Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Kepala Sub Direktorat Aplikasi dan Tata Kelola Ekonomi Digital Kemenparekraf Muhammad Tidar mengatakan, Portamento belum bisa beroperasi lantaran terganjal payung hukum. "Karena banyak hal yang bakal terkait dengan Portamento," ujarnya kepada Alinea.id di Bekasi, Jawa Barat, belum lama ini. 

Menurut Tidar, Portamento bakal diintegrasikan ke platform streaming digital seperti YouTube dan Spotify untuk memantau perputaran lagu yang digunakan. Aplikasi itu juga bisa digunakan untuk memantau kepatuhan kafe, karaoke, hotel, restoran, dan jenis usaha terkait lainnya dalam membayar performing rights.

"Portamento itu semacam alat untuk mengetahui penggunaan lagu. Semisal bila Rhoma Irama ingin tahu lagu Begadang dia hari ini diputar berapa kali sih. Nah, itu nanti akan bisa dideteksi. Nanti bisa buat mengecek lagu yang dinyanyikan, siapa saja yang pakai, dan berapa besaran yang harus saya dapat," jelas Tidar. 

Untuk memudahkan pembayaran royalti atau performing rights, Portamento juga diintegrasikan dengan data kependudukan dan catatan sipil. Menurut dia, Portamento bisa dengan mudah memverifikasi pemilik lagu, LMK, dan publisher yang berwenang mengurus hak cipta.

Jika berjalan, Tidar optimistis, kebocoran pendapatan royalti yang selama ini seharusnya mengalir ke pencipta lagu dan pemegang hak cipta bisa diminimalisasi. "Kalau menurut LMK nasional itu ada duit ratusan miliar yang enggak bisa ditarik di YouTube. Pertama, dasar hukum enggak ada. Kedua, YouTube juga enggak mau kena tuntut," kata dia. 

Ilustrasi konser musik. /Foto Unsplash

Draf performing rights masih digodok

Direktur Industri Kreatif Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Mohammad Amin, mengatakan pihaknya sedang menyusun draf regulasi performing rights musik di bidang usaha pariwisata. Diakui dia, sejauh ini belum ada aturan turunan UU Hak Cipta terkait itu. 

Aturan itu dinamai "Peraturan Menteri Pemanfaatan Hak Cipta dan Hak terkait Dalam Layanan Publik yang Bersifat Komersial". Permen tersebut, kata Amin, bakal mewajibkan semua sektor usaha di bidang pariwisata yang mengeksploitasi karya musisi demi tujuan komersial menunjukkan bukti pembayaran royalti jika ingin memperpanjang izin. 

"Rencananya semua yang berkaitan dengan performing rights bakal diatur lebih detail soal besaran tarif, periode pembayaran, serta pemanfaatan lagu. Lalu juga soal musik daerah, peran dan fungsi pemda, dinas terkait, serta soal Portamento," ucap Amin kepada Alinea.id, Sabtu (11/10).

Karena masih digodok, Amin juga membuka peluang klausul-klausul terkait performing rights di ranah digital bakal diatur dalam pasal-pasal tertentu di Permen tersebut. "Kami tidak masalah. Kalau seandainya memungkinkan untuk masuk, kenapa enggak? Kalau itu memungkinkan, bakal kami cari jalan hukumnya," imbuh dia. 

Sebagaimana diungkapkan Marcell, Amin pun setuju perlu ada pemerincian juklak dan juknis UU Hak Cipta terkait performing rights. "Saya kira perlu ada batas soal monetisasi, kapan kemudian harus membayar pemanfaatan lisensi. Hal ini juga erat kaitannya dengan Portamento soalnya," ujarnya.

Soal aturan di ranah digital, Candra Darusman mengatakan, pemerintah bisa mencontoh aturan terkait performing rights yang diberlakukan negara Swedia. Menurut Candra, pemerintah Swedia membangun ekosistem untuk mengubah kebiasaan publik, dari membeli musik menjadi menyewa musik. 

"Ternyata itu disambut baik. Konsumen menerimanya dan lebih dari 70% konsumsi musik di Swedia adalah melalui layanan Spotify. Hal ini diikuti dengan aturan Spotify di mana royalti kepada pemilik hak cipta diberikan 70% dan Spotify mengambil 30%," ucap Candra.

Candra juga mengusulkan agar layanan live streaming yang sekali tayang dibebani performing rights sebesar 2% sebagaimana pertunjukan langsung. Sedangkan untuk tayangan yang diunggah permanen, ia menyarankan pemberlakuan mechanical rights alias "pajak" penggandaan yang nantinya dialokasikan untuk kalangan musikus dan pemegang hak cipta.

"Namun untuk mechanical rights ini perlu diurus ke publisher atau label masing-masing mengenai besaran tarifnya sebab tergantung masing-masing publisher. Jadi, itu tidak bisa diatur dalam Permen angkanya. Hanya prinsipnya saja yang bisa diatur," kata dia. 
 

Berita Lainnya
×
tekid