Menonton televisi adalah rutinitas biasa masyarakat di banyak negara. Tetapi di Korea Utara, masalahnya tidak sederhana. Warga negara itu tidak bebas memilih tontonan, karena semuanya diatur pemerintah.
Timothy Cho, seorang pelarian Korea Utara dan pembelot dua kali yang kini menjadi aktivis hak asasi manusia, mengalami penyiksaan setelah gagal melarikan diri sebelum akhirnya menetap di Inggris. Ia berbagi cerita mengenai tantangan yang dihadapi warga Korea Utara saat mencoba membeli barang-barang konsumen seperti televisi.
Berbicara kepada LADbible baru-baru ini, Cho menjelaskan bahwa pembelian TV di Korea Utara diawasi ketat oleh pemerintah.
“Jika Anda membeli TV di Korea Utara, pemerintah akan datang ke rumah Anda dan mencabut semua antena dan hanya menyisakan satu antena,” katanya saat ditanya tentang penyensoran di negara tersebut.
TV hanya tentang keluarga Kim
Menjelaskan apa saja yang boleh ditonton warga Korea Utara di TV, Cho mengatakan kontennya dikontrol ketat. “Tentang apa? Keluarga Kim... program, dokumenter, lagu. Semua 24/7,” katanya.
“Jika Anda menonton TV... semuanya tentang propaganda keluarga Kim.”
Namun, pembatasan televisi bukanlah satu-satunya peraturan ketat yang diberlakukan pada warga Korea Utara. Cho juga mengungkapkan bahwa bahkan sesuatu yang sederhana seperti potongan rambut pun dikontrol ketat oleh negara.
Ia menjelaskan bahwa anak-anak sekolah diharuskan memilih dari hanya “satu atau dua atau tiga” gaya rambut yang disetujui. Siapa pun yang rambutnya bahkan beberapa sentimeter lebih panjang dari yang diizinkan berisiko menghadapi konsekuensi.
“Jika Anda memiliki sesuatu yang berbeda... maka orang tua Anda dalam masalah. Mereka dipanggil untuk datang ke kantor polisi dan menulis pernyataan,” katanya.
Bagaimana rasanya melarikan diri dari Korea Utara?
Korea Utara telah diperintah oleh dinasti Kim sejak 1948, dengan pemimpin negara saat ini, Kim Jong-un, menjadi orang ketiga dalam keluarga yang memegang kekuasaan. Negara ini sebagian besar tetap terisolasi dari dunia luar, dengan negara yang mengendalikan kehidupan warganya dengan ketat.
Mendapatkan wawasan tentang kehidupan sehari-hari warga Korea Utara biasa merupakan tantangan, karena sebagian besar informasi yang tersedia berasal dari kunjungan wisatawan yang dikontrol ketat ke lokasi tertentu. Hal ini membuat kisah langsung dari para pembelot menjadi penting dalam memahami realitas kehidupan di bawah rezim tersebut.
Sejak tahun 1950-an, diperkirakan 31.000 warga Korea Utara telah melarikan diri ke Korea Selatan, dengan sebagian besar pembelot pertama-tama menyeberang ke Tiongkok sebelum melakukan perjalanan ke negara ketiga untuk mencapai Korea Selatan, The Guardian melaporkan, mengutip AFP. Jumlah pembelotan tertinggi terjadi pada tahun 2009, ketika 2.914 orang melarikan diri. Namun, jumlahnya telah menurun secara signifikan sejak Kim Jong-un memperketat kontrol perbatasan setelah mengambil alih kekuasaan pada akhir tahun 2011.
Pembelotan langsung melalui zona demiliterisasi (DMZ) yang dijaga ketat atau perbatasan maritim, yang dikenal sebagai Garis Batas Utara, masih sangat jarang.
Pada tahun 2023, Korea Selatan melaporkan peningkatan hampir tiga kali lipat dalam jumlah pembelot Korea Utara dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, dengan peningkatan yang signifikan pada individu yang lebih muda dan anggota elit negara tersebut, CNN melaporkan. Menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, 196 pembelot memasuki Korea Selatan pada tahun 2023. Lebih dari separuhnya berusia 20-an dan 30-an, dan sekitar 84 persen adalah perempuan atau anak perempuan.
Di antara mereka terdapat sekitar 10 orang elit Korea Utara, jumlah tertinggi dari kelompok ini sejak 2017. Orang-orang ini termasuk diplomat, pejabat, dan mahasiswa luar negeri yang diperintahkan untuk kembali ke Korea Utara saat pembatasan terkait pandemi dilonggarkan. Kisah itu diungkap seorang pejabat kementerian Korea Selatan kepada CNN.
Menurut otoritas Korea Selatan, alasan utama pembelotan pada tahun 2023 adalah meningkatnya ketidakpuasan terhadap rezim Kim yang berkuasa. Sebelumnya, kekurangan makanan merupakan motivasi paling umum untuk melarikan diri. Survei menunjukkan bahwa hampir 23 persen pembelot menyebutkan ketidakpuasan politik sebagai alasan mereka pergi, sementara lebih dari 21 persen mengatakan mereka melarikan diri karena kekurangan makanan, menurut laporan Kantor Berita Yonhap.