sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Apakah selingkuh sudah jadi sesuatu yang lumrah?

Secara umum, perselingkuhan dianggap sebagai pelanggaran moral. Namun, di sisi lain, perselingkuhan adalah hal yang lumrah.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Sabtu, 25 Nov 2023 07:16 WIB
Apakah selingkuh sudah jadi sesuatu yang lumrah?

Berita tentang perselingkuhan seakan tak ada habisnya. Terakhir, yang cukup menghebohkan adalah dugaan selingkuh pemain sepak bola Gunawan Dwi Cahyo. Suami aktris dan model Okie Agustina itu, diduga “bermain api” saat berada di Kediri, Jawa Timur.

Drama itu berakhir dengan gugatan cerai di Pengadilan Agama Bogor, Jawa Barat. Meski Gunawan sudah membantah bahwa perempuan yang viral di media sosial jalan berdua dengannya adalah selingkuhannya, namun tetap saja isu selingkuh itu mengemuka.

Peneliti dari York University dan Western University, Ami Rokach dan Sybil H. Chan dalam riset bertajuk “Love and infidelity: Causes and consequences” di International Journal of Environmental Research and Public Health (Maret, 2023) menemukan lelaki dan perempuan merespons perselingkuhan emosional dan seksual secara berbeda. Perempuan cenderung menganggap lebih banyak perilaku setia, sedangkan pria punya sikap yang lebih toleran terhadap hubungan seks di luar pernikahan.

Para peneliti menyebut pula, orang yang lebih muda mengekspresikan sikap negatif yang lebih besar terhadap perselingkuhan, dan lebih sering mempersepsikan perilaku seksual sebagai perselingkuhan, dibandingkan dengan orang yang lebih tua.

“Individu yang paling mungkin melakukan perselingkuhan adalah yang lebih berpendidikan, lebih kaya, dan kurang terikat pada keyakinan agama,” tulis Rokach dan Chan.

Akibat dari perselingkuhan, sebut para peneliti, tak hanya menimbulkan perceraian, namun bisa memengaruhi gangguan emosional seseorang dan meningkatkan gejala depresi, rendahnya harga diri, dan penyesalan terhadap pasangan yang tak setia.

“Dengan demikian, perselingkuhan meninggalkan beberapa orang berisiko untuk beralih ke mekanisme penanganan yang tidak sehat, seperti minum (minuman beralkohol) berlebihan, penggunaan obat-obatan, hubungan seks tanpa pelindung, dan perilaku bunuh diri sebagai tanggapan terhadap rasa sakit emosional mereka,” tulis para peneliti.

Sementara itu, para peneliti dari University of Denver, yakni Kayla Knopp, Shelby Scott, Lane Ritchie, Galena K. Rhoades, Howard J. Markman, dan Scott M. Stanley dalam “Once a cheater, always a cheater? Serial infidelity across subsequent relationships” terbit di Archives of Sexual Behavior (November, 2017) menemukan, tingkat perselingkuhan dalam sampel mereka berada di ujung atas rentang perkiraan sebelumnya.

Sponsored

Mereka menulis, sebanyak 44% peserta riset itu melaporkan terlibat dalam perselingkuhan, 30% punya setidaknya satu pasangan yang mereka tahu terlibat dalam perselingkuhan, dan 18% melaporkan mereka curiga pasangannya berselingkuh. Selain itu, tak ada perbedaan prevalensi terhadap perselingkuhan yang dilakukan sendiri atau pasangan untuk perempuan dan laki-laki.

Temuan penting riset Knopp dkk menunjukkan, peningkatan tiga kali lipat kemungkinan seseorang akan terlibat dalam perselingkuhan, jika mereka sudah punya sejarah terlibat perselingkuhan sebelumnya. Ada pula peningkatan dua hingga empat kali lipat dalam kemungkinan punya pasangan yang terlibat perselingkuhan, jika seseorang mencurigai perselingkuhan dari pasangan sebelumnya.

“Temuan ini menunjukkan, keterlibatan sebelumnya dalam perselingkuhan adalah faktor risiko penting yang memprediksi keterlibatan dalam perselingkuhan pada hubungan berikutnya,” tulis Knopp dkk.

Sementara itu, profesor psikologi di Otterbein College sekaligus psikolog klinis di Colombus, Noam Shpancer dalam tulisannya di Psychology Today mengatakan, perselingkuhan kini menimbulkan paradoks. Secara umum, perselingkuhan dianggap sebagai pelanggaran moral, sumber kekhawatiran bagi pasangan, penyebab perceraian, dan pertanda kekerasan terhadap pasangan.

Namun, di sisi lain, perselingkuhan adalah hal yang lumrah. “Dengan perkiraan menunjukkan, 20%-25% orang yang menikah dan 33%-50% orang dewasa muda yang berpacaran mengalami perselingkuhan,” tulis Shpancer.

Riset Dylan Selterman, Samantha Joel, dan Victoria Dale dari Johns Hopkins University dan University of Western Ontario berjudul “No remorse: Sexual infdelity is not clearly linked with relationship satisfaction or well‑being in Ashley Madison users”, terbit di Archives of Sexual Behavior (2003) menemukan, sebagian besar peserta penelitian mengaku pernah berselingkuh.

Banyak dari peserta melaporkan, tuntutan eksklusivitas dalam hubungan mereka ambigu. Meski sebagian besar peserta belum pernah berselingkuh saat penelitian berakhir, tetapi sejumlah peserta yang signifikan melakukannya.

Mayoritas peserta melaporkan, tingkat cinta yang tinggi terhadap pasangan, namun tingkat kepuasan seksual rendah. Kebutuhan seksual, tampak mendorong keinginan untuk berselingkuh dalam penelitian itu.

Para peneliti itu melakukan survei pengguna terdaftar situs web Ashley Madison. Terdapat dua kelompok peserta. Kelompok pertama berjumlah 810 responden, terdiri dari 684 laki-laki dengan usia rata-rata 51,48 tahun, sebagian besar sudah bertunangan, menikah, atau berpasangan serumah.

Kelompok dua terdiri dari 868 peserta, dengan 780 laki-laki berusia rata-rata 52,77 tahun, sebagian besar sudah bertunangan, menikah, atau berpasangan serumah. Riset ini mengeksplorasi berbagai topik, terkait ketidaksetiaan dan hubungan, termasuk sejarah perselingkuhan, sejauh mana mereka antusias untuk menemukan pasangan selingkuh, status monogami, kualitas hubungan, kesejahteraan, dan kepuasan hidup.

Selain kepuasan seksual, menurut para peneliti, masalah kurangnya rasa cinta, kemarahan terhadap pasangan, merasa diabaikan, termasuk di antara alasan yang paling sedikit diakui seseorang yang terlibat perselingkuhan.

“Sebagian besar peserta melaporkan, pasangan mereka tidak tahu tentang perselingkuhan. Mereka juga melaporkan, kepuasan yang tinggi, baik secara seksual maupun emosional, dan tak punya penyesalan terkait perselingkuhan mereka,” tulis para peneliti.

Menanggapi riset Selterman dkk, Shpancer mengatakan, hasil penelitian itu memberi petunjuk tentang paradoks perselingkuhan. “Perilaku ekstradiadik sebagian besar tampaknya menjadi normatif karena hubungan para pelaku perselingkuhan menyerupai hubungan mereka yang tidak berselingkuh,” ujar Shpancer.

“Monogami datang dengan kompromi, dan hasil hubungan atau emosional secara umum tak selalu positif.”

Berita Lainnya
×
tekid