Para ibu memang menanggung sebagian besar beban untuk tumbuh kembang anak, mulai dari kehamilan hingga masa remaja mereka. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa sang ayah juga punya peran yang tak kalah penting dalam pertumbuhan fisik, emosional, dan kognitif anak-anak.
Diterbitkan di jurnal JAMA Pediatrics, Senin (16/5) lalu, riset itu menemukan bahwa tumbuh kembang anak tidak optimal di bawah asuhan ayah yang menderita gangguan mental. Gangguan mental didefinisikan sebagai gejala depresi, kecemasan, campuran keduanya, atau stres.
“Ini merepresentasikan tinjauan global paling komprehensif hingga saat ini mengenai hubungan antara kesehatan mental perinatal ayah dan perkembangan anak,” kata Delyse Hutchinson, salah satu peneliti senior dalam studi itu seperti dikutip dari CNN.
Temuan itu, kata Hutchinson, terutama berlaku pada periode perinatal, yang membentang dari saat ibu mengandung hingga dua tahun setelah melahirkan. Selama periode ini, janin yang sedang berkembang, bayi, dan balita sangat sensitif terhadap gangguan mental yang dialami orang tua.
Seiring itu, para pria juga rentan mengalami gangguan mental pada masa transisi menjadi orang tua. Pada masa perinatal, 8% pria cenderung mengalami depresi, 11% merasakan kecemasan berlebihan, dan kisaran 6-11 mengalami gejala stres.
“Yang menonjol adalah konsistensi yang mencolok dalam tren yang diamati pada hasilnya. Ini menyoroti pentingnya mendukung ayah jika kita ingin melihat hasil yang lebih baik bagi keluarga," jelas profesor rekanan di SEED Lifespan Research Centre di Deakin University, Australia, itu.
Dalam risetnya, peneliti mencari korelasi antara depresi, kecemasan, atau stres paternal dan enam jenis perkembangan anak: sosial-emosional, adaptif, kognitif, bahasa, fisik, dan motorik sejak lahir hingga usia 18 tahun.
Faktor-faktor perkembangan sosial-emosional meliputi kemampuan anak untuk membentuk hubungan positif dengan teman sebaya, bertindak dengan cara yang bermanfaat bagi orang lain, memiliki keterikatan relasional yang sehat, menenangkan diri, dan memiliki temperamen yang sehat.
Adapun adaptabilitas mengacu pada kemampuan anak untuk menanggapi perubahan dan mengelola kebutuhan sehari-hari. Perkembangan kognitif meliputi kesehatan keterampilan fungsi eksekutif anak, pengambilan keputusan, memori, perhatian, pembelajaran, IQ, dan kinerja akademik.
Faktor-faktor perkembangan fisik meliputi kelahiran prematur, pertumbuhan janin dan tinggi badan anak, berat badan, stunting, nyeri perut, dan kesehatan tidur. Perkembangan motorik mengacu pada keterampilan motorik halus, semisal penggunaan otot untuk menulis atau mengancingkan baju.
Riset Hutchinson dan kawan-kawan tidak menemukan adanya korelasi antara gangguan mental paternal dan perkembangan adaptif serta motorik anak. Namun, ada korelasi antara gangguan mental paternal dengan aspek tumbuh kembang anak lainnya, termasuk kematangan sosial-emosional, kognitif, bahasa, dan fisik.
"Ini menunjukkan bahwa kondisi mental seorang ayah dapat memberikan pengaruh yang lebih langsung pada anak yang sedang berkembang setelah lahir,” kata para peneliti.
Arwa Nasir, profesor pediatri di University of Nebraska Medical Center di Omaha, Nebraska, AS, mengatakan riset yang dilakoni Hutchinson dan kawan-kawan kian menegaskan pentingnya peran ayah dalam pertumbuhan anak.
Sayangnya, studi ini tidak membuktikan hubungan kausal antara gangguan mental yang diderita para ayah dengan tumbuh kembang anak-anak.
“Bisa jadi kesejahteraan emosional ayah dan anak dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial dan tekanan sosial-ekonomi yang lebih besar yang sama, seperti kemiskinan, rasisme struktural, dan disparitas kesehatan,” jelas Nasir.
Namun demikian, Nasir menekankan pentingnya bagi membangun sistem yang memastikan para orang tua sehat secara mental saat merawat anak-anak mereka. Negara juga mesti turut berkontribusi terkait itu.
"Orang tua adalah penjaga generasi masa depan. Mendukung kesejahteraan keluarga harus menjadi prioritas nasional,” ujar Nasir.