sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cinderella syndrome: Keinginan buru-buru menikah

Cinderella syndrome merupakan sebuah bentuk ketakutan pada seorang perempuan untuk menjadi mandiri atau bebas melakukan apapun sendiri.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 24 Okt 2018 15:17 WIB
Cinderella syndrome: Keinginan buru-buru menikah

Eva mengomel. Dirinya kesal karena teman-teman kosnya mengeluh soal skripsi yang tak kunjung selesai.

“Masa mereka bilang ‘aduh, capek ngerjain skripsi, nikah aja kali ya’,” kata Eva kepada saya. “Memangnya dengan menikah akan menyelesaikan masalah.”

Sejumlah perempuan yang saya wawancarai juga kesal dengan pilihan perempuan untuk menikah, alih-alih menuntaskan segala masalah yang dihadapinya. Namun, ternyata tak semua perempuan kebelet menikah.

Seorang teman saya, Intan Ayu Lestari, sudah berubah pikiran. Dia tak lagi ingin cepat-cepat naik ke pelaminan.

“Timbul pikiran, nikah itu tak semudah membalikkan telapak tangan, karena menyatukan dua keluarga itu tak mudah. Harus adil antara dua keluarga,” kata Intan, Rabu (17/10).

Perempuan merasa bergantung

Sama halnya dengan Intan, Dita Ayu pun mengatakan, dirinya belum ingin segera menikah. Dia masih ingin bekerja dan memanjakan diri sendiri.

Meski begitu, Dita menuturkan, beberapa perempuan di lingkungannya banyak yang terbawa arus untuk menikah muda. Alasannya, mereka tidak mau menjadi bahan gunjingan tetangga dan keluarga. Alasan lainnya, kata Dita, karena mereka lelah bekerja.

Sponsored

“Ingin mencari suami yang kaya, agar bisa hidup enak. Padahal kan menikah nggak semudah itu,” ujarnya.

Psikolog Ayoe Sutomo menuturkan, fenomena “lelah bekerja, lantas ingin menikah” merupakan bentuk dari perilaku perempuan yang kurang mampu bertanggung jawab terhadap apa yang tengah terjadi dalam dirinya.

“Kalau kita mengatakan fenomena tersebut cinderella syndrome, kita telaah lagi sindromnya seperti apa,” kata Ayoe, yang saya hubungi pekan lalu.

Sebagian perempuan mengharapkan menikah lebih cepat, untuk menuntaskan segala masalah dalam hidupnya./Antara Foto.

Psikolog dan penulis asal Amerika Serikat Colette Dowling merupakan pencetus istilah cinderella syndrome. Pada 1981, dia menerbitkan buku berjudul The Cinderella Complex: Women's Hidden Fear of Independence.

Dalam artikelnya berjudul “The Cinderella Syndrome”, yang terbit di The New York Times Magazine edisi 22 Maret 1981, Dowling menulis, perempuan dibesarkan untuk bergantung kepada pria.

“Perempuan akan merasa dibuat ketakutan dan telanjang tanpa kehadiran seorang pria,” tulisnya.

Dowling juga mengatakan, perempuan telah diajarkan untuk percaya, bila mereka tak bisa berdiri sendiri.

“Terlalu rapuh, terlalu lembut, dan membutuhkan perlindungan,” tulis Dowling.

Senada dengan Dowling, Ayoe pun menjelaskan, cinderella syndrome merupakan sebuah bentuk ketakutan pada seorang perempuan untuk menjadi mandiri atau bebas melakukan apapun sendiri. Ketakutan itu, kata Ayoe, membuat perempuan bergantung kepada orang lain.

Mereka lebih memilih untuk berada dalam situasi saat bisa mendapatkan perhatian, bantuan dari orang lain, dan akhirnya membuatnya tak mandiri.

“Tapi, dia (perempuan) menikmati situasi itu,” ujar Ayoe.

Pola asuh orang tua

Menurut Ayoe, cinderella syndrome bisa terjadi karena pengaruh pola asuh orang tua. Sedangkan Dowling menulis, kecenderungan cinderella syndrome dimulai sejak bayi.

Dowling menulis, sebuah penelitian pada 1976 menunjukkan kecenderungan orang tua untuk membuat perbedaan interpretasi ketika bayi menangis.

“Orang tua bayi perempuan akan mengartikan tangisan tersebut sebagai tangis ketakutan, dan kemarahan jika bayi tersebut laki-laki,” tulis Dowling dalam The New York Times Magazine edisi 22 Maret 1981.

Profesor dari Departemen Psikologi Universitas Michigan Lois Wladis Hoffman, dalam hasil penelitiannya pada 1972 berjudul “Early Childhood Experiences and Women's Achievement Motives” menulis, pengkondisian seperti itu, bisa berarti awal pola interaksi ketika bayi perempuan akan belajar dengan cepat kalau ibunya adalah sumber dari kenyamanan.

Hoffman juga mengatakan, orang tua lebih protektif atau gelisah terhadap anak perempuan. Hoffman mencontohkan, orang tua akan membiarkan anak laki-laki menyeberang jalan yang ramai di usia yang lebih dini, daripada anak perempuan.

Tentang Cinderella syndrome

Cinderella syndrome tersebut, lanjut Hoffman, juga diperkuat oleh pengalaman sosialisasi anak-anak perempuan di kemudian hari.

“Beberapa penelitian menunjukkan, ketergantungan psikologi yang ditunjukkan anak laki-laki tidak akan bisa ditolerir oleh orang tua, guru, teman sebaya, dan media massa. Sebaliknya, ketergantungan tersebut lebih dapat diterima pada anak perempuan,” tulis Hoffman.

Ketergantungan ketika masa anak-anak, menurut Hoffman, akan berlanjut hingga usia dewasa pada perempuan. Hal yang demikian, kata Hoffman, tidak terjadi pada laki-laki.

Lebih lanjut, Ayoe menerangkan, penting bagi orang tua untuk mengajarkan kepada anak untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi, apa yang dirasakan, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dia.

Kemudian, kata Ayoe, tak mengajarkan bila dirinya sedang capek kerja solusinya “menyerahkan hidup” kepada orang lain. Sebab, menurutnya, hal itu bukan jalan keluar.

“Apakah nanti dia tidak akan lelah ketika menikah, itu kan satu hal yang lain,” katanya.

Ayoe melanjutkan, untuk bisa terlepas dari cinderella syndrome, perempuan harus menyadari bila pola pikirnya selama ini kurang pas. Dia mengatakan, perempuan bisa berdiskusi dengan orang-orang yang berpikiran terbuka dan mampu memberikan masukan, untuk mengatasi cinderella syndrome.

Sindrom ini, kata Ayoe, sangat mungkin untuk diubah. Namun, menurutnya, setiap individu mesti menyadari, kalau pemikirannya selama ini kurang tepat.

“Sehingga dia mempunyai kemauan yang besar dan kuat, untuk menerima dan mendengar masukan, serta mengubah apa yang dia pikir,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid