Belakangan ini, istilah aura farming menjadi tren di platform TikTok. Istilah ini bermula dari bahasa slang di kalangan generasi Z dan alfa, yang mendadak viral dari gerakan khas tradisi olahraga mendayung Pacu Jalur di Riau, yang dilakukan seorang anak.
Lalu, fenomena yang disebut “Aura Farming Kid on Boat” pun membuat banyak pengguna TikTok menirukan gaya bocah yang berdiri di atas perahu persis di depan para pendayung khas Riau, sembari diiringi lagu “Young Black & Rich” karya Melly Mike.
Aura farming merujuk pada seseorang yang melakukan sesuatu yang keren, tanpa berusaha atau seseorang yang berusaha terlalu keras untuk terlihat keren.
Menurut dua remaja, yakni Bertin Huynh dan Luca Ittimani, dalam The Guardian, kata farming—yang artinya bertani—memang berasal dari kata bertani. Seperti banyak bahasa gaul generasi Z dan alfa, bahasa ini muncul ketika dunia video gim dan anime bertabrakan dengan TikTok.
“Dalam banyak gim video, bertani berarti bekerja keras tanpa henti pada tugas digital untuk mendapatkan pengalaman, uang, atau barang,” ujar Huynh dan Ittimani.
Pengguna TikTok menghitung “poin aura” yang diperoleh saat mereka melakukan sesuatu yang keren untuk dibagikan kepada pengguna media sosial lain lewat siaran langsung. Pengikut media sosial, atau hanya untuk kepuasan sendiri.
Aura berarti kesan visual dan emosional yang ditampilkan seseorang. Bisa lewat pakaian, produk yang digunakan, media sosial, atau pergaulan. Sedangkan farming artinya mengulang-ulang sesuatu untuk “naik level”.
Namun, tren ini memiliki dampak negatif. Saat ini, banyak remaja menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menciptakan “aura” yang sempurna. Mereka memilih foto terbaik untuk Instagram, bingung memilih sepatu kets yang paling estetik, atau merekam ulang video TikTok agar sinkronisasi bibirnya pas. Tujuannya hanya untuk membangun citra diri yang keren atau aura farming.
“Artinya, secara sadar atau tidak, mereka berusaha menciptakan versi diri yang terlihat menarik, baik secara online maupun di kehidupan nyata,” tulis Parents.
Parents menyebut, alih-alih menambah followers, tren ini sebenarnya lebih tentang membentuk citra diri. Bukan ingin menjadi influencer, tetapi ingin terlihat seperti orang yang bisa jadi influencer. Menariknya, ini bukan cuma soal unggah di media sosial. Banyak generasi Z dan alfa yang tak aktif mengunggah konten, ternyata juga terpengaruh oleh “estetika” para kreator dan menirunya dalam kehidupan sehari-hari.
“Anak-anak zaman sekarang dituntut untuk peduli terhadap penampilan—tapi jangan sampai terlihat terlalu berusaha. Foto boleh dikurasi, tapi harus terlihat seolah-olah itu diambil secara spontan. Dan ‘aura’ itu sendiri sebaiknya tidak dibanggakan—biarlah orang lain yang menyadarinya,” tulis Partents.
Bagi remaja, istilah aura farming sering digunakan secara sarkastik. Hal ini menjadi cara mereka menertawakan teman sebaya yang dianggap terlalu “usaha”, sekaligus bentuk perlindungan diri dari penilaian orang lain.
Generasi Z dan alfa pun menjadi sangat peduli dengan bagaimana mereka dipersepsikan. Mereka sudah terbiasa tampil, seolah selalu ada audiens yang menilai.
“Baik mereka benar-benar ‘bertani aura’ atau hanya mengejeknya, kenyataannya citra diri menjadi sangat penting sejak usia muda,” tulis Parents.
Selain itu, The Parentz menyebut, anak-anak mengaitkan harga diri mereka dengan aura digital mereka. Kegagalan untuk “bertani aura” secara sukses menyebabkan kecemasan, rasa tidak aman, bahkan depresi.
Masalah lainnya, semua ini palsu. Para remaja mulai meniru estetika, tingkah laku, dan perilaku satu sama lain, bukan karena mereka benar-benar menikmatinya, tetapi karena tren itulah yang mencetak poin aura.
“Hal ini mengarah pada kesamaan yang aneh, di mana individualitas dikesampingkan demi pengaruh,” tulis The Parentz.
“Beberapa remaja bahkan melangkah lebih jauh dan memalsukan seluruh gaya hidup. Mereka berpura-pura kaya, terkenal, edgy, atau berkelas hanya untuk membangun aura. Kebutuhan terus-menerus untuk tampil ini dapat merusak persepsi anak terhadap realitas.”
Beberapa remaja, tulis The Parentz, bahkan mulai menggunakan aura farming sebagai alat untuk memanipulasi. Bukan lagi tentang ekspresi diri, tetapi lebih tentang kontrol sosial. Ada anak-anak yang menggunakan “aura” mereka untuk mendominasi kelompok teman, mendapatkan popularitas di sekolah, atau mempermalukan orang lain yang tak memenuhi syarat.
“Dalam kasus ekstrem, aura farming mengarah pada perilaku beracun seperti perundungan yang disamarkan sebagai ‘pengecekan getaran’ jenis aura yang dapat diterima,” tulis The Parentz.