Fenomena job hugging dan dampaknya bagi pekerja
Di Amerika Serikat, terjadi fenomena pekerja mempertahankan posisi mereka lebih erat dari sebelumnya, meski ada potensi keinginan untuk keluar. Sebab, pasar kerja tengah menghadapi risiko: tersendatnya perekrutan dan prospek kerja yang suram.
Fenomena itu dikenal sebagai job hugging—ketika karyawan bertahan pada pekerjaan mereka bukan karena keinginan, tetapi karena kebutuhan. Para pekerja, terutama generasi Z, mempertahankan pekerjaan mereka demi keselamatan, bukan karena mereka berkembang pesat, tetapi karena mereka tidak yakin pada masa depannya.
Penyebab
Dikutip dari Newsweek, survei ResumeBuilder pada Agustus lalu terhadap lebih dari 2.200 pekerja di Amerika Serikat menemukan, 46% responden termasuk dalam kategori job huggers, yaitu mereka yang bertahan di pekerjaan saat ini karena takut risiko jika keluar. Dari kelompok ini, 95% menyebutkan kekhawatiran tentang kondisi pasar kerja sebagai alasan utama mereka enggan mencari pekerjaan baru.
Di Inggris, juga terjadi kondisi serupa. Dilansir dari Independent, penelitian dari platform SDM Employment Hero menyebut, pasar kerja Inggris mulai melemah setelah pengumuman anggaran Oktober 2024, dengan tingkat ketenagakerjaan turun 0,9% pada Desember 2024.
Laporan Employment Hero yang didasarkan pada data sekitar 350.000 bisnis kecil dan menengah, menganalisis jumlah rata-rata karyawan sepanjang tahun. Dalam survei terpisah, mereka menemukan, 55% karyawan kini memprioritaskan keamanan dibandingkan ambisi, menunjukkan mereka cenderung bertahan di pekerjaan yang sudah dimiliki.
“Menariknya, tren ini didorong oleh kelompok usia muda, dengan 65% pekerja berusia 18-34 tahun mengaku memilih keamanan kerja,” tulis Independent.
“Di kelompok yang sama, 53% merasa persaingan untuk mendapatkan pekerjaan terlalu ketat, sehingga mereka enggan mengambil risiko untuk pindah kerja.”
Bisa jadi, situasi di Indonesia tak berbeda. Walau Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2025 sebesar 4,76%, turun 0,06% dibanding Februari 2024.
Menurut profesor perilaku organisasi di UCL School of Management di London, Anthony Klotz, meski saat ini belum banyak bukti kuat yang menunjukkan job hugging sebagai fenomena besar, tren ini masuk akal jika melihat kondisi pasar tenaga kerja yang terus melemah.
“Wajar saja, ketika pasar kerja mulai melambat dan PHK terus menjadi berita utama, sebagian karena munculnya AI dan robot yang mampu mengambil alih separuh atau bahkan seluruh pekerjaan manusia, banyak orang akan semakin bertahan pada pekerjaan yang mereka miliki,” ujar Klotz kepada Newsweek.
Klotz mengatakan, prospek pekerjaan yang suram dapat membuat karyawan kehilangan keyakinan kalau mereka mampu “melompat” ke peluang yang lebih baik, sehingga memilih untuk “memeluk” pekerjaan mereka saat ini.
Menurut Klotz, gabungan dari turunnya antusiasme dan meningkatnya pesimisme terhadap peluang kerja lain, telah melahirnya fenomena job hugging.
“Saat tersedia banyak pilihan pekerjaan, karyawan yang tidak memiliki ikatan kuat dengan perusahaannya lebih mudah berpindah kerja untuk mencari peluang yang lebih menarik,” ujar Klotz kepada Newsweek.
“Namun, ketika pasar kerja sedang lesu, mereka berubah menjadi apa yang oleh para peneliti disebut sebagai ‘reluctant stayers’, yaitu orang yang terpaksa bertahan meski sebenarnya enggan.”
CEO firma perekrutan dan kepegawaian dari Summit Group Solutions, Jennifer Schielke kepada Newsweek mengatakan, gelombang PHK telah menghancurkan persepsi tentang adanya masa depan yang cerah di luar pekerjaan yang sedang dijalani. Fenomena job hugging juga dipengaruhi budaya kerja dan rasa aman secara ekonomi.
“Di masa ketidakpastian ekonomi yang tinggi, jika budaya perusahaan yang terbentuk justru toksik, maka kita tanpa sadar mendorong perilaku yang tidak sehat,” ujar Schielke.
“Akibatnya, tercipta lingkungan di mana orang menjadi stagnan dan terhambat berkembang, sehingga mereka tidak siap memanfaatkan peluang yang mungkin muncul di masa depan.”
Imbas bagi karyawan
Kepada Forbes, Schielke mengatakan, fenomena job hugging sering kali menciptakan ilusi loyalitas. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah stagnasi.
Schielke menjelaskan, jika para pemimpin menganggap rendahnya tingkat pergantian karyawan sebagai tanda keberhasilan, mereka justru berisiko melewatkan momen penting yang pada akhirnya bisa memicu kehilangan talenta saat pasar tenaga kerja mulai kembali longgar.
“Tren PHK yang terjadi setelah periode yang awalnya diprediksi sebagai masa pemulihan pasca-Covid-19 justru memperburuk rasa tidak aman di pasar kerja yang sudah rapuh,” ujar Schielke.
“Dengan laporan pekerjaan yang penuh ketidakpastian, anggaran yang semakin ketat, dan rasa takut yang meresap di lingkungan kerja, bertahan pada pekerjaan yang ada tampak seperti langkah paling logis untuk mencari stabilitas dan keamanan.
Di samping mencerminkan kecemasan akan prospek karier, fenomena job hugging juga dapat memengaruhi perilaku pekerja dan justru memperburuk peluang mereka di pasar kerja yang semakin ketat.
“Secara emosional, tekanan pasar, beban finansial, dan rasa kehilangan bisa mengambil alih kendali,” kata Schielke kepada Newsweek.
“Bertahan pada pekerjaan karena rasa cemas bisa menjadi pertanda awal menuju penurunan kinerja, hilangnya keterlibatan, serta terlewatnya promosi atau peluang lain yang sebenarnya berharga.”
Direktur pelaksana Employment Hero, Kevin Fitzgerald, menambahkan, konsekuensi jangka panjang bagi karyawan adalah stagnasi. “Jika tidak mempelajari keterampilan baru atau mencari pengalaman berbeda, Anda justru membatasi prospek karier,” kata Fitzgerald.
“Hal ini terutama merugikan pekerja muda yang sangat membutuhkan variasi dan tantangan untuk membangun ketahanan dan perkembangan profesional.”
Psikolog klinis Chloe Carmichael menuturkan, fenomena ini juga berdampak buruk bagi kesejahteraan mental pekerja. “Mencari stabilitas dalam pekerjaan yang sehat adalah hal yang wajar,” ujar Carmichael kepada Newsweek.
“Namun, ‘memeluk’ pekerjaan karena rasa takut dan kelangkaan peluang, berbeda ceritanya. Itu bukan keputusan yang diambil secara proaktif, melainkan respons cemas terhadap risiko yang dirasakan. Akibatnya, seseorang bisa terjebak dalam lingkungan kerja yang tidak memuaskan, bahkan tidak sehat.”
Sementara itu, sosiolog Yasemin Besen-Cassino kepada Newsweek menjelaskan risiko lainnya. “Keterikatan yang lahir dari ketakutan bisa menormalkan masalah-masalah serius di tempat kerja,” kata Besen-Cassino.
“Misalnya, pelecehan, ketidaksetaraan gaji, atau perilaku tidak etis lainnya yang sering kali tidak dilaporkan karena karyawan takut kehilangan pekerjaan. Ini memungkinkan perusahaan terus membenarkan kondisi kerja yang buruk.”


