Fotografi jalanan: Persimpangan antara etika dan kebebasan
Jika kita beraktivitas—entah itu berolahraga atau sekadar jalan-jalan santai—di area car free day (CFD) di Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, Jakarta setiap Minggu, tak sulit menemukan orang-orang yang siap memotret di beberapa sudut. Fotografer-fotografer ini mengabadikan momen dan subjek secara acak.
Belakangan terungkap, foto-foto hasil jepretan beberapa fotografer diunggah ke platform Fotoyu. Aplikasi ini berisi dokumentasi fotografi pribadi, yang menggunakan teknologi pengendalan wajah akal imitasi (AI) guna membantu orang menemukan foto-foto mereka pada acara tertentu.
Kreator dapat mengunggah foto ke platform Fotoyu. Sementara subjek foto, dapat mengunduhnya di aplikasi dengan membayar. Modul AI yang disebut Roboyu berbasis pengenalan wajah dan lokasi, membantu pengguna menemukan foto mereka sendiri di kumpulan foto yang sudah diunggah kreator.
Tren penggunaan aplikasi Fotoyu berkembang sejak 2022, berbarengan dengan tingginya minat orang terhadap olahraga lari. Para fotografer, selain di area CFD, juga nongkrong di ruang publik lain, seperti taman atau jalanan.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran. Dalam unggahan pendiri lembaga riset media sosial Drone Emprit, Ismail Fahmi di akun X yang sedang berolahraga lari bersama istrinya di Kota Palembang pada Minggu (26/10), banyak warganet tak sepakat dengan fotografer-fotografer ini.
Fenomena ini sebenarnya mirip dengan fotografer yang nongkrong di kawasan wisata, acara wisuda, atau kegiatan lain yang ramai pada dekade 1990-an dan mula 2000. Bahkan, saat ini pun masih dijumpai di beberapa objek wisata.
Biasanya, para fotografer ini menggunakan kamera polaroid, lantas mengambil foto pengunjung secara acak. Nanti hasil jepretannya ditawarkan kepada pengunjung yang difoto itu, dengan meminta sejumlah uang.
Aktivitas fotografi semacam ini bisa disebut fotografi jalanan, yang menangkap momen-momen jujur di ruang publik, dengan fokus pada interaksi yang tak dibuat-buat dan kejadian acak.
Fotografi di ruang publik, sudah lama dianggap normal. Apalagi di zaman digital, yang siapa pun bisa mengambil foto menggunakan ponsel pintar, bahkan tanpa izin. Bagaimana etika dan hukumnya?
Aturan hukum
Aturan hukum soal fotografi jalanan berbeda-beda setiap negara. Dalam artikelnya di Do Street Photography, fotografer jalanan Polly Rusyn mengatakan, di Prancis dan Jerman punya undang-undang yang sangat ketat. Sedangkan di Inggris, sepenuhnya legal memotret di ruang publik, termasuk transportasi umum.
“Meskipun Anda mungkin harus mencoba menghindari petugas polisi, personel keamanan, dan gedung pemerintah,” kata Rusyn.
“Juga memperhatikan, beberapa lokasi yang tampak publik, sebenarnya adalah properti pribadi, sehingga petugas keamanan dapat dengan sah meminta Anda untuk minggir.”
Di Amerika Serikat, kata penulis seni Ben Luu dalam Michigan Daily, tak ada harapan privasi di ruang publik. Dengan berada di ruang publik, seseorang implisit menyetujui untuk difoto.
Di Kanada, tulis CBC, mengambil foto di tempat umum bukan hal yang ilegal, dan bebas mengunggahnya di media sosial. Profesor hukum di University of Windsor, Kristen Thomasen mengatakan, sebagian besar undang-undang privasi di Kanada menawarkan perlindungan dalam skenario yang punya harapan privasi yang wajar.

“Ada semacam anggapan bahwa ketika kita keluar di ruang publik, kita tidak lagi mengharapkan privasi, dari siapa pun, untuk alasan apa pun,” ujar Thomasen kepada CBC.
Namun, dia menambahkan, seharusnya tidak demukian karena bagi para tunawisma, jalan umum sering kali menjadi ruang pribadi mereka.
“Saya pikir ada kerentanan besar yang muncul akibat kurangnya perlindungan hukum, terutama ketika hukum tidak cukup peka untuk memahami bahwa setiap orang memiliki cara berbeda dalam menikmati ruang publik,” ujarnya.
Thomasen menjelaskan, di Quebec, Kanada misalnya, hukum perdata memberikan ruang yang lebih fleksibel untuk menangani kasus-kasus ketika foto seseorang dipublikasikan di tempat umum tanpa persetujuan mereka.
Di Indonesia, ada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang melindungi hak privasi individu, mengatur perlindungan data pribadi, termasuk data biometrik wajah seseorang.
“Foto seseorang, terutama yang menampilkan wajah atau ciri khas individu, termasuk kategori data pribadi karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang secara spesifik,” kata Dirjen Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Alexander Sabar kepada Antara, Sabtu (29/10).
“Foto yang menampilkan wajah seseorang termasuk data pribadi dan tidak boleh disebarkan tanpa izin.”
Masalahnya, menurut dosen hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Diana Setiawati, Indonesia belum punya aturan khusus mengenai pengambilan foto di ruang publik tanpa persetujuan yang jelas, penyimpanan data wajah di aplikasi, atau pencarian foto otomatis lewat pengenalan wajah.
"Tidak ada regulasi yang secara khusus mengatur pasar fotografi publik dengan model bisnis seperti ini," kata Diana, dikutip dari situs UMS.
"Studi terbaru juga menyimpulkan bahwa pengambilan potret tanpa izin masih memiliki banyak celah regulasi dalam implementasinya."
Persoalan etika dan privasi
Dikutip dari Michigan Daily, Ben Luu mengatakan, saat seluruh dunia bisa ditangkap dalam satu jepretan, tak mengherankan jika sebagian orang rela melakukan apa pun demi mendapatkannya. Jenis fotografi jalanan seperti ini merupakan medan yang licin secara moral, di mana fotografer sering menganggap adanya “persetujuan implisit” sebagai izin mutlak.
Luu sendiri mengaku menetapkan beberapa batasan ketat bagi dirinya. Jika seseorang dengan jelas menolak—melambaikan tangan atau menunjukkan ekspresi tak setuju—maka dia akan langsung menghapus fotonya tanpa pikir panjang.

“Saya juga tidak akan memotret tunawisma atau individu dalam kondisi rentan,” ujar Luu.
“Untuk anak-anak, menggunakan akal sehat adalah hal utama. Dan satu prinsip terakhir, jangan memakai lensa jarak jauh. Setiap orang harus diberi kesempatan untuk menunjukkan ketidaksetujuannya.”
Sementara itu, Polly Rusyn dalam Do Street Photography menulis, fotografer jalanan tak perlu mendapatkan izin model, terlepas dari apa pun yang dikatakan orang yang memergoki Anda memotret mereka.
“Izin model tetap diperlukan jika Anda berencana menggunakan foto untuk keperluan komersial, misalnya iklan,” tutur Rusyn.
Menurut Rusyn, menghormati keinginan orang lain lebih penting daripada legal atau tidaknya. Dia mengaku, bakal menghapus foto bila seseorang tidak setuju setelah mendengarkan penjelasannya.
“Tentu, jika fotonya benar-benar bagus, saya akan merasa kecewa. Namun, saya tidak ingin setiap kali melihat foto itu, saya justru teringat pertengkaran yang terjadi,” kata Rusyn.
“Lagi pula, saya percaya jika posisi saya terbalik, orang lain pun akan menghormati keinginan saya. Dan, di sinilah letak pentingnya etika.”
Rusyn juga menetapkan batasan. Dia mengatakan, tak akan memotret tunawisma karena jalanan adalah rumah mereka. “Saya merasa mengambil foto tunawisma sedang mengemis hanya untuk mendapatkan like di Instagram adalah tindakan eksploitatif dan tidak sopan, meski orang itu tidak keberatan,” ucap Rusyn.
“Mereka mungkin sedang berada di titik terendah dalam hidupnya, sehingga dieksploitasi sekali lagi tidak ada bedanya bagi mereka, dan itu sangat memilukan.”
Rusyn melanjutkan, fotografer punya tanggung jawab besar terhadap subjek yang mereka potret, terutama anak-anak. Dia mengaku suka memotret anak-anak, tetapi selalu berusaha agar mereka tidak dapat dikenali.
“Saya percaya, sebagai fotografer jalanan, kita memiliki tanggung jawab untuk peduli terhadap orang yang kita potret,” ujar Rusyn.
“Selama kita bersikap baik dan tidak mengeksploitasi orang yang kita foto, apa salahnya fotografi jalanan?”


