close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Ist
icon caption
Foto: Ist
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 26 Juni 2025 21:03

India berjuang mematahkan mitos seputar vitiligo

Pasien sering kali beralih ke penyembuh yang tidak berkualifikasi, menunda perawatan medis yang tepat, atau menghadapi isolasi sosial.
swipe

Di India, vitiligo bukan sekadar perubahan warna kulit—bagi jutaan penderitanya, ini adalah pergulatan antara fakta medis dan beban sosial yang lahir dari mitos dan kesalahpahaman. Meski secara ilmiah vitiligo adalah kondisi autoimun yang tidak menular dan bisa dikelola, stigma yang melekat sering kali lebih menyakitkan daripada gejalanya sendiri. 

Dari anggapan salah soal penularan hingga keyakinan bahwa kondisi ini adalah hukuman karma, vitiligo menjadi contoh nyata bagaimana informasi yang keliru dapat memperburuk penderitaan seseorang. Artikel ini membongkar mitos umum, menjelaskan penyebab sebenarnya, serta menggarisbawahi pentingnya edukasi dan dukungan sosial sebagai bagian dari proses penyembuhan.

Apa itu vitiligo?
Vitiligo terjadi ketika sistem imun secara keliru menyerang melanosit, sel yang bertanggung jawab atas pigmentasi kulit. Hal ini mengakibatkan bercak putih khas di berbagai area tubuh.

Meskipun secara medis jinak dan sama sekali tidak menular, kondisi ini membawa beban sosial yang berat, khususnya di masyarakat tradisional.

Dr. Sai Lahari Rachumallu, Konsultan Dermatologi di Rumah Sakit Manipal, Bhubaneswar, sering menemui pasien yang percaya bahwa vitiligo berasal dari makan ikan dengan susu, menyentuh seseorang yang memiliki kondisi tersebut, atau sebagai hukuman karma atas dosa masa lalu. “Vitiligo bukanlah hukuman. Ini adalah kondisi yang dapat diobati,” kata Rachumallu.

Mitos yang paling umum:
Penularan dan kontak: Banyak yang percaya bahwa kondisi ini menyebar melalui sentuhan atau kedekatan. Ini salah secara ilmiah. Vitiligo tidak dapat ditularkan dari orang ke orang dalam keadaan apa pun.

Penyebab pola makan: Kepercayaan tradisional sering kali menyalahkan kombinasi makanan, khususnya mencampur ikan dengan produk susu. Namun, pola makan tidak berperan dalam memicu vitiligo.

Keniscayaan genetik: Meskipun genetika dapat berkontribusi, Dr. Priyanka Kuri, Konsultan Dermatologi di Rumah Sakit Aster Whitefield, Bengaluru, menunjukkan bahwa faktor keturunan hanya ada pada 10-30% kasus. Berbagai pemicu termasuk kekurangan vitamin, gangguan tiroid, dan kondisi autoimun lainnya juga dapat berkontribusi pada perkembangannya.

Hukuman spiritual: Mungkin mitos yang paling merusak adalah memandang vitiligo sebagai pembalasan ilahi atau karma buruk, yang menyebabkan pengucilan sosial dan keterlambatan intervensi medis.

Biaya misinformasi
Pasien sering kali beralih ke penyembuh yang tidak berkualifikasi, menunda perawatan medis yang tepat, atau menghadapi isolasi sosial. Rachumallu mengatakan bahwa individu bahkan dilarang dari pertemuan sosial atau dikurung di rumah mereka, yang menyebabkan kecemasan, depresi, dan masalah harga diri.

Prospek pernikahan bagi penderita vitiligo sering kali terpengaruh, karena keluarga takut mewariskan kondisi tersebut ke generasi mendatang, meskipun komponen genetiknya relatif rendah.

Pilihan pengobatan:
Persenjataan medis saat ini meliputi kortikosteroid topikal, inhibitor kalsineurin (yang menghentikan sel imun menyerang sel yang bertanggung jawab atas pigmentasi), fototerapi (memapar kulit dengan sinar ultraviolet dalam kondisi terkendali), dan terkadang intervensi bedah. Perawatan ini terbukti paling efektif bila dikombinasikan dengan dukungan dan pengertian keluarga.

Kedua dokter menekankan bahwa menangani vitiligo memerlukan penanganan tidak hanya kondisi kulit tetapi juga stigma sosial. Selain itu, meskipun tidak dapat disembuhkan, kondisi ini dapat dikelola secara efektif dan dalam beberapa kasus, remisi dapat terjadi.

Pendidikan masyarakat, program kesadaran sekolah, dan liputan media yang bertanggung jawab dapat membantu mengubah persepsi. Perjalanan menuju penerimaan dimulai di rumah, di mana kasih sayang dan informasi yang akurat dapat menggantikan rasa takut dan takhayul.

Memahami vitiligo sebagai kondisi autoimun, bukan sumber rasa malu, membuka pintu menuju perawatan yang tepat dan inklusi sosial.(theweek)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan