sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Idris Sardi si Biola Maut: Guru musik tentara berpangkat Letkol Tituler

Terkenal sebagai pembuat ilustrasi musik untuk film, Idris dipercaya melatih musik bagi tentara pada 1996.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Minggu, 25 Des 2022 06:30 WIB
Idris Sardi si Biola Maut: Guru musik tentara berpangkat Letkol Tituler

“Guru pertama (adalah) ayah saya. Dia menghendaki saya menjadi pemain klasik. Dia streng sekali. Kalau melihat saya bermain untuk musik pop, wah barangkali saya didamprat habis-habisan,” ujar Idris Sardi kepada Varia, 4 November 1970.

Ayah Idris, yakni Mas Sardi, memang mengarahkan anaknya itu menjadi pemain biola klasik. Namun, dalam perjalanan kariernya, Idris tak saklek di jalan musik klasik.

Ia malah banyak memainkan pop, bahkan jazz rock yang dicatat majalah Top nomor 56 dimainkan pertama kali pada dekade awal 1970-an bersama kelompok Jopie Item di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Jalan musik Idris Sardi

Idris berasal dari keluarga seniman. Ayahnya, Mas Sardi, sebut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1981-1982 (1981) adalah orang Indonesia pertama yang membuat ilustrasi musik untuk film-film tahun 1930-an dan 1940-an. Ibunya, Hadidjah, adalah aktris tenar era 1940-an.

Bersua dalam sebuah proyek film, Mas Sardi dan Hadidjah menikah. Pada 6 Juni 1936 di Jakarta, lahirlah Idris.

“Kakek buyut dari garis ayahnya, dahulu konon pemain musik keraton Yogyakarta,” tulis Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1981-1982.

Idris Sardi bersama Bing Slamet dalam pertunjukan band Eka Sapta./Foto repro buku 100 Tahun Musik Indonesia (2015) karya Denny Sakrie

Sponsored

Sejak kecil, Idris dididik menggesek biola oleh ayahnya. Menurut penulis Japi Tambajong dalam Ensiklopedi Musik jilid 2 (1992), Idris diajarkan tata tertib main biola ala Belanda yang keras dan disiplin.

“Pagi-pagi sekali, ia harus bangun, lalu memainkan biola dengan keadaan tubuh yang benar-benar teratur,” tulis Japi.

Tahun 1953, ayahnya meninggal dunia. Dinukil dari Varia, ia lantas ditarik sebagai pemain biola di Orkes Studio Djakarta, menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, usia Idris belum genap 17 tahun. Pekerjaan itu ia lakoni hingga 1961.

Lantas, ia belajar di Akademi Musik Indonesia (AMI) di Yogyakarta selama tiga tahun. Di sini, ia mendapat bimbingan Nikolai Varfolomeyev, pemain biola asal Rusia. Kemudian, melanjutkan ke Jajasan Musik Djakarta, mendapat bimbingan dari violis asal Hongaria, Hendric Tordasi.

“Ia juga mengikuti pelajaran yang diberikan Henk te Strake, pemimpin Orkes Radio Symphony Djakarta,” tulis Varia.

Idris sebenarnya mendapat tugas belajar di Eropa pada 1955. Namun, ia tak memenuhinya karena harus menetap lama di sana.

“Akhirnya saya diberi kesempatan melakukan sight seeing saja ke beberapa negara Eropa,” ujar Idris kepada Varia.

Italia dan Jerman merupakan dua negara lawatan Idris untuk memperdalam pengetahuannya, sebut buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1981-1982. “Pada 1954, ia mewakili Indonesia dalam Festival Pemuda di Moskow,” tulis buku yang sama.

Tahun 1964, ia ikut misi kesenian Indonesia ke New York Fair, Amerika Serikat. Pada 1963, bersama Bing Slamet dan Ireng Maulana, ia membentuk band Eka Sapta. Di grup musik ini, ia memegang bas dan biola.

Didikan keras ayahnya membentuk karakter disiplin dan tertib Idris dalam pekerjaan musiknya. Bahkan cenderung perfeksionis. Menurut Japi, dalam bekerja, ia tak mau seenaknya.

“Di studio rekaman, bagi operator-operator yang tidak sabaran, memang menghadapi Idris dengan perasaan gemas. Soalnya, ketika orang mengira rekaman yang dibuat itu beres, ia malah minta diulangi,” tulis Japi.

Begitu pula ketika ia merambah dunia ilustrasi musik untuk film. Idris pernah dibuat kesal saat menggarap musik untuk film Awan Djingga karya sutradara Lilik Sudjio pada 1970.

“Makan hati. Alat-alat serba tua, tidak komplet. Kalau diforsir, hasilnya menyedihkan,” ujar Idris kepada Varia.

Selain sebagai komponis dan dirigen, Idris dikenal sebagai pembuat ilustrasi musik untuk film yang mumpuni. Pengamat musik Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015) menyebut, ia mulai masuk ke dunia penggarapan musik untuk film pada 1950-an.

Ketika itu, ia menjadi pemain biola untuk musik garapan Sjaiful Bachri di film Tamu Agung (1955) dan Tiga Dara (1956), serta George “Tjok” Sinsoe di film Lewat Djam Malam (1955). Film-film tersebut produksi Perfini, milik sutradara terkemuka Usmar Ismail.

“Pada 1960, ia diminta sutradara Misbach Yusa Biran memainkan biola solo dalam film musikal Pesta Musik Labana,” tulis Denny.

Skor film yang digarap secara utuh oleh Idris, sebut Denny, adalah film Djakarta By Pass karya Lilik Sudjio pada 1962. Kepada Varia, ia mengaku tujuan membuat ilustrasi musik untuk film hanya demi membantu kebutuhan hidup dan dilakukan di waktu senggang. Namun, justru pekerjaan itulah yang melambungkan namanya.

Idris Sardi dalam sebuah pertunjukan jazz rock di Taman Ismail Marzuki, Jakarta bersama kelompok musik Jopi Item./Foto repro majalah TOP nomor 56

Bertabur prestasi, dapat pangkat tituler

Tahun 1967, tulis Denny, ia meraih penghargaan sebagai penata musik terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional di Jakarta untuk film Petir Sepandjang Malam. Namanya makin jadi perbincangan di kalangan orang film, kala menyabet penghargaan sebagai penata musik terbaik dalam Festival Film Asia lewat film Bernafas Dalam Lumpur (1970) yang dibintngi Suzzanna.

“Kemenangan ini telah memberi nama harum film Indonesia di mata dunia dan tidak mustahil karena ini film Indonesia akan menjadi barang dagangan yang menguntungkan di luar negeri nanti,” tulis Varia, 1 Juli 1971.

Menurut Varia, dalam melakukan pekerjaan membuat musik untuk film, terkadang Idris ditekan produser atau sutradara agar membuat musik sesuai keinginan mereka. Terkadang pula, Idris harus menerima timpaan kesalahan jika teknik pengisian suara untuk musik, efek suara, atau dialog tidak memuaskan. Varia mengakui, saat itu Idris memberi gairah baru perfilman nasional.

“Sekarang, rata-rata tiap film Indonesia yang kini sedang maju pesat, Idris Sardi lah yang memberi ilustrasi musiknya,” tulis Varia.

Idris meraih Piala Citra pertamanya sebagai penata musik terbaik lewat film Perkawinan dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1973. Awal 1970-an, walau sudah dikenal orang sebagai pembuat ilustrasi musik di film, tetapi Idris masih cari makan menghibur di beberapa kelab malam di Jakarta, seperti di Nirwana Super Club di Hotel Indonesia dan La Casa Coyndo (LCC) di bekas arena Jakarta Fair di Monas.

Suatu hari, ada seorang turis Australia bernama Wilson yang takjub melihat Idris bermain biola di kelab malam. Turis itu adalah orang yang punya hubungan luas dengan dunia bisnis hiburan.

“Wilson kaget melihat saya di sebuah night club. Dia tak habis pikir, seorang violis jenius seperti saya hanya main dalam sebuah night club,” kata Idris dalam Varia, 4 November 1970.

Dua kali Wilson mengunjungi rumah Idris. Ia sempat menawarkan pekerjaan yang lebih bergengsi di Australia. Namun, Idris tak pernah memberikan jawaban soal tawaran itu.

Menurut Denny, Idris sangat kuat dalam penafsiran musik dan memahami sinema secara estetika. “Bahkan, Idris lebih tepat jika disebut sebagai ‘penghulu’ yang menikahkan film dan musik,” tulis Denny.

Denny menambahkan, Idris banyak memasukkan musik etnik dan religi dalam karya-karya musik filmnya. Misalnya, dalam film Operasi Tinombala (1977), ia menulis musik berdasarkan nada tauhid dalam berbagai versi pada adegan berbeda.

“Dalam film Tjoet Nja Dhien (1986) ia membangun tata musiknya berdasarkan musik tradisi Aceh,” ujar Denny.

Dari 1960 hingga 1992, Idris membuat ratusan musik untuk film. Setidaknya, 20-an penghargaan penata musik terbaik FFI diraih antara tahun 1973 hingga 1992. Tercatat, ia pernah pula menjadi aktor untuk film Lagu Untukmu (1973), Tiada Waktu Bicara (1974), Terminal Cinta (1977), dan Hasduk Berpola (2013). Sebuah bakat yang mewaris pada anaknya, Lukman Sardi.

Walaupun pencapaiannya di bidang musik luar biasa, tetapi tak lantas membuatnya besar kepala. Suatu ketika, saat pers menyanjungnya sebagai violis terbaik di Indonesia, ia merasa kemampuannya belum apa-apa.

“Masih banyak violis baik. Hanya barangkali belum populer. Saya sendiri belum apa-apa,” katanya dalam Varia.

Ia juga tak bangga disebut maestro atau dijuluki Biola Maut. “Jangan panggil saya maestro. Si Biola Maut juga tidak. Panggil saja saya Mas Idris. Saya ini masih belajar, masih banyak yang lebih baik dari saya,” ujarnya jelang pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta pada April 2007, seperti dikutip dari buku Inspiring Stories: 30 Kisah Para Tokoh Beken yang Menggugah (2008) karya Ahmadun Yosi Herfanda dan Irwan Kelana.

Idris Sardi dengan biolanya./Foto repro buku Ensiklopedi Musik jilid 2 (1992)

Publik dibuat terperanjat kala Idris mengumumkan pengunduran diri dari pentas musik. Dilaporkan Kompas, 14 Agustus 1994, keputusan itu ia ucapkan ketika menggelar konser “Perjalanan Pengabdian Idris Sardi di Bidang Musik” untuk menyambut HUT RI ke-49 di Puri Agung Sahid Jaya Hotel, Jakarta pada 9 Agustus 1994.

Akan tetapi, selang dua tahun, musik memanggil Idris kembali. Pada 1996, ia dapat tugas negara. Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung dan KSAD Jenderal Hartono menginginkannya melatih musik anggota ABRI.

Dinukil dari Kompas, 5 Oktober 1996, usai mendapat kepercayaan itu, Idris bergegas mencari pemusik yang punya telanta di tubuh militer. Ia cukup kecewa karena pemusik yang dianggap terbaik, di matanya hanya dapat nilai B atau pas-pasan.

“Penyebabnya, selama ini anggota korps musik merupakan pasukan tempur yang dimutasikan atau ‘disipilkan’ hanya untuk bermain musik, bukan pemusik yang tentara dan tentara yang pemusik,” tulis Kompas.

Idris juga mengakui, pemusik di ABRI adalah yang terjelek di Asia, setiap kali ada upacara kenegaraan. “Dengan korps musik Singapura saja kita kalah. Sebagai orang musik dan anak bangsa, saya terpanggil,” kata Idris dalam Kompas.

Idris tak patah arang. Ia membenahi segalanya. Termasuk membangkitkan motivasi para pemusik di tubuh militer, yang merasa kebanggaannya sebagai tentara hilang lantaran dipindah dari pasukan tempur ke satuan musik.

Ia berhasil mengumpulkan 100 anggota Satuan Musik ABRI, yang direkrut dari Kodam Brawijaya, Kodam Diponegoro, Kodam Jaya, Kostrad, dan Paspampres. Hanya dalam tempo 21 hari, ia mampu membentuk satuan musik yang solid.

Infografik tituler. Alinea.id/Aisya Kurnia

Satuan Musik ABRI didikan Idris menunjukkan kebolehannya pertama kali pada HUT ABRI 5 Oktober 1996 di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Ia memimpin para tentara itu dengan biola.

“Saya melatih mereka dengan sistem komando dan disiplin militer,” katanya kepada Kompas.

Obsesinya lebih jauh adalah membentuk Kesatuan Musik ABRI terbaik di Asia dan menelurkan tentara berpangkat jenderal di satuan musik itu. Cita-cita berikutnya, ia ingin mendirikan Sekolah Tinggi Musik ABRI.

“Untuk keperluan pembinaan musik di lingkungan militer ini, Idris Sardi khusus mendapat pangkat Letnan Kolonel Tituler,” tulis Kompas, 25 Januari 1997.

Nani Nurani Affandi, penyanyi Istana di masa pemerintahan Sukarno yang pernah dipenjara tujuh tahun karena dituduh terlibat G30S, dalam Penyanyi Istana: Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno (2010), mengungkapkan kebanggaannya kepada Idris yang jadi guru musik tentara dan mendapat pangkat tituler. Saat itu, Nani bekerja sebagai sekretaris pribadi Idris.

“Niat Idris Sardi memasukkan pendidikan musik yang baik pada tentara, sangat baik karena orang apabila mencintai atau mengenal seni, hatinya akan lebih lembut, lebih bisa merasakan kesulitan orang lain,” kata Nani.

Berita Lainnya
×
tekid