close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Taylor Swift saat tampil di Stadion Wembley, London, Inggris./Foto Instagram @taylorswift
icon caption
Taylor Swift saat tampil di Stadion Wembley, London, Inggris./Foto Instagram @taylorswift
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 08 Oktober 2025 13:09

Ilmuwan telusuri evolusi dialek penyanyi Taylor Swift

Penelitian ini dilakukan dua peneliti dari University of Minnesota, Amerika Serikat.
swipe

Taylor Alison Swift adalah penyanyi-penulis lagu Amerika Serikat, yang memiliki reputasi sebagai artis musik terlaris, musisi perempuan terkaya, dan salah satu artis musik terlaris sepanjang masa. Karena pengaruhnya begitu besar, dua ilmuwan dari Departemen Ilmu Bicara-Bahasa-Pendengaran University of Minnesota Minneapolis, Amerika Serikat, yakni Miski Mohamed dan Matthew B. Winn meneliti bagaimana suara bicara atau dialek bintang pop itu mengalami perubahan yang terukur seiring perpindahannya ke berbagai komunitas sosial dan geografis sepanjang kariernya.

Penelitian mereka dipublikasikan di The Journal of the Acoustical Society of America baru-baru ini.

Para peneliti menemukan, Swift sempat mengadopsi pola bicara khas Selatan selama masa mudahnya di Nashville, Amerika Serikat. Kemudian perlahan kembali menampilkan ciri-ciri yang terkait dengan bahasa Inggris Philadelphia, dan akhirnya memperlihatkan karakteristik vokal yang mencerminkan gaya tutur prestise khas perkotaan ketika tinggal di New York.

Temuan ini mengindikasikan, bahkan di usia dewasa, aksen seseorang masih dapat menyesuaikan diri sebagai cerminan dari ikatan sosial, tujuan karier, dan identitas publik.

Sebagain besar studi tentang dialek biasanya fokus pada bagaimana sekelompok orang dari berbagai wilayah berbicara pada suatu waktu tertentu. Namun, ketika seseorang berpindah dari satu komunitas ke komunitas lain dengan dialek berbeda, cara bicaranya dapat memberikan wawasan tentang bagaimana aksen bisa berubah.

Swift pindah dari Pennsylvania ke Tennessee pada masa remaja untuk menekuni musik country. Lalu, beralih dari musik country ke pop ketika kembali ke wilayah Northeast. Wawancara media yang dilakukan dalam berbagai fase kariernya, menjadi bahan untuk meneliti bagaimana bunyi vokal tertentu dalam ucapannya berubah, serta bagaimana nada bicaranya bergeser seiring waktu.

Selain itu, para peneliti juga menyoroti fungsi sosial dari aksen. Studi sebelumnya menunjukkan, seseorang sering kali, tanpa sadar menyesuaikan gaya bicaranya agar selaras dengan lingkungan sosialnya. Penyesuaian ini dapat diperkuat oleh motivasi sosial atau profesional.

Bagi seseorang yang sedang membangun karier di musik country—sebuah genre yang erat kaitannya dengan identitas budaya Selatan—menyesuaikan gaya bicara dengan ekspektasi regional dapat membantu memperkuat kesan autentik dan membangun kedekatan dengan pendengar.

Bagaimana cara penelitan ini?

Menurut profesor madya audiologi di University of Minnesota sekaligus penulis senior studi, Matthew Winn, dikutip dari PsyPost, biasanya sangat sulit untuk mempelajari bagaimana dialek seseorang berubah. Sebab, tidak realistis mengikuti seseorang dengan mikrofon sambil berharap dia pindah kota dan mengubah cara bicaranya.

Namun, Taylor Swift memberikan kesempatan langka itu. Dia telah direkam berkali-kali selama bertahun-tahun lewat berbagai wawancara, tinggal di wilayah geografis yang berbeda, serta punya beragam pengaruh sosial dan aspirasi karier yang mungkin turut membentuk cara dia ingin terdengar.

Para peneliti menganalisis rekaman wawancara Swift dari tiga periode penting dalam kariernya, yakni tahun 2008 ketika dia mempromosikan album country dan tinggal di Nashville; tahun 2012 saat dia beralih ke musik pop dan kembali terhubung dengan wilayah Philadelphia; dan tahun 2019 ketika dia tinggal di New York dan mulai berbicara secara terbuka soal isu sosial.

Klip audio dipilih secara cermat untuk menghindari gangguan suara dan tumpang tindih, serta hanya mencakup vokal alami tanpa tekanan. Fokus penelitian diberikan pada vokal karena komponen ini merupakan indikator yang andal dalam membedakan aksen. Perhatian khusus diarahkan pada bunyi vokal dalam kata-kata, seperti ride, code, thought, dan cot, yang dikenal bervariasi di berbagai dialek Amerika.

“Banyak orang mengira, dialek hanya mencerminkan tempat seseorang dibesarkan. Padahal, dialek juga menunjukkan komunitas sosial yang ingin dia ikuti,” ujar Winn kepada PsyPost.

“Ketika Taylor berada di Nashville dan berkecimpung di dunia musik country, dia menambahkan ciri khas Selatan pada dua bunyi vokalnya. Pertama, vokal dalam kata my terdengar seperti ma—kami menyebutnya monoftongisasi /aɪ/. Kedua, dia menggunakan versi vokal /u/ yang lebih maju ke depan, seperti dalam kata boom yang terdengar seperti bee-oom. dia menghilangkan ciri-ciri ini ketika beralih ke musik pop.”

Para peneliti juga melacak perubahan pada nada suaranya. Rata-rata nada bicara Swift—yang diukur berdasarkan bunyi vokalnya—ternyata lebih rendah secara signifikan dalam wawancara di New York dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Perubahan ini bertepatan dengan meningkatnya keterlibatan Swift dalam isu-isu, seperti seksisme dan hak-hak musisi.  Penelitian sebelumnya menunjukkan, menurunkan nada suara dapat mencerminkan otoritas, keseriusan, atau kompetensi, terutama bagi perempuan yang tampil di ruang publik. Meskipun para peneliti mengakui, perubahan ini bisa juga disebabkan oleh faktor usia.

“Kami sebenarnya tidak menduga nada suaranya akan berubah,” kata Winn.

“Kami juga tidak menyangka dia akan menunjukkan vokal /u/ di depan sejelas itu. Biasanya hal ini hanya muncul dalam konteks tertentu, tapi dia menampilkannya secara konsisten.”

Di ketiga periode tersebut, Swift tetap mempertahankan beberapa ciri vokal yang konsisten. Misalnya, dalam kata-kata yang berakhiran huruf l seperti cold atau school, vokalnya tetap dihasilkan dari bagian belakang mulut—sebuah ciri yang khas dari bahasa Inggris Philadelphia. Konsistensi ini memperkuat gagasan, seseorang tetap mempertahankan sebagian dari dialek asalnya, meski mereka beradaptasi dengan lingkungan baru.

“Melihat perubahan akses seperti ini bukan berarti seseorang sedang ‘berpura-pura’ menjadi orang lain,” ujar Winn kepada PsyPost.

“Ini adalah hal yang sepenuhnya normal bagi siapa pun yang menjadi bagian dari komunitas tertentu. Lagi pula, seseorang tidak perlu menurunkan nada suaranya hanya agar dianggap serius.”

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Analisis hanya dilakukan pada satu pembicara, sehingga hasilnya belum tentu bisa digeneralisasikan untuk orang lain. Di samping itu, wawancara dilakukan dalam situasi yang santai dan tidak terkontrol, sehingga variasi gaya bicara bisa dipengaruhi oleh konteks, emosi, atau lawan bicara.

Keterbatasan lain adalah kurangnya kendali atas kata-kata yang diucapkan pada setiap periode. Karena wawancara tidak memiliki naskah, para peneliti harus bekerja dengan kata-kata yang kebetulan diucapkan Swift, yang memengaruhi jumlah contoh vokal yang tersedia untuk dianalisis.

“Fokus utama penelitian di laboratorium kami sebenarnya bukan dialek atau Taylor Swift,” kata Winn.

“Sebagian besar penelitian kami berupaya memahami bagaimana gangguan pendengaran memengaruhi kemampuan komunikasi. Kami bekerja dengan individu yang menggunakan implan koklea dan mencoba memahami faktor-faktor yang dapat membuat mereka kesulitan dalam mendengarkan.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan