close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi orang ngobrol./Foto Belinda Fewings/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi orang ngobrol./Foto Belinda Fewings/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 30 Oktober 2025 17:05

Alasan kenapa kita langsung “sefrekuensi” dengan orang yang baru kenal

Ada banyak faktor. Apa saja?
swipe

Pernahkah kamu merasa aneh karena bisa langsung "klik" dengan seseorang? Misalnya, bertemua seseorang di taman dan langsung merasa nyaman. Atau, ketika menyapa rekan kerja baru, berbincang berbincang singkat dengan petugas keamanan, atau bahkan saat pertama kali bertemu pasangan kamu. Ada rasa terhubung yang langsung muncul.

Kenapa kita bisa lebih mudah terhubung dengan beberapa orang, tetapi tidak dengan beberapa orang lainnya?

Dari sinkronisasi saraf hingga selera humor

Peneliti di Northwestern University Sebnem Ture menjelaskan, hal ini salah satunya disebabkan sinkronisasi saraf. “Faktor neurobiologis mungkin berperan di balik koneksi instan ini,” tutur Ture dalam Psychology Today.

Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Communications pada 2018, 42 relawan menonton klip video pendek sambil aktivitas otaknya diukur dengan fMRI. Hasilnya, orang-orang yang memiliki hubungan sosial dekat menunjukkan pola aktivitas otak yang mirip, terutama di area yang berhubungan dengan pemrosesan emosi, perhatian selektif, dan pemahaman terhadap keadaan mental orang lain.

Para peneliti menulis, orang-orang yang berada dalam jaringan sosial yang sama juga menunjukkan kesamaan aktivitas saraf saat memahami cerita atau cara mereka melihat dunia.

“Menariknya, sinkronisasi otak yang terjadi antara dua orang asing bisa memprediksi kemungkinan mereka ingin berinteraksi lagi di masa depan,” tulis Ture.

Ture melanjutkan, cara kita berbicara juga bisa menentukan apakah kita akan langsung cocok dengan seseorang. Penelitian tentang language style matching (LSM) atau pencocokan gaya bahasa pada 2010 menemukan, orang-orang yang secara tak sadar meniru gaya bahasa satu sama lain cenderung merasa lebih terhubung, bahkan dalam percakapan pertama mereka. LSM tak berfokus pada apa yang kita katakan, melainkan bagaimana kita mengatakannya.

“Bahkan jika berasal dari latar belakang berbeda, kesamaan gaya bahasa bisa menjadi sinyal adanya koneksi yang mendalam, membuat interaksi terasa lebih alami,” kata Ture.

Lalu, kesamaan latar belakang. Manusia sering menggunakan berbagai “isyarat sosial”, seperti usia, etnis, kelas sosial, atau tingkat pendidikan, untuk menilai kesamaan dengan orang lain.

“Kita cenderung merasa lebih nyaman dan langsung akrab dengan orang yang memiliki karakteristik mirip, karena kesamaan itu membuat kita merasa lebih dipahami dan diterima,” ujar Ture.

Bertemu dalam situasi yang sama-sama rentan, misalnya menghadapi tantangan hidup, mengejar tujuan bersama, atau memecahkan masalah, juga bisa membuat kita merasa langsung dekat dengan seseorang.

“Berbagi kerentanan seperti ini membuat orang lebih mudah merasa aman, dipahami, dan terhubung,” kata Ture.

Tertawa bersama pun bisa menciptakan perasaan “klik”. Penelitian tahun 2022 oleh Robin Dunbar dari University of Oxford menemukan, selera humor yang mirip berpengaruh besar terhadap perilaku saling menolong di kemudian hari.

Sistem dan resonansi limbik

Perasaan sefrekuensi dapat terjadi pula karena sistem limbik—bagian otak yang mengatur emosi dan perilaku kita. Sistem limbik terdiri dari beberapa bagian otak, seperti amigdala, hipotalamus, talamus, dan hipokampus.

“Sistem ini berperan penting dalam membantu kita bereaksi terhadap dunia secara emosional dengan cara yang bermakna,” ujar terapis kesehatan mental dan trauma, Becca Reed kepada Verywell Mind.

“Sistem limbik adalah pusat emosi otak.”

Sistem ini membantu seseorang mengatur, memproses, dan mengingat perasaannya. Semua fungsi tersebut pada dasarnya berperan dalam cara seseorang berhubungan dengan orang lain.

“Selain itu, sistem limbik juga berperan dalam koregulasi, yaitu proses saling menyeimbangkan keadaan emosional dan fisiologis satu sama lain—membuat kita merasa lebih terhubung dan didukung,” ucap Reed.

Lebih jauh, koneksi emosional, baik romantis, persahabatan, maupun kekeluargaan, tak cuma terasa di otak, tetapi juga di seluruh tubuh. Koneksi yang dekat bisa menimbulkan respons fisik nyata, seperti rasa rileks atau justru tegang. Ketika seseorang merasa sefrekuensi dengan orang lain, kondisi emosionalnya sedang terhubung dalam apa yang disebut resonansi limbik.

“Resonansi limbik adalah gagasan kalau keadaan emosi kita dapat diatur melalui koneksi langsung dengan sistem limbik orang lain,” kata Reed.

“Artinya, kita bisa menyelaraskan emosi secara mendalam dan non-verbal, seperti masuk ke gelombang emosi yang sama ketika kita benar-benar cocok dengan seseorang.”

Saat seseorang merasa dipahami, tanpa perlu menjelaskan panjang lebar, atau merasa nyaman hanya dengan kehadiran orang itu, maka itulah resonansi limbik.

“Resonansi limbik membantu menstabilkan emosi, menumbuhkan empati, rasa aman, dan rasa memiliki,” kata Reed.

“Hubungan yang penuh empati ini juga bisa melindungi kita dari tekanan emosional.”

Sayangnya, resonansi limbik tak selalu terjadi. Kita pun tak mungkin merasakannya dengan semua orang. Bahkan dalam hubungan terdekat, resonansi ini bisa jadi tak muncul sama sekali. Menurut Reed, resonansi limbik dipengaruhi keselarasan emosional, yakni saat dua orang punya suasana hati atau perasaan yang mirip.

“Kedekatan fisik juga bisa membantu menyelaraskan emosi, begitu pula keterbukaan untuk terhubung secara emosional,” ujarnya.

Namun, jarak fisik tidak akan menimbulkan resonansi limbik jika seseorang tidak terbuka secara emosional. “Lingkungan dan kualitas hubungan—termasuk kepercayaan dan rasa aman—sangat penting untuk membangun resonansi limbik yang efektif,” kata Reed.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan