Bayangkan sebuah obrolan biasa dengan sobat kamu di tempat kamu biasa nongkrong. Sang sobat menanyakan rencana liburan kamu pada akhir pekan. Kamu bilang tak akan ke mana-mana karena enggak punya duit.
Tanpa ditanya, sobat kamu lantas bercerita dia berencana mau liburan ke luar negeri akhir pekan itu. Dia merinci soal harga tiket dan tempat-tempat yang bakal dikunjungi. Intinya, hal-hal yang tak kamu tanyakan.
Kamu mungkin tak sadar sang sobat sudah merencanakan pertanyaan awal itu supaya dia bisa sekadar curhat karena excited. Tetapi, bisa jadi sobat kamu itu juga sedang menyombongkan diri.
Para psikolog mengategorikan peristiwa semacam itu sebagai boomerasking. Itu situasi ketika seseorang mengutarakan pertanyaan kepada lawan bicara dalam perbincangan dan langsung menjawab pertanyaannya sendiri.
Dalam riset bertajuk "Boomerasking: Answering Your Own Questions" yang tayang di jurnal American Psychological Association, belum lama ini, A.W. Brooks dan M Yeomans merinci tiga jenis boomerasking yang lazim dipraktikan dalam perbincangan.
Pertama, ask-bragging. Dalam situasi ini, seseorang bertanya lalu mem-follow up pertanyaan itu dengan cerita yang positif, misalnya pengalaman berlibur yang luar biasa atau kecanggihan barang-barang yang baru ia beli.
Kedua, ask-complaining. Singkatnya, bertanya lalu setelah itu mengeluh. Misalnya, seseorang bercerita soal pemakaman kerabatnya yang baru saja meninggal.
Ketiga, ask-sharing. Dalam situasi ini, orang yang bertanya memang hanya berniat berbagi. "Menanyakan sesuatu lalu diikuti mengungkap hal yang netral, seperti pengalaman mimpi yang aneh," tulis Brooks dan Yeomans.
Menurut Brooks dan Yeomans, boomerasking merupakan hal yang lazim dilakukan, tapi bisa jadi tak disadari baik oleh pelaku maupun "korban". Dalam riset berbasis survei itu, mereka menemukan 90% responden yang diawancara mengaku pernah kena boomerasking.
Yang mengagetkan ternyata 90% responden juga mengaku pernah melakukan hal itu. Para pelaku boomerasking seringkali merasa mereka meninggalkan kesan positif bagi lawan bicaranya dalam perbincangan tersebut.
"Pada praktiknya, keputusan untuk membagi jawaban mereka—ketimbang mem-follow up jawaban rekan bicara mereka—terkesan egois dan menunjukkan ketidakterarikan terhadap perspektif lawan bicara mereka," jelas Brooks dan Yeomans.
Deretan motor milik pengunjung terparkir di depan Warmindo Juned di Jalan Kebahagiaan, Krukut, Taman Sari, Jakarta Barat, Jumat (23/12). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
Lantas, apakah boomerasking bisa dihindari. Clay Drinko, psikolog sekaligus penulis buku Play Your Way Sane, membagi sejumlah tips untuk menghindari perilaku boomerasking. Pertama, bersikap jujur dan terbuka.
"Ketimbang mempraktikkan boomerasking, katakan apa yang ingin kamu katakan. Membanggakan diri, mengeluh, atau berbagi cerita diterima lebih baik jika tanpa disertai boomerasking," kata Drinko seperti dikutip dari Psychological Today.
Kedua, tanyakan pertanyaan lanjutan kepada lawan bicara. Terakhir, bersikap selalu ingin tahu lebih banyak mengenai lawan bicara. "Jika kamu menemukan kamu sedang boomerasking, ingatkan diri kamu untuk belajar lebih banyak mengenai orang lain," kata Drinko.