Kenapa San Francisco jadi ibu kota kaum gay Amerika
San Francisco dikenal luas sebagai salah satu kota paling ikonik di Amerika Serikat. Keindahan alamnya, lanskap perbukitan yang unik, Jembatan Golden Gate yang legendaris, serta sejarah panjangnya sebagai pusat budaya progresif dan gerakan sosial menjadikan kota ini simbol keterbukaan dan keberagaman.
Sejak pertengahan abad ke-20, San Francisco menarik kaum muda dan pencari kebebasan dari berbagai penjuru negeri—menjadikannya tempat kelahiran banyak gerakan perubahan sosial. Dan salah satu komunitas yang paling luas menyebarkan eksistensinya di kota itu adalah komunitas LGBTQ.
Tak heran bila pada tahun 1965, majalah Life mendeklarasikan San Francisco sebagai ibu kota kaum gay Amerika. Dan di dalam kota ini, kawasan Castro berdiri sebagai jantung denyut kehidupan komunitas LGBTQ.
Castro bisa dibilang sebagai "lingkungan gay" paling terkenal di Amerika Serikat. Di sinilah beberapa seniman dan aktivis queer paling berpengaruh menetap pada abad ke-20. Wilayah ini menjadi saksi sejarah penting: politisi gay pertama di AS terpilih di sini, bendera Pride diciptakan di sini, dan banyak individu gay, trans, serta nonkonformis yang terasing dari keluarga biologis mereka membentuk keluarga baru dalam komunitas ini.
Awalnya, Castro dikenal sebagai Lembah Eureka atau "Skandinavia Kecil." Pada pertengahan 1960-an, saat Amerika dilanda gejolak akibat Perang Vietnam dan munculnya gerakan hippie, ribuan kaum muda berbondong-bondong datang ke San Francisco.
“Lingkungan Castro menjadi terkenal karena sambutannya yang luar biasa terhadap kaum LGBTQ. Dan saya pikir itu dibangun dari mulut ke mulut,” ujar Roberto Ordeñana, direktur eksekutif Masyarakat Sejarah GLBT.
Lembaga ini didirikan pada tahun 1985, di tengah puncak epidemi AIDS. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan memorabilia dan artefak terkait komunitas queer—kini koleksinya mencakup segalanya mulai dari majalah queer lama hingga bendera Pride orisinal.
Harvey Milk
Nama yang paling melekat dalam sejarah gerakan hak-hak LGBTQ di AS adalah Harvey Milk. Lahir di negara bagian New York, ia pindah ke San Francisco pada tahun 1972 dan membuka toko kamera di Castro Street—jalan utama yang kemudian mengilhami nama lingkungan tersebut.
Milk dengan cepat menjadi tokoh aktif secara politik. Ia mendirikan Castro Village Association, salah satu kelompok bisnis pertama di AS yang sebagian besar dimiliki oleh komunitas LGBTQ. Penulis biografinya, Randy Shilts, bahkan menjulukinya sebagai "Wali Kota Castro Street."
Puncak kiprah politiknya terjadi pada tahun 1977, saat Milk terpilih menjadi anggota Dewan Pengawas San Francisco—menjadikannya pria gay pertama yang terpilih sebagai pejabat publik di negara ini. Salah satu kontribusi pentingnya adalah keterlibatan dalam upaya membatalkan Proposisi 6, sebuah undang-undang diskriminatif yang mewajibkan pemecatan guru-guru gay dan lesbian dari sekolah.
“(Milk) mengkristalkan harapan dan impian politik dari generasi kaum gay yang terbuka setelah gerakan pembebasan kaum gay,” kata Timothy Stewart-Winter, profesor sejarah di Rutgers University-Newark yang mengkhususkan diri dalam sejarah LGBTQ.
Tetapi, kurang dari setahun setelah terpilih, Harvey Milk dan Wali Kota San Francisco George Moscone dibunuh oleh sesama anggota dewan kota, Dan White.
“Setelah pembunuhannya, ia menjadi martir,” ujar Stewart-Winter. Seperti halnya John F. Kennedy dan Martin Luther King Jr. satu dekade sebelumnya, kematian tragis Milk membekukannya dalam sejarah sebagai simbol perlawanan terhadap kekacauan politik dan sosial masa itu.
Sejak saat itu, nama Harvey Milk menjadi identik dengan perjuangan komunitas LGBTQ. Pada tahun 2019, Angkatan Laut AS menamai sebuah kapal dengan namanya—momen penting mengingat Milk sempat dipaksa keluar dari Angkatan Laut karena orientasi seksualnya saat bertugas dalam Perang Korea. Bandara Internasional San Francisco (SFO) juga menamai salah satu terminalnya untuk menghormatinya.
Namun, Ordeñana menekankan pentingnya untuk tidak menjadikan Milk satu-satunya simbol dari komunitas yang luas dan beragam.
“Penting bagi kita untuk merayakan Harvey Milk dan semua individu lainnya yang telah melakukan pekerjaan luar biasa bagi komunitas kita. Namun, ada kisah seperti Sally Gearhart, yang sezaman dengan Harvey Milk dan bekerja bersamanya dalam kampanye Proposisi 6, yang kisahnya telah disingkirkan dari narasi arus utama,” jelas Ordeñana.
Sally Gearhart adalah seorang penulis, pengajar, dan aktivis yang mendirikan salah satu program studi wanita pertama di Universitas Negeri San Francisco.
“Kami ingin memastikan bahwa kami mengangkat kisah orang-orang yang paling rentan di komunitas kami,” tambah Ordeñana. “Itu termasuk para manula, kaum muda, khususnya perempuan dan kaum transgender.”
Castro yang coba dipertahankan
Sudah setengah abad berlalu sejak Harvey Milk membuka tokonya di Castro. Kini, beberapa orang berpendapat bahwa kawasan tersebut telah menjadi korban dari kesuksesannya sendiri.
“Castro, di satu sisi, merupakan paradigma—tempat orang-orang mengasosiasikan diri dengan kehomoseksualan, tempat menjadi homoseksual. Tetapi juga menjadi tempat yang sangat mahal, dan tempat kontradiksi kapitalisme akhir dimainkan. Krisis keterjangkauan perumahan yang lebih besar di seluruh negeri benar-benar buruk di San Francisco,” jelas Stewart-Winter.
“Industri teknologi telah mengubah San Francisco,” tambahnya, sambil mencatat bahwa gentrifikasi bukanlah fenomena baru bagi lingkungan ini.
Sejak tahun 1990-an, merek-merek global seperti Diesel mulai membuka toko di Castro. Kini, raksasa seperti Apple dan Starbucks bersaing dengan taqueria dan galeri seni lokal.
Meski begitu, toko kamera Harvey Milk masih berdiri di 575 Castro Street. Bangunan ini kini merupakan situs resmi kota, lengkap dengan plakat dan mural Milk di fasadnya.
Dalam menghadapi arus perubahan dan gentrifikasi, Ordeñana menyatakan bahwa Masyarakat Sejarah GLBT berkomitmen untuk menjaga warisan sejarah Castro tetap hidup dan relevan. Mereka bahkan berhasil membeli rumah permanen di lingkungan tersebut untuk tujuan itu.
“Jelas orang-orang LGBTQ tinggal di mana-mana. Kami adalah bagian dari setiap komunitas. Kami adalah bagian dari setiap lingkungan. Castro terus menjadi tujuan bagi orang-orang yang datang dari seluruh dunia, itulah sebabnya penting bagi kami untuk membuka museum ini di Castro yang tersedia untuk pariwisata global dan penduduk kota,” katanya.
“Saya lahir dan besar di San Francisco,” tutup Ordeñana. “Saya tidak pernah pergi. Saya suka bepergian keliling dunia, tetapi ini adalah rumah.” (cnn)


