close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: BBC
icon caption
Foto: BBC
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 07 Juni 2025 08:06

Pemaksaan simbol pelangi merusak kedamaian Ligue 1 Prancis

Perdebatan ini membuka kembali pertanyaan lama: sampai sejauh mana institusi, termasuk dunia olahraga, bisa atau boleh memaksakan nilai-nilai tertentu kepada individu?
swipe

Ada yang berbeda di lapangan-lapangan Ligue 1 Prancis setiap pertengahan Mei. Warna pelangi yang menghiasi lengan kaus para pemain bukan sekadar hiasan; ia adalah simbol perlawanan terhadap homofobia, bifobia, dan transfobia, dalam rangka memperingati Hari Internasional Melawan Diskriminasi pada 17 Mei. Tapi tahun ini, kampanye itu justru memunculkan perdebatan tajam yang menyeret nilai, keyakinan, dan batas toleransi di dunia olahraga.

Beberapa pemain dari klub-klub besar di Prancis memutuskan untuk tidak mengenakan atribut tersebut. Penolakan itu langsung berbuah sanksi, termasuk larangan bermain. Salah satu nama yang paling mencolok: Nemanja Matić, gelandang senior Lyon asal Serbia. Ia dikenai hukuman dua pertandingan karena menutupi logo pelangi dan mencoret kata "homofobia" dalam kampanye tersebut. Yang tersisa hanya satu kata: football.

Dalam pertandingan tersebut, Matić tidak menolak bermain, tapi ia menyampaikan pesannya secara diam-diam—dan tetap vokal. Ia menyatakan bahwa alasan penolakannya bersifat pribadi dan didasari oleh nilai-nilai yang dipegangnya sejak lama. Ini bukan kali pertama Matić mengambil sikap serupa. Pada 2018, ketika bermain di Inggris, ia juga menolak mengenakan bunga poppy sebagai penghormatan bagi tentara Inggris karena trauma masa kecilnya saat kampung halamannya di Vrelo, Serbia, dibom oleh NATO pada 1999.

Bukan Matić Saja

Ia bukan satu-satunya. Ahmed Hassan dari Le Havre melakukan hal serupa dan mendapat sanksi yang sama. Sementara itu, penyerang FC Nantes asal Mesir, Mostafa Mohamed, memilih tidak bermain sama sekali dalam laga melawan Montpellier. Ini bukan kali pertama Mohamed absen karena kampanye LGBTQ+. Ia juga sempat melewatkan laga-laga serupa musim-musim sebelumnya.

“Saya percaya pada rasa saling menghormati,” kata Mohamed dalam sebuah pernyataan. “Rasa hormat terhadap orang lain, dan juga terhadap diri sendiri serta keyakinan pribadi. Setiap orang memiliki latar belakang dan budaya masing-masing.”

Namun pernyataan itu tak serta-merta membebaskannya dari konsekuensi. Klubnya, menurut laporan media L’Équipe, menjatuhkan denda dalam jumlah besar kepada sang pemain.

Antara Simbol dan Sanksi

Kampanye anti-homofobia ini bukan hal baru di Ligue 1. Sejak 2021, operator liga bersama Kementerian Olahraga Prancis menjalankan program kesadaran sosial melalui simbol-simbol visual di lapangan, mulai dari pita pelangi, spanduk stadion, hingga badge khusus pada jersey. Tapi tahun ini, tensi meningkat karena adanya desakan keras dari pemerintah.

Menteri Olahraga Prancis Amélie Oudéa-Castéra menyebut sikap para pemain yang menolak mengenakan logo pelangi sebagai "tidak dapat diterima". Ia bahkan menyerukan “sanksi terberat” tidak hanya kepada pemain, tetapi juga klub yang membiarkan hal itu terjadi.

“Bahasa dalam sepak bola harus berubah,” katanya. “Penghinaan dan perilaku homofobik tidak lagi bisa ditoleransi.”

Nada serupa datang dari Marie Barsacq, wakil dari Federasi Sepak Bola Prancis, yang menegaskan pentingnya platform olahraga dalam mendorong perubahan sosial. Menurutnya, sepak bola tidak bisa menutup mata terhadap diskriminasi, dan harus terus mendidik baik pemain maupun penggemarnya.

Titik Temu yang Masih Dicari

Perdebatan ini membuka kembali pertanyaan lama: sampai sejauh mana institusi, termasuk dunia olahraga, bisa atau boleh memaksakan nilai-nilai tertentu kepada individu? Apakah semua simbol yang bermaksud baik bisa diterima semua pihak?

“Dunia telah berubah, dan sepak bola juga harus berubah,” ujar Oudéa-Castéra. Tapi dalam perubahan itu, tampaknya masih banyak ruang abu-abu—antara simbol, identitas, dan hak individu untuk menolak.

Yang jelas, Ligue 1 kini bukan hanya panggung adu taktik dan gol, tetapi juga ruang tarik ulur antara ekspresi sosial dan keyakinan personal. Sebuah drama yang tak hanya berlangsung di atas rumput stadion, tapi juga di hati dan pikiran banyak orang. (brusselssignal)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan