sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Konser Deep Purple 1975: Kericuhan dan memori mereka

Konser akbar Deep Purple pertama kali diadakan pada 4 dan 5 Desember 1975 di Stadion Senayan, Jakarta.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Rabu, 07 Nov 2018 16:04 WIB
Konser Deep Purple 1975: Kericuhan dan memori mereka

“Saya dan lima teman saya beruntung jadi saksi sejarah pertunjukan musik terbesar di Indonesia. Lebih beruntung lagi, karena terhindar dari kekacauan itu,” kata Liliek Pranachitra, penonton konser grup musik rok asal Inggris Deep Purple, 43 tahun silam.

Besok, grup musik rok legendaris Guns N’ Roses menggelar konser di Gelora Bung Karno, Jakarta. Sebelumnya, sudah banyak grup musik rok yang mengadakan konser di Jakarta. Namun, memori konser besar Deep Purple pada 1975 tentu saja tak bisa hilang dari benak Liliek.

Rabu siang, 3 Desember 1975, pesawat Boeing 707 Transair yang membawa personel Deep Purple–David Coverdale (vokal), Tommy Bolin (gitar, vokal), Glenn Hughes (bas, vokal), Jon Lord (kibor, backing vokal), dan Ian Paice (drum, perkusi), dan sejumlah kru—mendarat mulus di bandar udara Kemayoran, Jakarta.

Mereka lantas menumpangi enam mobil sedan dengan iring-iringan, melintasi jalan Jakarta yang lengang menuju Hotel Sahid Jaya. Menurut majalah Midi edisi 16-31 Desember 1975, grup musik rok yang kala itu sedang menjadi omongan anak muda di dunia berhasil didatangkan oleh “cukong” yang sanggup mengeluarkan biaya Rp16 juta untuk mereka, Rp3 juta untuk God Bless, Rp1 juta untuk peralatan listrik, Rp25 juta untuk aneka pajak, serta sanggup menerima pendapatan Rp150 juta untuk 50 ribu karcis.

Orang yang merayu mereka untuk manggung di Jakarta adalah editor luar negeri majalah Aktuil Denny Sabri. Majalah Aktuil dan Buena Ventura Group berhasil menggelar konser mereka di Stadion Senayan—sekarang Gelora Bung Karno.

Deep Purple pun memiliki misi tur promosi album terbaru mereka, Come Taste the Band. Keesokan harinya konser dimulai. Sebuah konser rok terbesar, dengan penonton terbanyak, dan tragedi-tragedi yang dikenang para personel Deep Purple sebagai “mimpi buruk.”

Selain Liliek Pranachitra, Jimmy Wissekerke adalah juga menjadi saksi konser Deep Purple pada 1975. Menurut Liliek, saat itu belum pernah ada band sehebat Deep Purple datang ke Indonesia. Kala itu, katanya, Deep Purple nomor satu di dunia, di atas Led Zeppelin. Maka, tak heran, konser itu dipadati anak muda.

“Deep Purple lagi ngetop waktu itu. Kalau nggak nonton, pasti culun. Harus nonton,” ujar Jimmy Wissekerke, ketika saya hubungi, Selasa (6/11).

Sponsored

Insiden kematian kru

Majalah Mas Nomor.85/Tahun III Desember 1975 melaporkan, penonton di hari pertama, 4 Desember 1975, mencapai 60.000 orang.

“Selamat malam!” Glenn Hughes menyapa puluhan ribu anak muda yang memadati Stadion Senayan, pukul 21.20 WIB.

Panggung itu perkasa, di tengah lapangan. Menurut Midi edisi 16-31 Desember 1975, luas panggung 30x15 meter, tinggi dua meter. Peralatan yang diangkut seberat 60 ton.

Deep Purple menyihir penonton, dengan lagu-lagu dari album terdahulu dan album anyar mereka, antara lain “Burn”, “Lady Luck”, “Love Child”, “Getting Tighter”, “Smoke on the Water”, “Lary”, “I Need Love”, “Soldier of Fortune”, “This Time Around”, “You Keep on Moving”, “Stormbringer”, dan “Highway Star”.

Alunan kibor Jon Lord memainkan instrumen lagu “Padamu Negeri”. Penonton riuh bukan main. God Bless tak jadi manggung malam itu. Mereka menjadi band pembuka pada hari kedua, 5 Desember 1975.

Usai manggung, insiden mengerikan terjadi di Hotel Sahid Jaya, 5 Desember 1975 dinihari. Seorang kru Deep Purple Patsy Collins tewas setelah terjatuh di lubang lift setinggi delapan meter. Majalah Tempo edisi 20 Desember 1975 menyebut, kemungkinan dia tewas karena pertengkaran soal perempuan atau sesama anggota kru, dan menimbulkan gontok-gontokan. Diduga, mereka semua sedang mabuk.

Salah satu poster promosi konser Deep Purple di Jakarta yang dimuat dalam majalah Aktuil. (www.purple.de).

Majalah Mas Nomor 85/Tahun ke-III Desember 1975 pun menyebut, mereka berkelahi gara-gara cewek. Akibat insiden ini, salah satu kru, manajer tur Rob Cooksey, dan basis Deep Purple Glenn Hughes dikurung dalam tahanan kepolisian selama satu malam.

Informasi mengenai kasus ini sumir. Liliek Pranachitra menyebut, dia baru mengetahui berita meninggalnya Collins beberapa hari setelah kejadian.

“Zaman itu berita-berita tidak mudah diakses seperti sekarang. Jadi tahunya dari mulut ke mulut, dan jauh setelah peristiwa terjadi,” kata Liliek, ketika saya hubungi, Senin (5/11).

Jauh setelah insiden mengerikan tersebut, Jon Lord mengisahkannya. Menurutnya, seperti dikutip dari artikel Chris Gill dalam Guitar World edisi Mei 1999, salah satu dari personel Deep Purple percaya, Collins dibunuh.

“Kami tahu dia dibunuh,” kata Lord.

Menurut Glenn Hughes, orang-orang yang diamankan polisi tak ada hubungannya dengan kasus kematian Collins. “Saya pribadi tidak percaya, Patsy akan berjalan ke lubang lift,” kata Hughes, seperti dikutip dari artikel “The end of the road” dalam rockcandymag.com.

Di dalam artikel lainnya, Hughes kembali berkomentar tajam. Dia menyinggung perkara uang yang harus dibayar untuk keluar dari jeruji besi.

“Mereka melemparkan saya ke penjara, karena pembunuhan dan mereka membiarkan saya keluar. Kami harus membayar uang untuk keluar. Itu adalah peristiwa yang mengerikan,” kata Hughes dalam artikel yang ditulis Martin Kielty “Hughes plans tribute to dead bodyguard” di loudersound.com.

Peter Crescenti dalam artikelnya “Bolin’s Purple: Re-made in Japan di Circus Magazine edisi 23 Maret 1976 bahkan mengungkap, polisi membebaskan orang-orang yang dituding terlibat kematian Collins, termasuk kibordis Glenn Hughes, usai mereka merogoh kocek US$ 500 untuk bebas, dengan alasan biaya memfoto paspor. Mereka bebas pagi hari. Dan, Hughes bisa tampil di malam kedua, 5 Desember 1975.

Kericuhan

God Bless menjadi grup musik pembuka Deep Purple di hari kedua konser. Menurut Putu Wijaya di dalam majalah Tempo edisi 20 Desember 1975, band rok yang kala itu usianya baru dua tahun tersebut bermain bagus, dengan peralatan musik yang jauh lebih sederhana ketimbang Deep Purple.

“Meskipun yang agak menjengkelkan adalah masih tak malu-malu menyanyikan lagu orang lain,” tulis Putu.

Liliek mengisahkan pengalamannya menonton Deep Purple di hari kedua. Dia datang bersama lima kawannya dengan sebuah truk. Saat itu, usianya masih 15 tahun.

“Kami sempat diusir polisi, karena mau merapat ke area pertunjukan. Sebenarnya melihat suasana seperti itu kami semua ketakutan, apalagi polisinya galak semua, juga ada anjing berukuran besar dan banyak. Teman saya hampir diterkam,” kata Liliek.

Liliek ingat, dia membeli karcis pertunjukan Rp1000. Harga karcis paling murah. Karcis Deep Purple saat itu dibanderol dari Rp1000 hingga Rp7.500.

Kericuhan pun pecah malam itu. Jumlah penonton yang tak berkarcis, menurut majalah Midi edisi 16-31 Desember 1975, lebih banyak. Kursi di VIP A sudah dipenuhi manusia. Pagar pembatas kelas jebol.

Petugas keamanan, Samapta Bhayangkara (Sabhara), berjaga-jaga. Dari sisi selatan, ratusan manusia menyerbu ke tengah lapangan.

Menurut Putu Wijaya, para penonton melintasi penjaga bersenjata yang membawa anjing dengan nekat. Mereka juga mengangkat jok-jok kursi untuk main perang-perangan sesama penonton.

“Lebih kurang 25 ribu penonton, separuhnya barangkali tak bayar, merebut kursi yang berharga Rp1.000 hingga Rp7.500. Mereka meledak-ledak dan cenderung membikin huru-hara,” tulis Putu Wijaya di dalam Tempo, 20 Desember 1975.

Suasana di dalam Stadion Senayan, Jakarta, sebelum kericuhan terjadi. Sejumlah aparat dengan anjing-anjing berjaga tak jauh dari panggung. (Video Untuk Kaum Muda/Faculty of Film and Television Jakarta Institute of Art dan Post Flowers Syndrom).

Menurut pengakuan salah seorang penonton lainnya, Jimmy Wissekerke, yang kala itu berusia 18 tahun, penonton sudah membakar koran dan kaus saat lagu “Burn” dimainkan. Karena suasana sudah tak kondusif, Jimmy yang saat itu datang bersama delapan temannya, segera angkat kaki meninggalkan area pertunjukan lebih awal.

Midi, 16-31 Desember 1975 melaporkan, ketika lagu kelima “Smoke on the Water”, para penonton di VIP A mulai destruktif. Di depan panggung yang dipadati manusia, polisi mengusir kerumunan dengan anjing.

“Lengkingan jeritan dan teriakan sampai terdengar di luar lingkaran stadion. Petugas keamanan tampaknya kurang menanggulangi mereka yang berbuat demikian, seperti dibiarkan saja, atau mungkin lebih menjaga barang-barang Purple yang memang berharga,” tulis Midi, 16-31 Desember 1975.

Menurut pengakuan Liliek, ketika lagu “Smoke on the Water” dilantunkan, penonton ikut bernyanyi dan berjoget. Namun, anjing-anjing dilepas dan membubarkan penonton.

“Ada yang dipukuli, ada yang ditendang petugas. Pokoknya kacau balau. Kekacauan yang saya lihat itu, hingga sekarang sulit dicari tandingannya,” ujar Liliek.

Liliek sempat memperhatikan personel Deep Purple dari kejauhan. Mereka seperti ketakutan melihat suasana yang kacau. Menurut Liliek, kerusuhan justru dipicu oleh aparat keamanan yang main tendang dan pukul, serta membiarkan anjing-anjing menerkam penonton.

“Mereka yang katanya rusuh, sebenarnya cuma mau joget saja kok. Dan, terutama ingin melihat idola mereka dari dekat,” kata Liliek.

Peter Crescenti dalam Circus Magazine edisi 23 Maret 1976 menulis, polisi sempat menembakkan peluru karet dan memopor sejumlah penonton. Bahkan, Jon Lord menyaksikan sendiri, seekor anjing menyeret anak muda, dengan darah yang membucah.

Mengenai begitu brutalnya aparat meredam kericuhan, dosen dan penulis buku Heavy Metal Parents: Identitas Kultural Metalhead Indonesia 1980-an Yuka Dian Narendra punya pandangan lain. Sebagai catatan, konser akbar Deep Purple dihelat dua hari sebelum Indonesia menginvasi Timor Portugis—kemudian menjadi Timor Timur, sekarang Timor Leste.

“Mungkin saja, pemerintah Orde Baru tengah fokus kepada isu keamanan dan stabilitas negara. Itu sedang jadi pertaruhan. Apalagi konser itu diadakan setahun setelah peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) dan menuju pendudukan Timor,” kata Yuka, ketika berbincang dengan saya, Selasa (6/11).

Yuka menlanjutkan, konser itu diadakan persis 10 tahun setelah peristiwa 1965. Orde Baru seolah-olah mencitrakan pemerintahannya lebih baik ketimbang pemerintahan Sukarno. Orde Baru memiliki agenda terhadap anak muda, salah satunya mengizinkan musik rok berdengung, setelah sebelumnya dikungkung pemerintahan Sukarno.

“Tapi, ternyata secara teknis penyelenggaraannya, Indonesia belum sesiap itu, listrik sampai dimatikan. Ada penonton yang histeris, lalu membakar baju atau protes terhadap apa. Itu belum ada informasi yang jelas,” ujar Yuka.

Majalah Mas Nomor 85/Tahun ke-III Desember 1975 menulis, kerusakan fasilitas Stadion Senayan mencapai Rp2,5 juta. Namun, panitia meraup Rp40 juta dari penjualan karcis malam pertama. Dan, Rp25 juta di malam kedua. Dari hitung-hitungan ini, sebenarnya mereka mengalami kerugian. Bila dilihat, dari majalah Mas, ongkos penyelenggaraan yang menelan total Rp80 juta.

Di balik hitung-hitungan tadi, personel Deep Purple jauh setelah konser diadakan, membuka fakta mengejutkan. Menurut Jon Lord dalam pengakuannya di Guitar World edisi Mei 1999, promotor konser tak pernah membayar mereka.

“Dia mengambil semua uang dan kami telah dideportasi,” kata Lord, seperti dikutip dari tulisan Chris Gill di Guitar World edisi Mei 1999.

Menurut rockcandymag.com dalam artikel “The end of the road”, Deep Purple sebenarnya sudah menandatangani kesepakatan untuk bermain satu pertunjukan di Jakarta. Namun, promotor menyetingnya menjadi dua pertunjukan. Akan tetapi, hanya bersedia membayar band yang kerap gonta-ganti personel itu dalam kontrak asli alias hanya satu pertunjukan.

“Kami berada dalam bom waktu di tengah-tengah perang yang baru saja dimulai di negara ini (invasi ke Timor). Kami semua beruntung bisa lolos hidup-hidup,” kata Glenn Hughes dalam artikel “Hughes plans tribute to dead bodyguard” di loudersound.com.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid