sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mendadak AI: Bagaimana ChatGPT cs mengubah keseharian gen Z

Perlu ada regulasi untuk memastikan gen Z tak kecanduan AI, kehilangan kreativitas dan daya kritis.

Rizkia Salsabila
Rizkia Salsabila Senin, 30 Okt 2023 16:04 WIB
Mendadak AI: Bagaimana ChatGPT cs mengubah keseharian gen Z

Sejak pertama kali mengenal ChatGPT pada akhir tahun lalu, Novi langsung "jatuh cinta". Sebagai pegawai yang ditugasi mengontrol akun media sosial di sebuah perusahaan di Jakarta Barat, ia merasa chatbot berbasis teknologi artificial intelligence (AI) jadi teman diskusi yang asyik dan bisa diandalkan dalam membantu pekerjaan sehari-harinya.  

"Enggak kebayang deh kalau enggak ada itu (ChatGPT). Waktu itu kan gue juga baru masuk kerja dan enggak punya pengalaman nulis-nulis di medsos gitu. Ya, curhat di medsos kan sering, tapi kan beda sama nulis buat akun resmi," kata perempuan yang tak mau menyebut nama lengkap itu saat berbincang dengan Alinea.id, belum lama ini. 

Saat ini, Novi ditugasi mengelola akun Twitter dan Instagram milik perusahaan tempatnya bekerja. ChatGPT membantu dia menuliskan narasi-narasi promosi dan memperbaiki kesalahan pengejaan dalam konten-konten narasi tersebut. 

"Jadi, tinggal instruksiin aja. Ya, sesekali kita ngecek juga bener atau enggak itu yang udah diperbaiki. Sejauh ini, sih ngebantu banget buat gue. Apalagi kalau, misalnya, harus produksi cepet kan," ujar dara berusia 23 tahun itu. 

Tak hanya pekerjaan, menurut Novi, ChatGPT juga jadi teman berbincang yang serba tahu. Di sela-sela pekerjaan, ia bahkan kerap bertanya mengenai hal-hal yang sifatnya personal. Suatu waktu, ia pernah menanyakan tipe zodiak yang cocok dengannya sebagai pasangan. 

"Gua kan Libra, ya. Terus dikasih tau yang cocok tuh apa. Sagitarius, misalnya, karena apa cocoknya. Ya, informatif bangetlah. Enggak perlu googling lagi udah tau tuh segala jenis informasi, meskipun ada disclaimer-nya. Ya, sekarang sih hampir tiap harilah buka ChatGPT," kata dia. 

Tak hanya kaum milenial, ketergantungan terhadap AI juga dirasakan sejumlah muda-mudi dari kalangan gen Z yang diwawancarai Alinea.id. Junior, bukan nama sebenarnya, misalnya. Saat ini, pemuda berusia 21 tahun itu berkuliah di Universitas Esa Unggul. Ia sudah semester tujuh. 

Junior bercerita rutin menggunakan AI generatif untuk membantu mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dan pekerjaan sehari-hari. Ia terutama menggunakan ChatGPT. 

Sponsored

"Terkadang saya masih bingung dalam menambahkan kata-kata dalam tugas-tugas saya. Namun, dengan adanya AI, saya tidak perlu bingung lagi. Kita cukup mengetik perintah saja, kemudian AI ini akan memberikan jawaban-jawaban yang kita inginkan," kata dia. 

Awalnya, Junior merasa tak bisa merampungkan tugas-tugas perkuliahan jika tak dibantu ChatGPT. Belakangan, ia mengaku mampu menyelesaikan makalah atau pekerjaan-pekerjaan lainnya tanpa harus membuka ChatGPT.

"Saya merasa terdapat beberapa hal yang sudah tertanam di kepala saya sehingga tidak begitu memerlukan AI untuk beberapa pekerjaan. Saya tidak merasa pilihan hidup saya akan ditentukan oleh AI, tetapi terus terang saya cukup khawatir tentang (potensi ketergantungan) itu," ujar dia. 

Nickholsen, 20 tahun, beda lagi. Sama-sama berkuliah di Universitas Esa Unggul, Nickholsen mengaku punya ketergantungan yang parah terhadap ChatGPT. Hampir setiap tugas perkuliahan kini ia serahkan kepada chatbot buatan OpenAI itu. 

"Sebenarnya AI itu membawa dampat buruk bagi saya. Punya ketergantungan banget karena saya jadi malas untuk bikin tugas. Khawatir, tapi ya mau bagaimana lagi?" ujar Nickholsen kepada Alinea.id

Ilustrasi AI generatif. /Foto Freepik

Tak bisa dimungkiri, AI telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Survei Salesforce yang dirilis September 2023 menemukan sebanyak 70% gen Z pernah dan rutin menggunakan AI generatif. Mayoritas memakai AI untuk membantu pekerjaannya. 

Selain ChatGPT, saat ini sudah ada sejumlah AI generatif yang terbuka aksesnya untuk publik, semisal Bard (Google), Bing (Microsoft) dan Ernie (Baidu). Ada pula AI generatif dengan kemampuan spesifik, semisal Chatsonic, Typingmind, dan lainnya. Ke depan, jenis-jenis AI diprediksi akan kian beragam. 

Pemerhati dunia digital Agus Sudibyo mengatakan jenis-jenis AI bakal terus menjamur dan mengubah pola kehidupan gen Z. Pasalnya, teknologi AI yang terus berkembang saat ini terbukti mampu melakoni kerja-kerja mekanik yang sebelumnya dilakukan secara manual. 

"Mempengaruhi cara Gen Z bekerja, beraktualisasi, menyelesaikan masalah. Dia semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari Gen Z. AI ini kan semakin lama semakin canggih, semakin sophisticated kemampuannya dalam menggantikan fungsi-fungsi teknis, akademik, intelektual dari manusia," ujar Agus kepada Alinea.id

Meski begitu, Agus mengingatkan agar generasi Z tidak terbuai dengan kemudahan yang disodorkan AI. Pasalnya, tidak semua pekerjaan bisa diserahkan kepada AI. Selain itu, AI pun punya limitasi-limitasi yang membatasi kemampuannya dalam menyelasaikan persoalan. 

"Gen Z itu harus didorong untuk punya kemampuan problem solving, menganalisis, menulis, merangkai, mendeskripsikan sesuatu, menarasikan sesuatu di luar AI. Jadi, jangan sekonyong konyong langsung AI. Kalau orang studi di khusus seni itu, mereka tidak diajari digital drawing sebelum mereka menguasai manual drawing," tutur dia. 

Kemudahan yang dibawa AI, lanjut Agus, memungkinkan para penggunanya kehilangan daya imajinasi dan tak lagi kritis. Karena dampaknya yang besar bagi publik, menurut Agus, perlu regulasi khusus untuk mengatur eksistensi AI. 

"Tapi, regulasinya seperti apa, ini yang sulit, karena kita harus menemukan model regulasinya. Di dunia ini belum banyak mode regulasinya dan regulasi di Eropa itu masih eksperimental. Masih coba-coba juga," ujar dia. 

Ilustrasi robot pekerja di masa depan. Alinea.id/Aisya Kurnia

Perlu diregulasi 

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo Usman Kansong mewanti-wanti agar masyrakat, khususnya dari kalangan milenial dan gen Z, tidak memanfaatkan AI generatif untuk tugas-tugas akademik atau yang terkait dengan pekerjaan. Ia menyebut AI generatif masih punya banyak kelemahan dan seringkali menyemburkan misinformasi. 

Pada era pandemi Covid-19, misalnya. Menurut Usman, ChatGPT pernah diuji untuk membuat makalah mengenai kemujaraban Ivermectin sebagai obat Covid-19. Kala itu, ChatGPT menyimpulkan Ivermectin telah terbukti ampuh untuk mengobati berbagai penyakit selama bertahun-tahun. Padahal, belum ada bukti ilmiah bahwa Ivermectin mujarab.

"Setelah diteliti, ChatGPT itu mendapat asupan dari mereka yang antivaksin. Mereka itu kan tidak mau divaksin. Ya, pokoknya minum Ivermectin aja beres Covid-nya. Nah, itu salah satu contoh bahwa ChatGPT pun bisa, istilahnya, quote-unquote, berbohong," kata Usman kepada Alinea.id.

Mei lalu, Newsguard menemukan GPT-4, versi premium dari ChatGPT, memproduksi lebih banyak narasi berkategori misinformasi ketimbang pendahulunya. Sebelumnya, kajian Newsguard mendapati ChatGPT-3 menghasilkan kisaran 80% narasi ketika diinstruksikan untuk menganalisis 100 naskah berita. 

"Saya juga tidak setuju dengan kekhawatiran yang berlebihan. Tetapi, gunakannya secara proporsional. Kalau AI itu berdampak buruk, ya, jangan gunakan. Misalnya, AI berdampak buruk pada pada kreativitas kita, pada upaya dan kerja keras kita, saya kira tinggalkan saja," jelas Usman. 

Usman mengakui AI bakal terus ngetren dan sulit dibendung. Dampak paling negatif, kata dia, eksistensi AI bisa menyebabkan dehumanisasi dan mengambil alih pekerjaan-pekerjaan manusia. Ia mencontohkan sejumlah perusahaan di Korea yang kini menggunakan avatar menggantikan artis K-pop untuk mempromosikan produk-produk mereka. 

"Ya, karena AI tidak punya perasaan, tidak punya daya kritis, tidak pernah komplain, tidak nuntut gaji, tidak minta naik gaji. Justru itu karena manusia punya perasaan dan AI tidak punya perasaan, maka orang justru banyak memakai AI," jelas dia. 

Karena dampaknya yang besar, Usman sepakat perlu ada regulasi untuk mengatur AI. Selain yang sifatnya memaksa semisal yang termakub dalam UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan yang rencananya bakal diselipkan di salah satu poin revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), regulasi etika juga perlu dibuat oleh lembaga dan institusi. 

"Ya, itu sedang kita susun dan kalau regulasi etika sebetulnya masing-masing pihak bisa bikin. Universitas bisa bikin, misalnya, dengan melarang mahasiswa menggunakan AI untuk tugas kuliah dan skripsi, Perusahaan bisa bikin. Kalau regulasi yang memaksa baru harus negara yang bikin karena bentuknya undang-undang atau peraturan," jelas dia. 

Berita Lainnya
×
tekid