

Mengapa penulisan “sejarah resmi” Indonesia menuai polemik?

Proyek penulisan “sejarah resmi” Indonesia menuai polemik. Pemerintah berencana menerbitkan “buku babon” sejarah nasional pada Agustus nanti, sebagai “hadiah” hari kemerdekaan ke-80.
Pernyataan “penulisan ulang” buku sejarah nasional ini pertama kali dilontarkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon selepas pertemuan dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) di Bandung, Jawa Barat, pada Desember 2024 lalu. Menurutnya, bakal ada revisi penambahan di buku sejarah. Salah satu revisi itu, kata Fadli, terkait sejarah peradaban di Indonesia yang ternyata lebih tua.
“Ada temuan-temuan baru, misalnya penelitian terbaru dalam prasejarah kita, seperti Gua Leang-Leang Maros yang tadinya usianya diduga 5.000 tahun ternyata 40.000-52.000 tahun yang lalu usianya, itu kan harus ditambahkan. Kalau tidak ada yang baru, ya kita teruskan,” kata Fadli, dikutip dari Antara.
Apa saja yang bakal direvisi dan siapa saja yang dilibatkan?
Dikutip dari Antara, Ketua Umum MSI Agus Mulyana mengatakan, revisi sejarah yang dimaksud terkait data dan temuan dari riset sejarah atau arkeologi terbaru untuk memberikan energi positif pada bangsa. Terutama kepercayaan diri.
Agus menambahkan, pembaruan catatan sejarah ini pun bakal menyasar masa kolonial di Indonesia, termasuk lamanya Nusantara dijajah.
“Tidak semua daerah 350 tahun (dijajah), tetapi kekuasaan VOC atau Belanda itu berproses. Aceh saja, ini contoh, tahun 1920-an bahkan 1930-an itu belum ditaklukkan. Artinya tidak dijajah,” ucap Agus.
Agus menyebut, revisi tersebut pun akan dilakukan dengan menyasar periodisasi sejarah yang saat ini telah ada 10 jilid dengan periode sejarah hingga masa reformasi. Periodisasi itu akan dilanjutkan hingga masa pemerintahan Prabowo Subianto.
Dalam kesempatan berbeda, Fadli mengatakan, penulisan ulang sejarah nasional akan melibatkan para sejarawan yang dihimpun dari seluruh Indonesia. Termasuk dari perguruan tinggi.
“Kita tidak menulis dari nol, sudah ada (buku) SNI (Sejarah Nasional Indonesia) tahun 1984, lalu ada Indonesia dalam arus sejarah tahun 2012, kita melanjutkan dan mendasarkan dari itu, dengan kajian-kajian,” kata Fadli di Bandung, Selasa (29/4), dikutip dari Antara.
Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi menjadi Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Dia turut bersama dua sejarawan lain, yakni Guru Besar dari Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono dan Guru Besar dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jajat Burhanuddin, menjadi editor umum.
Proses penulisannya diklaim melibatkan hampir 120 sejarawan dan arkeolog. Kepada Kompas.com, Susanto mengatakan, proyek ini sebenarnya sudah dimulai sejak Januari 2025. Susanto mengungkap, banyak sejarawan muda yang dilibatkan.
Bagaimana gambaran isi bukunya?
Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) atau yang kerap disebut buku babon sejarah, menjadi pegangan wajib mahasiswa jurusan sejarah di perguruan tinggi. Buku ini juga jadi acuan mengajar di institusi pendidikan. Ditulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto pertama kali pada 1975.
Lalu ada revisi atau pemutakhiran pada 1977 dan 1981-1983. Kemudian terjadi pemutakhiran lagi tahun 2011. Buku SNI tersebut terdiri dari enam jilid, dengan periodisasi tertentu di masing-masing jilid.
Menurut Susanto Zuhdi, nantinya buku sejarah nasional yang baru ada 10 jilid. Judul setiap periode belum ditentukan, namun tema setiap bab sudah ada. Kepada Kompas.com, salah seorang editor umum proyek itu, Singgih Tri Sulistiyono menjabarkan rancangan 10 bab yang telah disusun. Istilah seperti prasejarah, masa Hindu-Buddha, dan masa Kerajaan Islam dihilangkan.
Bab I sejarah awal. Tim sengaja menghindari istilah prasejarah karena menilai, istilah tersebut terkesan inferior. Bab II perjumpaan budaya dengan India, Bab III perjumpaan budaya dengan Timur Tengah, Bab IV perjumpaan dengan kongsi dagang asing Eropa, Bab V kolonialisme dan perlawanannya, Bab VI munculnya nasionalisme Indonesia, Bab VII perang kemerdekaan, Bab VIII demokrasi liberal, Bab IX Orde Baru, dan Bab X reformasi 1998 sampai pemerintahan Presiden Jokowi.
Mengapa menuai kontroversi?
Di tengah proses penggarapan, salah seorang arkeolog yang terlibat, Harry Truman Simanjuntak mundur dari tim pada 22 Januari 2025. Dari keterangan tertulis yang diterbitkan di situs web Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS) Indonesia, Truman tidak sepakat dengan penggantian istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal.”
“Saya sangat prihatin dengan keputusan ini karena tidak melihat konstelasi dunia keilmuan serta spektrum dampak yang mungkin ditimbulkan,” kata Truman dalam keterangan tertulis.
“Tentu sebagai prasejarawan yang puluhan tahun menggeluti prasejarah di lingkup nasional dan internasional, saya tegas tidak setuju dengan keputusan ini, hingga menyatakan mundur dari editor jilid I.”
Sejumlah sejarawan, arkeolog, akademisi, pakar hukum, pengamat HAM, dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak proyek penulisan “sejarah resmi” Indonesia ini. Pada Senin (19/5), mereka melakukan audiensi dengan Komisi X DPR untuk menyampaikan penolakan itu.
Dalam keterangan tertulis di situs web Amnesty, terdapat beberapa poin alasan penolakan. Pertama, proyek tersebut tidak memenuhi kaidah sebagai suatu produk ilmu pengetahuan sejarah, hanya menghasilkan penggelapan sejarah bangsa.
Kedua, sejarah dunia dan sejarah Indonesia sudah menunjukkan kalau sejarah adalah teks yang multitafsir, tidak tunggal apalagi dimonopoli negara. Ketiga, Kementerian Kebudayaan dinilai mengabaikan fakta tentang peran penting gerakan perempuan dalam sejarah.
Keempat, terjadi pemaksaan konsep, salah satunya mengubah istilah prasejarah menjadi sejarah awal. Kelima, penggunaan istilah “resmi” dalam terminologi “sejarah resmi” disebut suatu anakronisme yang menandai kemunduran intelektual dalam negara demokrasi.
Sejarawan dan peneliti pascadoktoral di Royal Netherlans Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Adrian Perkasa dalam The Conversation menulis, beberapa pihak percaya proyek revisi sejarah nasional ini adalah usaha sistematis dan terencana guna mendukung rezim karena hanya melibatkan kalangan akademisi atau sejarawan yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Proyek ini, disebut Adrian, dalam kerangka konsepnya juga tidak memberikan cukup porsi untuk gerakan perempuan di masa pergerakan. Di samping itu, narasi sejarah di daerah-daerah di luar Jawa, katanya, juga belum terepresentasikan dengan baik.
“Berkaca dari penulisan SNI di masa lalu yang diwarnai kegagalan maupun kontroversi, maka proyek revisi sejarah Indonesia ini perlu ditinjau ulang, bahkan bila mungkin dihentikan,” tulis Adrian dalam The Conversation.


Berita Terkait
Yang tersirat dari "rumor" pemerkosaan massal 1998 Fadli Zon
Kiprah sirkus keliling Oriental Circus Indonesia
Saat film Amerika Serikat diboikot di Indonesia
Sabung ayam di masa silam

