Pernah merasa hidup tidak adil? Merasa selalu jadi korban keadaan atau orang lain? Hati-hati, bisa jadi itu tanda mentalitas korban—pola pikir yang membuat seseorang merasa selalu dirugikan dan tak punya kendali atas hidupnya.
Mentalitas korban bukan sekadar keluhan sesaat. Ini adalah pola berpikir yang terus-menerus menyalahkan faktor luar atas segala masalah. Dari kegagalan hubungan, tekanan pekerjaan, hingga nasib buruk sehari-hari, semuanya dianggap bukan tanggung jawab pribadi. Kalimat seperti “memang selalu begini nasib saya” atau “semua ini salah orang lain” jadi narasi yang berulang.
Pola ini bisa merusak kesehatan mental, menghambat pertumbuhan pribadi, dan menjauhkan seseorang dari hubungan yang sehat. Di tempat kerja, mereka yang terjebak mentalitas korban cenderung stagnan, karena lebih sibuk menyalahkan keadaan ketimbang mencari solusi.
Masalahnya, mentalitas korban sulit disadari. Justru lebih mudah melihatnya pada orang lain. Mereka sering menghindari kritik, mudah merasa diserang, dan sulit menerima tanggung jawab, bahkan untuk hal kecil seperti telat datang atau salah bersikap pada orang terdekat.
Menurut para psikoterapis orang dengan pola pikir ini cenderung menghindari keputusan sulit, takut keluar dari zona nyaman, dan kerap merasa dunia tidak adil. Mereka juga cenderung melihat dunia secara hitam-putih, cepat menghakimi, dan sulit mempercayai orang lain.
Latar belakang trauma masa kecil, pengalaman ditinggalkan, atau situasi tertindas bisa memicu pola pikir ini. Dalam banyak kasus, mentalitas korban muncul sebagai mekanisme bertahan—cara untuk mendapat simpati atau rasa aman, terutama jika selama ini hidup mereka diwarnai ketidakadilan atau kekerasan emosional.
Namun, ada harapan. Keluar dari mentalitas korban memang tak mudah, tapi bisa dilakukan lewat langkah-langkah kecil yang konsisten. Dr. Tugnait menyarankan agar seseorang mulai dengan mengubah narasi diri: dari “apa yang terjadi pada saya?” menjadi “apa yang bisa saya lakukan sekarang?”
Beberapa cara sederhana yang bisa dicoba:
Lihat tantangan sebagai pelajaran, bukan hukuman. Catat apa yang bisa dipetik dari setiap kesulitan.
Ambil kendali lewat keputusan kecil: tentukan rutinitas pagi, buat to-do list, dan rayakan pencapaiannya.
Bayangkan Anda menasihati teman saat muncul pikiran negatif. Ini membantu melihat masalah dari sudut pandang yang lebih objektif.
Latih rasa syukur. Tuliskan tiga hal kecil yang Anda syukuri setiap hari.
Ulangi naskah yang memberdayakan, misalnya dengan peran bermain bersama orang tepercaya.
Catat kemajuan pribadi, agar Anda bisa melihat bukti nyata bahwa perubahan itu mungkin.
Dan yang tak kalah penting: kelilingi diri Anda dengan orang-orang yang mendukung pertumbuhan, bukan yang memperkuat perasaan menjadi korban.
Mengubah pola pikir bukan proses instan. Tapi langkah kecil hari ini bisa jadi awal dari hidup yang lebih mandiri, sehat, dan bermakna.(indiatoday)