sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menyelamatkan desa wisata yang sekarat akibat pandemi Covid-19

Objek wisata berbasis masyarakat di beberapa daerah terpaksa tutup karena pandemi. Imbasnya, ekonomi warga pun tersungkur.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 07 Feb 2021 06:40 WIB
Menyelamatkan desa wisata yang sekarat akibat pandemi Covid-19

Meski sudah dibuka kembali awal pekan lalu, tempat wisata air Umbul Ponggok di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah masih terlihat sepi pengunjung. Sepinya pengunjung berimbas pada merosotnya pendapatan tempat wisata yang jadi salah satu sumber pemasukan Desa Ponggok itu.

Masalah ini membuat Kepala Desa Ponggok, Junaedi Mulyono harus putar otak mengakali anggaran pendapatan dan belanja desa. Daerah yang berstatus desa wisata itu tengah kelimpungan soal keuangan, sejak sektor pariwisata dipukul pandemi Covid-19.

“Biar bagaimana pun, kita harus survive. Sebisa mungkin harus bertahan,” ujarnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (1/2).

Terpuruk karena pandemi

Kunjungan ke tempat-tempat wisata di Desa Ponggok, termasuk Umbul Ponggok, kata Junaedi baru 25%. Sangat jauh dari kondisi sebelum pandemi.

“Masyarakat masih takut keluar untuk wisata,” katanya.

Junaedi mengatakan, selama pandemi, pendapatan dari Umbul Ponggok hanya bisa menutup ongkos perawatan fasilitas penunjang wahana dan gaji karyawan. Gaji karyawan pun dilakukan pemotongan, tetapi tak ada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Strategi untuk menarik wisatawan dilakukan pula dengan “merombak” Umbul Ponggok dan destinasi lainnya di Desa Ponggok agar lebih adaptif guna mencegah penularan virus. Namun tetap saja kunjungan lesu. Kondisi ini juga berakibat merosotnya ekonomi warga Desa Ponggok, yang mengandalkan aktivitas wisata sebagai sumber pendapatan.

Sponsored

"Ekonomi masyarakat di sini memang bentuknya UMKM, yang bergantung dari pariwisata. Jadi, dampaknya benar-benar terasa sekali bila pariwisata terpuruk," kata Junedi.

Pendapatan Desa Ponggok turun drastis hingga 20%. Imbasnya, pembangunan desa tersendat.

"Dulu kita per tahun pendapatan Bumdes (badan usaha milik desa) bisa sekitar Rp16,2 miliar. Sekarang nyari Rp3 miliar saja susahnya minta ampun," ucapnya.

Ia mengatakan, APBD desa kini hanya Rp3,2 miliar. Padahal, dalam kondisi normal sebelum pandemi, bisa Rp5,2 miliar.

Hingga kini, Junaedi mengaku, belum mendapat solusi apa pun dari pemerintah terkait masalah pariwisata yang babak belur. Padahal, menurutnya, hal itu sangat penting untuk mengeluarkan warga desa dari keterpurukan ekonomi.

Curug 7 Bidadari di Desa Keseneng, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah terlihat sepi pengunjung semenjak ditutup karena pandemi Covid-19./Foto dokumentasi Maskuri.

Tempat wisata Curug 7 Bidadari milik Desa Wisata Keseneng, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah mengalami hal serupa. Selama pandemi Covid-19, tempat wisata air terjun ini tak mendapatkan sepeser pun pemasukan lantaran ditutup.

“Sekarang kami tak dapat pemasukan dari situ,” ujar Kepala Desa Keseneng, Maskuri saat dihubungi, Minggu (31/1).

Akan tetapi, pengelola Curug 7 Bidadari masih dapat bantuan dari Pemprov Jawa Tengah berupa dana untuk pembangunan sarana penunjang wisata.

“Bantuan itu untuk membangun gedung training center. Karena dianjurkan ditutup oleh Dispora (Dinas Pemuda dan Olahraga) Kabupaten Semarang selama pandemi, ya kami manfaatkan saja untuk pembenahan,” ucap salah seorang pengelola Curug 7 Bidadari, Basuki saat dihubungi, Minggu (31/1).

Penutupan Curug 7 Bidadari juga berdampak besar terhadap ekonomi warga desa. Pendapatan desa pun menurun drastis.

“Sebelum pandemi pendapatan lumayan karena hampir seminggu sekali ada camping ground,” ujarnya.

Basuki berharap, ada pelonggaran bagi objek wisata, sehingga Curug 7 Bidadari bisa dibuka kembali dan menggairahkan lagi ekonomi warga.

Lesu pariwisata berbasis masyarakat juga dikeluhkan Purwanto—salah seorang pelaku UKM di kawasan wisata Sikunir, dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Pengusaha carica ini mengaku, usahanya nyaris bangkrut karena pariwisata di Sikunir mati.

Saat ini, kata dia, banyak pengusaha oleh-oleh di Dieng gulung tikar karena hanya mengandalkan pemasukan dari objek wisata di Dieng. Tinggal Purwanto pengusaha carica yang tersisa di sekitar Dieng.

“Yang lain berhenti produksi karena sejak Maret sampai Agustus itu enggak ada pemasukan,” kata dia saat dihubungi, Minggu (31/1).

“Saya coba cari pasar di luar Dieng. Soalnya enggak bisa terserap sama sekali di Dieng karena Sikunir tutup.”

Pendapatannya merosot tajam sejak pandemi. Sebelum pandemi, ia mengaku bisa mengantongi uang paling tinggi Rp10 juta-Rp12 juta ketika akhir pekan. Kini, ia mencoba menjamah pasar lain.

“Alhamdulillah saya bisa ngirim ke Semarang, Jakarta, sama Pontianak," ujar Purwanto yang memiliki 10 karyawan ini.

Menanggapi segala macam problem tersebut, Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Agustini Rahayu mengatakan, pihaknya sedang menghadapi dilema untuk menggenjot pariwisata di desa karena selalu berhadapan dengan ancaman penularan Covid-19.

Ia menyebut, pariwisata dan ekonomi kreatif merupakan sektor paling terdampak pandemi. Di sisi lain, pencegahan penyebaran Covid-19 terus dilakukan, seperti penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau yang sekarang disebut penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Kendati demikian, Agustini mengungkapkan, Kemenparekraf sudah melakukan berbagai upaya untuk meringankan beban sosial dan ekonomi masyarakat desa yang terkait dengan objek wisata.

“Seperti menyalurkan bantuan langsung sembako kepada pekerja sektor parekraf,” katanya ketika dihubungi, Kamis (4/2).

“Bantuan stimulus berupa dana hibah pariwisata, relaksasi perpajakan kepada pelaku usaha pariwisata agar tidak melakukan PHK besar-besaran, serta bantuan sosial lainnya dalam upaya meringankan beban masyarakat, termasuk masyarakat di desa wisata.”

Pihaknya juga sedang mempersiapkan stimulus berupa bantuan dana hibah pariwisata untuk desa-desa wisata. Upaya ini dilakukan bekerja sama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Selain itu juga kami tengah mempersiapkan skema bantuan pinjaman lunak, bunga ringan di bawah KUR (kredit usaha rakyat), nilainya mencapai Rp50 juta dan tanpa anggunan, supaya dapat membantu para UMKM parekraf yang banyak tersebar di desa wisata," ujarnya.

Akan tetapi, ia menyebut, stimulus itu belum bisa dipastikan kapan bisa dikucurkan ke desa wisata karena masih digodok di Kemenkeu. Namun, rencananya akan ada 244 desa wisata yang dibantu.

Dua orang anak terjun ke kolam tempat wisata air Umbul Ponggok, Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah./Foto dokumentasi Junaedi Mulyono.

Usaha membuat wisata bangkit

Sementara itu, anggota Komisi X DPR dari fraksi Golkar Hetifah Sjaifudian mengatakan, sudah mendorong dibentuknya panitia kerja (panja) pemulihan pariwisata untuk mengatasi keterpurukan desa wisata.

Ia pun menyarankan agar masyarakat digiring untuk berwisata di daerah setempat. Tujuannya, demi menggairahkan kembali sektor pariwisata sekaligus mencegah persebaran Covid-19.

"Desa wisata itu sebenarnya berpotensi besar untuk menjawab dua tantangan sekaligus, yaitu menggerakkan perekonomian lokal dan meminimalisir mobilisasi wisatawan, sehingga mengurangi penyebaran Covid-19," ucapnya ketika dihubungi, Kamis (4/2).

Ia juga mendorong agar Kemenparekraf membenahi desa wisata agar lebih adaptif terhadap pencegahan penularan Covid-19. Hetifah menilai, saat ini adalah momen desa wisata merebut pasar wisatawan domestik asal memenuhi protokol kesehatan yang ketat untuk menjamin keamanan pengunjung.

"Saya sih optimis program Desa Wisata akan menjadi solusi bagi pariwisata kita," ucapnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Tourism Development Center (TDC) Universitas Andalas, Sari Lenggogeni menuturkan, sebenarnya saat ini hasrat warga untuk berwisata alam sangat tinggi. Namun, tak sedikit yang masih ragu karena khawatir tertular virus.

Sari mengungkapkan, realitas itu terlihat dari survei yang ia lakukan mulai dari awal pandemi (Maret 2020) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali (Januari 2021). Sebanyak 3.650 responden dari 179 kabupaten/kota dan 34 provinsi terlibat dalam survei tersebut.

“Hasilnya emosi orang saat ini butuh hiburan karena stres," ujarnya saat dihubungi, Jumat (5/2).

Sama seperti Hetifah, Sari pun menyarankan agar desa wisata bisa beradaptasi dengan protokol kesehatan Covid-19. Menurut dia, programnya jangan seakan-akan keadaan sudah normal atau hanya mengandalkan destinasi yang menarik saja.

"Tapi harus ada jaminan soal kesehatan bagi masyarakat. Untuk saat ini mau tidak mau semua sektor harus bersahabat dengan kesehatan," ujar Sari.

Ia mencontohkan, beberapa kelompok sadar wisata di Sumatera Barat sudah ada sebagian yang mengubah standar objek wisatanya. Namun, Sari melihat, memang masih belum banyak wisata berbasis masyarakat yang menyesuaikan dengan situasi pandemi.

Di samping itu, Sari mendorong pemerintah daerah untuk mengakomodasi produk UMKM setempat dengan membuat bazar virtual. Kegiatan itu merupakan salah satu solusi menjawab keterpurukan yang dialami pelaku UMKM di sektor pariwisata.

"Jadi mereka terbantu dengan itu, meski daya beli menurun. Sebab memang ada orang yang masih takut berpariwisata karena khawatir kena Covid-19," ucapnya.

Ia menjelaskan, saat ini semua penunjang pariwisata harus bersahabat dengan upaya pencegahan penularan Covid-19. Dengan begitu, sentimen pariwisata menjadi positif dan pelan-pelan bisa memulihkan ekonomi warga. Namun, ia menggarisbawahi, dibutuhkan kreativitas pemerintah daerah untuk menerapkan strategi ini.

"Jadi seluruh kadispar (kepala dinas pariwisata) juga harus membantu membuat prosedur standar yang adaptif Covid-19,” tuturnya.

“Soalnya masalahnya kadispar itu kadang ngerjain sesuatu seakan-akan tidak ada apa-apa. Padahal kita itu lagi sakit.”

Berita Lainnya
×
tekid