close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Arsitektur Omah Tanah di pesisir Pantai Loji, Sukabumi, Jawa Barat./Foto FX Bambang Sn.
icon caption
Arsitektur Omah Tanah di pesisir Pantai Loji, Sukabumi, Jawa Barat./Foto FX Bambang Sn.
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 18 Juli 2025 12:00

Omah Tanah: Eksplorasi arsitektur berkelanjutan berbasis lokalitas

Omah Tanah sendiri dirancang untuk merespons kekayaan budaya dan alam setempat, sekaligus mengadopsi gaya hidup kekinian.
swipe

BPA Institute, platform edukasi online besutan Budi Pradono Architect yang berfokus pada arsitektur dan urbanisme dengan jejaring global, akan menggelar "Open Architecture" pada 19-20 Juli 2025 di Omah Tanah, sebuah hunian unik yang berdiri di antara perbukitan dengan panorama pesisir Pantai Loji, Sukabumi, Jawa Barat.

Para peserta akan diajak mendalami disiplin ilmu desain arsitektur dengan metode pembelajaran khas BPA Institute yang kolaboratif. Arsitek BPA, Budi Pradono menegaskan pentingnya sensitivitas terhadap tempat, pemilihan material lokal, dan keharmonisan dengan alam tanpa meninggalkan kemajuan zaman.

“Sensitivitas pada tempat, lokalitas material, serta bersinergi dengan alam tanpa mengabaikan progresivitas kehidupan kontemporer adalah mantra tersahih arsitektural saat ini,” ujar Budi Pradono, dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Jumat (18/7).

Acara ini menjadi ruang diskusi terbuka untuk memahami konsep arsitektur berkelanjutan dengan desain inovatif yang berpijak pada budaya lokal. Omah Tanah sendiri dirancang untuk merespons kekayaan budaya dan alam setempat, sekaligus mengadopsi gaya hidup kekinian.

Budi menjelaskan, dalam konteks budaya Jawa, penyebutan rumah memiliki strata sosial tersendiri. Omah Tanah diharapkan menjadi simbol hunian masyarakat biasa yang menyatu dengan rumah-rumah tradisional lainnya yang egaliter. Dia juga menyoroti pemanfaatan tanah sebagai material utama konstruksi—dikenal sebagai rammed earth house di Barat—yang dirancang untuk menghadapi suhu ekstrem.

“Di Barat, arsitektur identik sebagai ‘arsitektur perlindungan’ karena kondisi cuaca yang ekstrem. Namun di Indonesia, kita mengenal ‘arsitektur pernaungan’, di mana kita hanya perlu berteduh di bawah atap saat hujan atau panas,” kata Budi.

Omah Tanah menjadi kombinasi dua pendekatan itu. Budi juga mempertahankan ekosistem sekitar, seperti jalur sungai di dekat hunian yang diolah seperti sistem pengairan tradisional Subak di Bali. Pemanfaatan air hujan sebagai air minum, solar cell sebagai sumber listrik, hingga eksperimen material tanah liat lokal yang dikombinasikan dengan beton menjadi bagian dari inovasi di Omah Tanah.

“Di balik gunung ini kaya akan tanah liat berwarna kecokelatan muda. Setelah enam bulan proses eksperimen dengan teknik tumbuk dan campuran beton minimal, dinding yang dihasilkan terbukti kuat dan ulet,” ucap Budi yang telah meneliti teknik ini selama 15 tahun, termasuk di Shui Guan, China.

Budi juga merancang orientasi bangunan menghadap laut, lengkap dengan balai-balai kayu di pesisir sebagai ruang jeda sekaligus ikon visual yang menyatu dengan alam. Bentuk atap Omah Tanah didesain menyerupai ombak menggunakan material metal, dengan kanopi lebar untuk mengantisipasi curah hujan tinggi.

“Arsitektur bukan sekadar bangunan, tetapi tentang kepekaan arsitek dalam menempatkan massa bangunan secara tepat. Arsitektur harus memberi dampak positif bagi tempat, material lokal, dan lingkungan sekitar, sekaligus beradaptasi dengan kehidupan kontemporer,” tutur Budi.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan