Penelitian yang diterbitkan di jurnal Scientific Reports menemukan, orang yang menganggap dirinya memiliki status sosial lebih tinggi, cenderung kurang mampu memahami emosi orang lain.
Status sosial merupakan posisi atau peringkat seseorang dalam kelompok atau masyarakat. Memiliki status sosial yang lebih tinggi, memberikan keuntungan seperti akses yang lebih baik terhadap sumber daya, pasangan, dan perlindungan, yang semuanya meningkatkan peluang bertahan hidup.
Di masa sekarang, status sosial tetap memengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Selain itu, status sosial juga berpengaruh pada kesejahteraan psikologis. Individu dengan status sosial yang lebih tinggi biasanya memiliki rasa percaya diri dan kepuasan hidup yang lebih besar.
Sebaliknya, status sosial yang rendah sering dikaitkan dengan tingginya tingkat stres, kecemasan, dan perasaan terasing. Status sosial juga memengaruhi cara seseorang diperlakukan oleh orang lain, seperti rasa hormat, kepercayaan, dan pengaruh yang diberikan dalam interaksi sosial.
Penelitian terbaru menunjukkan, orang dengan status sosial rendah cenderung lebih mengandalkan kemampuan persepsi sosial mereka untuk berinteraksi dan menavigasi hubungan dengan orang lain. Hal ini wajar, karena bagi mereka yang memiliki sumber daya terbatas, kemampuan sosial kognitif—yaitu kemampuan memahami perasaan dan pikiran orang lain dengan tepat—sangat penting untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, ada pula pendapat yang menyatakan, kemampuan sosial kognitif yang baik justru dapat membantu seseorang meningkatkan status sosialnya.
Penelitian ini melibatkan 1.197 orang dewasa di Amerika Serikat yang direkrut melalui platform Prolific. Para partisipan diwajibkan fasih berbahasa Inggris dan memiliki tingkat persetujuan minimal 98% dari partisipasi sebelumnya di Prolific. Rata-rata usia mereka adalah 38 tahun, dengan 50% perempuan dan 74% berkulit putih. Sebanyak setengah dari mereka menyatakan diri sebagai pendukung Partai Demokrat.
Pertama, partisipan diminta menyelesaikan dua tes pengenalan emosi, yaitu Geneva Emotion Recognition Test (GERT) untuk mengukur kemampuan mengenali emosi individu dan Ensemble Emotion Task untuk mengukur kemampuan mengenali emosi dari sekelompok orang.
Dalam tes kedua, mereka juga mengerjakan tugas persepsi non-sosial sebagai pembanding (kontrol). Setelah menyelesaikan tes tersebut, partisipan menjawab sejumlah pertanyaan terkait status sosial subjektif dan objektif, serta informasi demografis lainnya.
Status sosial subjektif diukur menggunakan MacArthur Subjective Social Status Scale, Subjective Social Class Scale, dan Subjective SES Scale. Pada tes ini, partisipan ditunjukkan gambar tangga. Anak tangga paling atas mewakili orang-orang dengan kondisi terbaik, seperti memiliki banyak uang, pendidikan tinggi, dan prospek karier yang bagus. Anak tangga paling bawah menggambarkan mereka yang berada pada posisi paling sulit dalam masyarakat. Partisipan kemudian diminta memilih anak tangga yang mewakili posisi mereka.
Status sosial objektif diukur melalui pertanyaan tentang pendapatan dan tingkat pendidikan partisipan, serta pendidikan orang tua mereka.
Hasilnya, orang yang merasa memiliki status sosial lebih tinggi justru lebih buruk dalam mengenali emosi yang ditunjukkan oleh individu lain. Namun, hubungan ini tidak terlihat pada kemampuan mengenali emosi kelompok atau tugas persepsi non-sosial.
Peneliti juga menemukan bukti awal peningkatan status sosial yang dirasakan sepanjang hidup berkaitan dengan penurunan kemampuan mengenali emosi.
“Temuan ini mendukung pandangan, status sosial memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengenali emosi. Namun, yang paling penting, hubungan ini bergantung pada persepsi subjektif seseorang tentang statusnya, baik dalam membandingkan dirinya dengan orang lain maupun dalam menilai perjalanan hidupnya sendiri,” tulis para peneliti, dikutip dari PsyPost.