sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rasa kesepian usai pandemi

Problem kesepian terjadi usai pandemi Covid-19 yang menghentikan aktivitas sosial dan ekonomi.

Fandy Hutari Rizky Fadilah
Fandy Hutari | Rizky Fadilah Kamis, 23 Nov 2023 21:59 WIB
Rasa kesepian usai pandemi

World Health Organization (WHO) menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan dunia yang mendesak. Problem kesepian terjadi usai pandemi Covid-19 yang menghentikan aktivitas sosial dan ekonomi. Dampak kematian akibat kesepian, disebut setara dengan merokok 15 batang sehari (Baca juga: Mengintervensi risiko kematian akibat kesepian).

Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan, saat ini kesepian memang menjadi masalah. Sebab, orang yang mengalami kesepian dampaknya cukup serius.

“Selain dia merasakan stres dan depresi, tentunya juga berakibat pada fungsi-fungsi dari fisiologisnya,” kata Sani kepada Alinea.id, Rabu (22/11).

“Makanya WHO menetapkan bahwa ini adalah mental illness yang mengakibatkan masalah kesehatan.”

Sani menjelaskan, sering kali orang yang kesepian sebenarnya dia tak benar-benar jauh dari interaksi sosial. Namun, dia merasa kesepian karena ada kehampaan. “Penyebabnya bisa karena tidak begitu mengenal dirinya atau dia juga punya riwayat trauma, merasa insecure, atau tak percaya diri dalam lingkungan sosial,” ujar Sani.

Pandemi dan kesepian kita

Sani melanjutkan, saat pandemi Covid-19 keterampilan sosial menurun. Maka, setelah pandemi selesai, orang harus kembali membangun keterampilan sosialnya. “Oleh karena itu, ada orang yang bisa beradaptasi cepat setelah Covid-19, ada yang tidak,” tuturnya.

“Orang yang sulit beradaptasi setelah Covid-19 itu akan merasakan perbedaan dengan orang lain, dan akhirnya merasa kesepian.”

Sponsored

Di Indonesia, kata Sani, kesepian mulai merebak setelah pandemi. Sebab, yang menentukan seseorang bertahan atau tidak adalah keterampilan seseorang dengan situasi yang sudah berbeda.

Akan tetapi, Sani mengatakan, di Indonesia masalah kesepian usai pandemi itu tak menjadi meluas karena pada dasarnya kesepian sifatnya individual. “Di Indonesia dengan kultur ketimuran, keluarga yang besar, saling menyapa, berbeda dengan Barat yang individualistik,” ujarnya.

“Maka kesepian di Indonesia mungkin bisa ditanggulangi lebih cepat atau lebih baik dibandingkan negara-negara di Barat yang kuluturnya memang individualistik.”

Meski begitu, peneliti dari Universitas Negeri Padang, yakni Afdal, Miftahul Fikri, Mudjiran, dan Herman Nirwana dalam riset mereka “An exploration of the loneliness experienced by indonesian students during the Covid-19 pandemic” di The International Journal of Counseling and Education (2021) menemukan fakta menarik.

Mereka melakukan survei terhadap 504 responden Indonesia berusia 12 hingga 27 tahun dari beberapa provinsi. Fokus penelitian mereka untuk menemukan dampak pandemi terhadap tingkat kesepian pada mahasiswa.

Dari 504 responden itu, terdiri dari 134 laki-laki dan 370 perempuan. Peserta yang tinggal di Sumatera sebanyak 419 orang, Jawa 32 orang, Kalimantan 4 orang, Papua 1 orang, dan provinsi lainnya 48 orang. Yang berasal dari kelompok etnis Batak sebanyak 48 orang, Jawa 297 orang, Tionghoa 2 orang, Melayu 41 orang, serta etnis lainnya 43 orang.

“Berdasarkan analisis data, 42,91% partisipan mengalami kesepian dalam kategori sedang, 33,73% kategori tinggi, dan 3,17% kategori rendah.

“Selain itu, mahasiswa di Indonesia, terutama Sumatera, lebih mungkin mengalami perasaan (kesepian) ini selama pandemi dan merasa bosan dengna aktivitas di rumah.”

Di sisi lain, terdapat perbedaan signifikan antara gejala kesepian yang dialami pria dan perempuan. Perempuan umumnya mengalami perasaan ini secara lebih intens. Afdal dan rekan-rekannya pun menulis, mahasiswa keturunan Batak lebih mungkin mengalami kesepian dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya.

“Secara umum, individu yang berusia antara 20 hingga 23 tahun lebih mungkin mengalami kesepian, menunjukkan bahwa mahasiswa pada tahap akhir perkembangan remaja dan mendekati dewasa lebih sering mengalami perasaan ini selama pandemi,” ujar Afdal dkk.

Penelitian terkait pandemi dan kesepian, dengan survei terbesar pernah dilakukan Roger O’Sullivan bersama 16 peneliti bidang kesehatan dan sosial lainnya dari Irlandia, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Finlandia, Selandia Baru, dan Meksiko. Penelitian mereka berjudul “Impact of the COVID-19 pandemic on loneliness and social isolation: A multi-country study”, terbit di International Journal of Environmental Research and Public Health  (September, 2021).

Para peneliti melakukan survei lintas negara, memiliki lebih dari 20.000 tanggapan dari responden berusia 18 tahun ke atas dari 101 negara dan 10 bahasa. Sampel analisis riset ini sebanyak 9.618-10.485 responden dari setidaknya 70 negara.

Mereka menemukan peningkatan lebih dari tiga kali lipat laporan kesepian parah peserta dari keadaan sebelum pandemi yang dirasakan. “Orang yang tinggal sendirian atas pilihan sendiri terkait dengan peningkatan kesepian sebesar 61%, tetapi bagi mereka yang tinggal sendirian bukan atas pilihan meningkat hampir tujuh kali lipat,” tulis O’Sullivan dkk.

Para peneliti juga menemukan, sebelum pandemi, orang tua cenderung jauh lebih sedikit merasa kesepian, dengan penurunan risiko terbesar di kalangan mereka yang berusia 70 tahun ke atas—yang mungkin disebabkan penurunan kebutuhan atau harapan sosial seiring bertambahnya usia.

“Temuan utama dari data adalah, keuangan pribadi dan kesehatan mental merupakan aspek yang secara konsisten memotong lintas kesepian dan isolasi sosial, baik sebelum maupun selama pandemi, memengaruhi kelompok paling rentan dan memperkuat ketidaksetaraan yang sudah ada,” tulis para peneliti.

Sementara itu, dijelaskan Sani, untuk mengatasi kesepian yang utama harus memahami dan mengenal dirinya sendiri. “Dia tahu apa yang salah dengan dirinya, dan dia bisa mencari jalan keluarnya,” kata Sani.

Self-awareness itu sangat penting karena kalau tidak, maka coping mechanisme yang dilakukan juga tidak akan efektif.”

Ia menyarankan agar latihan berada dengan orang terdekat, lalu berbicara. Kemudian, mulai ke ruang publik.

“Karena kesepian, dia tidak merasa terisi atau hampa, perlu juga mencari hobi, kegiatan yang disukai, (misalnya) mendengarkan musik berolahraga, dan tentunya berpikir positif terhadap dirinya sendiri,” tutur Sani.

Pendiri Foundation for Art & Healing sekaligus penulis buku Project UnLonely: Healing Our Crisis of Disconnection, Jeremy Nobel kepada Al Jazeera mengatakan, ada sisi positif dari pandemi. Kesepian sering kali disertai dengan rasa malu dan stigma, yang menghalangi orang untuk mencari bantuan.

“Namun, selama pandemi, rasa kesepian ada di mana-mana, sehingga memungkinkan orang untuk mengutarakannya dengan lebih mudah,” ujar Nobel kepada Al Jazeera.

“Kita memiliki pengalaman isolasi yang sama. Kita kesepian bersama-sama. Hal ini membuka peluang untuk membicarakan kesepian dengan cara yang sangat sehat.”

Berita Lainnya
×
tekid