Bagaimana Singapura berkembang jadi negara paling teduh di dunia
Panas bukan lagi ancaman masa depan — ia sudah nyata dan merenggut lebih banyak nyawa manusia tiap tahun daripada banjir, badai, dan kebakaran hutan jika digabungkan. Kota adalah yang paling terpapar: mereka memanas dua kali lebih cepat dibanding wilayah luar kota karena efek urban heat island.
Saat suhu mematikan semakin sering muncul di berita cuaca, pemimpin kota-kota besar mulai merancang strategi untuk memberi keteduhan—secara harafiah dan desain—kepada warganya. Tapi di tengah semua rencana dan billboard futuristik, ada satu kota kecil yang mungkin sudah lebih dulu menguasai caranya: Singapura.
Kota pulau tropis ini tak hanya mahir menghadapi hujan deras dan kelembapan; ia juga telah mengukir cara hidup yang teduh—dengan arsitektur, kanopi, pohon, dan regulasi yang memprioritaskan kenyamanan warga ketika matahari berkobar.
Salah satu waris desain publik paling khas di Singapura adalah trotoar beratap, dikenal sebagai five-foot ways. Lorong-lorong sepanjang lantai dasar rumah toko yang membentuk jalan paling teduh di saat suhu ekstrem.
Meski bentuknya mirip portico di Bologna, ada indikasi five-foot ways adalah inovasi lokal Asia Tenggara. Stamford Raffles, pendiri kota kolonial itu, memandatkan jalur pejalan kaki tertutup di kedua sisi semua jalan saat ia menyusun rencana kota pertama di 1822. Tujuannya agar warga bisa lalu lalang tanpa risau gerimis atau panas terik.
Di zaman Lee Kuan Yew, “verandah-ways” ini dihidupkan kembali — bukan sekadar gaya, melainkan bagian dari strategi kota untuk menangkis panas dan menjaga produktivitas sosial dan ekonomi. Trotoar beratap, void decks (lantai dasar terbuka di bangunan perumahan), kanopi logam di atas trotoar — semua itu dijalin dalam kebijakan yang konsisten.
Singapura kini telah membangun sekitar 200 kilometer trotoar beratap untuk membantu rakyatnya bergerak nyaman dari halte ke halte, dari bangunan ke bangunan, tanpa takut kepanasan. Penelitian menunjukkan bahwa kanopi-kanopi dan jalur beratap di Singapura punya efek psikologis yang mirip dengan halte bus yang bersih dan dirancang baik.
Seperti halnya sebuah halte membuat waktu tunggu terasa lebih singkat, jalan-jalan beratap ini juga membuat warga merasa jarak yang mereka tempuh jadi lebih “ringan”. Warga Singapura melaporkan bahwa berjalan di bawah jalur teduh terasa 14% lebih singkat ketimbang berjalan di bawah terik matahari.
“Anda berada di kawasan tropis yang selalu sangat panas dan selalu sangat lembap. Dengan suhu siang hari yang hampir selalu berada di kisaran 31–33°C (88–91°F) sepanjang tahun, kita selalu butuh naungan,” ujar kata Yun Hye Hwang, arsitek lanskap sekaligus profesor di National University of Singapore, seperti dikutip dari BBC Futures, Rabu (24/9).
Tetapi, keteduhan itu tak hanya soal kanopi atau bangunan. Singapura mengejar keseimbangan antara "naungan hijau"—pohon, pepohonan berkanopi lebar—dan “naungan abu-abu", yakni struktur bangunan, bayangan gedung, kanopi logam, overhang di lantai dasar.
Di kota tropis, pohon adalah solusi alami: daun memberikan lembaran teduh, melepas uap air, membantu pendinginan udara. Tetapi, di Singapura kelembapan sudah tinggi. Uap ekstra bisa memperburuk rasa gerah jika desainnya buruk.
Maka, pohon tak selalu jawaban tunggal. Overhang, bayangan gedung, atap beratap trotoar — semua ini menjadi bagian dari solusi yang merata, terutama di plaza luar ruangan yang diwajibkan memiliki setidaknya 50% area duduk yang teduh antara pukul 9 pagi dan 4 sore.
"Teduh itu penting. Lebih penting bukan hanya keteduhan dari pepohonan di pinggir jalan, tetapi seberapa besar ruang hijau yang kita miliki juga krusial," ujar Profesor Winston Chow, salah satu pemimpin kelompok kerja II IPCC dari Singapura.
Di balik semua bayangan dan kanopi, ada kekuatan regulasi dan kepemimpinan. Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew bukan sekadar pemimpin yang mengatur; dia terlibat langsung—memperhatikan detail hingga trotoar dan desain umum kota.
Para perencana kota di Singapura berangkat dari satu keyakinan sederhana: tanpa naungan, ruang publik tak akan pernah benar-benar dipakai orang. Meskipun sadar bahwa pepohonan dapat meningkatkan kelembapan udara, Lee Kuan Yew tetap bersikeras menanam pohon di mana-mana.
Ia percaya, citra “Singapura bersih dan hijau” akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor asing. Di bawah komandonya, unit baru bernama parks and trees dibentuk untuk mempercantik jalan-jalan utama.
Mereka menanamkan deretan pohon kanopi lebar—angsan, pohon hujan (rain tree), mahoni, hingga akasia—yang membuat boulevard Singapura seolah berlorong hijau. “Bunga boleh saja,” Lee pernah dilaporkan berkata kepada kepala unit tersebut, “tapi beri saya naungan lebih dulu.”
Pada dekade 1970-an, ketika ia mulai menerapkan tarif kemacetan dan kebijakan lain untuk mengurangi ketergantungan warga pada mobil pribadi dan beralih ke transportasi umum, Lee menaruh perhatian besar pada trotoar, penyeberangan, dan halte bus. Ia sadar, sengatan matahari yang keras bisa menghalau calon penumpang baru.

Hingga permukiman warga miskin
Selain itu, Singapura menggunakan regulasi tegas: pengembang diminta menyertakan overhang (kelebihan lantai dasar) 2,4-3,7 meter untuk pejalan kaki, utilitas bawah tanah agar tidak mengganggu pertumbuhan pohon, dan inspeksi bangunan yang tidak memberi izin hunian jika pohon atau ruang hijau di luar tidak sesuai standar.
Tak hanya di jalan-jalan protokol, visi “kota taman” Singapura juga meresap hingga ke perumahan publiknya. Kompleks HDB yang luas dibangun lengkap dengan hamparan rumput, halaman rindang, dan jalur pejalan kaki berkanopi pepohonan yang menghubungkan ke taman-taman kota dan kawasan konservasi alam. Hasilnya: pohon hadir di mana-mana, di lingkungan kaya maupun miskin, tanpa kecuali.
“Kami tidak membedakan antara kawasan kelas menengah dan kelas pekerja,” tulis Lee Kuan Yew dalam memoarnya, seraya mengingatkan bahwa kebijakan berbeda “akan menjadi bencana politik” bagi Partai Aksi Rakyat (PAP). Prinsip ini menjadikan Singapura berbeda dari banyak kota di Amerika Serikat, di mana naungan pepohonan kerap menjadi indikator ketimpangan ekonomi.
Singapura memang cukup "beruntung" karena rezimnya tergolong otoriter. Pemerintah dengan penguasaan lahan yang besar dan kekuasaan pengaturan yang efektif membuat semuanya bisa direncanakan dari awal—tak seperti banyak kota besar di negara demokrasi, di mana kepentingan swasta dan birokrasi sering memecah konsensus.
"Namun, ada satu sisi baik yang lahir dari sistem itu. Ia (Lee) menetapkan tujuan itu, menyediakan sumber daya material, dan memberikan dukungan politik agar orang bisa mencapainya,” kata pengajar ekologi di Colorado State University, Daniel Burcham
Singapura menunjukkan bahwa menurunkan suhu dan menghijaukan kota sangat mungkin dilakukan. Kota-kota yang teduh bukan hanya soal estetika atau keindahan—ini soal kesehatan publik. Untuk bikin adem kota, Miami, Honolulu, Jakarta, Surabaya, Manila mungkin perlu berguru ke Singapura.


