close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi manusia purba./Foto AI.
icon caption
Ilustrasi manusia purba./Foto AI.
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 23 April 2025 06:08

Selain gua dan pakaian, manusia purba pakai tabir surya untuk bertahan hidup

Pemakaian tabir surya dan pakaian khusus oleh Homo sapiens terjadi pada 41.000 tahun lalu.
swipe

Kini kita mengenal tabir surya sebagai produk perawatan kulit yang berfungsi melindungi kulit dari bahaya sinar matahari, terutama sinar ultraviolet. Ada banyak efek merugikan dari radiasi matahari, termasuk patologi mata dan kekurangan folat—yang dapat menyebabkan cacat lahir dan peningkatan angka kematian bayi. Paparan berlebihan sinar matahari pun bisa menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan risiko kanker kulit.

Dahulu, sekitar 41.000 tahun silam, manusia purba Homo sapiens yang ada di Eropa pun mendapat manfaat dari tabir surya, pakaian, dan berlindung di gua untuk bertahan hidup, berlindung dari sinar matahari.

Hal itu dilakukan selama pergeseran magnet Kutub Utara di Eropa. Temuan tersebut diterbitkan dalam jurnal Science Advances (April, 2025) bertajuk “Wandering of the auroral oval 41.000 years ago”, dikerjakan para peneliti dari Universitas Michigan dan beberapa universitas lain.

“Teknologi-teknologi ini dapat melindungi Homo sapiens yang tinggal di Eropa dari radiasi mayahari yang berbahaya,” tulis situs University of Michigan.

“Di sisi lain, Neanderthal tampaknya tidak memiliki teknologi ini dan punah sekitar 40.000 tahun yang lalu.”

Dikutip dari Popular Science, sekitar 41.000 hingga 42.000 tahun lalu, Kutub Utara magnet mulai bergeser di atas Eropa—saat kutub medan magnet mulai membalik posisi—yang disebut ekskursi geomagnetik atau ekskursi Laschamps. Selama pembalikan itu, medan magnet melemah, menyebabkan terjadinya aurora di sebagian besar Bumi dan memungkinkan lebih banyak sinar ultraviolet yang berbahaya masuk dari luar angkasa.

Medan magnet Bumi terbentuk oleh rotasinya, serta rotasi inti planet kita. Inti, yang terbuat dari besi cair, menghasilkan arus listrik. Arus ini memperluas semacam lingkaran cahaya di seluruh dunia yang membantu melindungi Bumi dari radiasi kosmik. Radiasi ini menipiskan lapisan ozon Bumi dan membiarkan lebih banyak sinar ultraviolet masuk. Interaksi partikel-partikel ini dengan medan magnet Bumi juga menghasilkan aurora.

Di sekitar waktu yang sama, Homo sapiens mulai membuat pakaian khusus dan menggunakan oker—mineral yang punya sifat pelindung matahari yang dioleskan ke kulit, dengan frekuensi yang lebih tinggi. Oker adalah pigmen alami yang berasal dari tanah liat, mengandung oksida besi. Perilaku tersebut berkontribusi menyebar ke seluruh Eropa dan Asia, saat populasi Neanderthal menurun.

“Dalam penelitian ini, kami menggabungkan semua wilayah yang medan magnetnya tidak terhubung, sehingga radiasi kosmik atau partikel energi apa pun dari matahari, dapat meresap hingga ke dalam tanah,” kata penulis utama riset dan peneliti dari Universitas Michigan, Agnit Mukhopadhyay, dikutip dari situs University of Michigan.

“Kami menemukan, banyak dari wilayah tersebut sebenarnya sangat mirip dengan aktivitas manusia purba pada 41.000 tahun yang lalu, terutama peningkatan penggunaan gua dan tabir surya prasejarah.”

Mukhopadhyay membangun model interaksi menggunakan the Space Weather Modeling Framework—yang merupakan alat numerik serbaguna yang dikembangkan dan dikelola Pusat Pemodelan Lingkungan Luar Angkasa Universitas Michigan—untuk mempelajari matahari, heliosfer, dan lingkungan luar angkasa planet, termasuk Bumi.

Pertama-tama, dilansir dari Discover Magazine, dia membangun simulasi tentang bagaimana medan magnet Bumi yang diciptakan oleh rotasinya, memperluas lingkaran pelindung di seluruh dunia. Lingkaran tersebut melindungi Bumi dari radiasi kosmik—yang menipiskan ozon planet, sehingga memungkinkan lebih banyak sinar ultraviolet masuk.

Selanjutnya, dia meneliti bagaimana gas panas dan partikel bermuatan yang dipancarkan matahari ke Bumi, bertindak sebagai sistem plasma. Mukhopadhyay lalu mengembangkan model yang memprediksi bagaimana sistem ini berinteraksi dengan medan magnet Bumi.

Mukhopadhyay bekerja sama dengan peneliti di Pusat Geosains GFZ Helmholtz Jerman, Sanja Panovska, menggabungkan tiga model dari periode waktu itu—41.000 tahun lalu—menjadi satu, yakni medan geomagnetik Bumi, medan plasma ruang angkasa yang mengelilinginya, dan aktivitas aurora.

“Kombinasi ini menghasilkan gambar 3D yang menampilkan partikel bermuatan dapat dengan mudah menyelinap lewat medan geomagnetik planet,” tulis Discover Magazine.

Model itu menunjukkan, ketika kutub-kutub Bumi bergeser 41.000 tahun lalu, medan magnet Bumi ikut menyusut hingga sekitar 10% dari kekuatannya saat ini. Kutub-kutub Bumi melorot ke arah ekuator, medan magnet meluas, dan aurora akan terlihat di seluruh Eropa dan Afrika Utara.

Para peneliti kemudian melapiskan peta 3D gabungan sistem atmosfer dan elektromagnetik Bumi ini pada bola dunia dan mencatat tempat tinggal Homo sapiens dan Neanderthal. Kedua kelompok manusia purba dan modern hidup berdampingan di Eropa mulai 56.000 tahun yang lalu. Sekitar 16.000 tahun kemudian, Neanderthal tak lagi dominan di Eropa.

Pakaian, salah satu faktor yang membuat Homo sapiens bertahan hidup dibandingkan Neanderthal, menurut profesor antropologi di Universitas Michigan, Raven Garvey, membuat Homo sapiens jauh lebih hangat, sehingga bisa bepergian lebih jauh dari perapian, tempat berlindung, atau mencari makan.

Di situs yang dikaitkan dengan Homo sapiens, para arkeolog tak hanya menemukan pengikis yang digunakan dalam produksi kulit, tetapi juga jarum dan penusuk—barang-barang yang dikaitkan dengan menjahit.

“Pakaian yang disesuaikan juga dapat memberikan manfaat tak terduga lainnya, yakni perlindungan dari kerusakan akibat sinar matahari,” kata Garvey dalam situs University of Michigan.

Selain oker, Homo sapiens pun memanfaatkan silika yang sudah digunakan oleh banyak spesies hominin sejak lama—sebagai bahan yang kini disebut tabir surya. Oker dan silika biasanya dimanfaatkan mereka untuk mengecat benda, dinding gua, atau menghias tubuh.

“Ada beberapa uji eksperimental yang menunjukkan zat ini memiliki sifat seperti tabir surya. Zat ini merupakan tabir surya yang cukup efektif dan ada juga populasi etnografi yang telah menggunakannya terutama untuk tujuan tersebut,” kata Garvey.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan