close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pembuat film./Kyle Loftus/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi pembuat film./Kyle Loftus/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup - Teknologi
Sabtu, 31 Mei 2025 06:19

Teknologi AI Veo 3, peluang atau ancaman bagi sineas?

Google meluncurkan Veo 3 yang bisa membuat video tampak realistis. Bagaimana dampaknya terhadap filmmakers?
swipe

Video sinematik berbasis artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, Veo 3, yang dirilis Google pada Selasa (20/5) tengah tren di media sosial. Kecanggihan video AI ini nyaris sempurna, dengan pembuatan yang sangat simpel: cukup memakai perintah teks. Kehadirannya kemungkinan memunculkan kekhawatiran para pembuat film bakal tergantikan di masa depan.

Sinematografer dan sutradara Anggi Frisca punya pandangan lain menyikapi AI Veo 3 ini. Sutradara film Tegar (2022) tersebut menilai, kehadiran AI Veo 3 hanya akan memengaruhi filmmakers dari segi biaya pembuatan film. Tidak akan menggantikan peran filmmakers membentuk empati dalam sebuah film.

“Saya melihat, AI tetap sebagai tools. 10 tahun yang lalu, saya memutuskan profesi ini jangan hanya sekadar dijadikan pekerjaan, namun harapan bagi perubahan sosial, (membuat) saya berusaha untuk mengubah cara berpikir saya sebagai kreator,” kata Anggi kepada Alinea.id, Kamis (29/5).

“Empati adalah kunci dari tools teknologi yang diciptakan manusia.”

Dia menganggap, jika film hanya dipandang sebagai sebuah industri, maka Veo 3 justru akan menggerus keragaman berpikir. Sebab, hasil film yang dibuat Veo 3 akan tidak jauh berbeda. Menurut Anggi, ekosistem seni film pada dasarnya adalah ruang kolaboratif berpikir.

“Kekayaan yang sesungguhnya adalah ada keragaman cara berpikir dari semua profesi film itu sendiri, sehingga saat ini saya menggunakan diksi ‘petani film’ sebagai simbol perlawanan untuk dapat bertumbuh menjadi seorang kreator yang sedang belajar membangun ekosistem yang berkelanjutan,” ujar Anggi.

“Dan menggunakan kekuatan gotong royong sebagai kekuatan kebudayaan negeri ini.”

Sejak 10 tahun lalu, Anggi sudah menyadari jika teknologi AI akan berkembang pesat. Saat itu, dia merasa, pelaku film sudah mulai harus lebih cepat beradaptasi membangun ekosistem film yang beragam. Tidak hanya bernilai estetika, tetapi juga berdampak bagi transformasi sosial masyarakat.

“Karena bersama film, kita tetap bisa melakukan pemberdayaan masyarakat, memberikan dampak, memberikan kesempatan, support system dalam proses pembuatannya,” tutur Anggi.

“Contoh, saya membuat film Tegar, ini adalah model pembelajaran bagi saya berkarya bersama anak-anak berkebutuhan khusus, memberikan kesempatan baru, serta tentu spesifik aktor yang tidak bisa AI buat dan lakukan.”

Akan tetapi, Anggi merasa, teknologi seperti AI generator Veo 3 jangan ditolak. Justru mesti dijadikan ruang referensi untuk memudahkan berkarya, sehingga dapat menjadi tambahan piranti untuk efek sinema yang mungkin sulit dibuat dan perlu sentuhan teknologi kecerdasan buatan.

“Yang dulunya hanya membayangkan dan membuat previs (previsualization) sulit sekali dan butuh biaya tinggi, ini bisa dilakukan oleh AI,” kata Anggi.

“Proses membuat film tetap dilakukan oleh manusia, tapi ada proses preproduction yang lebih detail yang bisa dilakukan oleh para filmmaker agar shooting menjadi efisien karena semua proses imajinasi sudah diterjemahkan.”

Dihubungi terpisah, sutradara film dokumenter Wasis Wardhana menilai, kehadiran AI Veo 3 akan berdampak pada industri yang melibatkan audio visual. Terlebih bagi kreator konten yang bermain dalam video pendek dan iklan.

Namun, Wasis melihat, ada peluang yang mempermudah kerja filmmakers dengan kehadiran Veo 3. Dia melihat, teknologi AI itu bisa dimanfaatkan untuk memvisualkan gagasan atau ide pada tahap praproduksi film dokumenter.

“Dalam hal ini, saya menyambut kehadiran teknologi ini sebagai sesuatu yang positif karena saya memposisikan ini sebagai alat bantu untuk saya, bukan sebagai ancaman,” kata Wasis, Kamis (29/5).

Wasis menilai, ada beberapa aspek pada film dokumenter yang tidak dapat tergantikan dengan AI atau teknologi lainnya, yakni sisi kreativitas dan kepekaan sosial.

“Kepekaan sosial dan kepekaan emosi itu aspek utama dari suatu film dokumenter. Itu hanya dimiliki oleh manusia. Itu pun tidak semua manusia,” ujar Wasis.

Wasis mengaku tidak memiliki strategi khusus dalam menghadapi kehadiran Veo 3. Sebab, selain dapat dijadikan sebagai alat bantu membuat visual praproduksi, Veo 3 sejauh ini belum memiliki bahan baku video mentah atau footage yang beragam. Bahkan, berdasarkan pengalaman Wasis menggunakan AI, banyak hasil gambar yang meleset dan tidak akurat.

“Kalau AI diminta bikin video yang isinya straight news, mungkin masih bisa. Tapi kalau diminta bikin dokumenter dengan pendekatan cinema verite dan people centered approach misalnya, aku tidak yakin AI bisa,” ucap Wasis.

“Saya punya pengalaman waktu itu mikir video kan butuh footage yang secara size gede dan spesifik. Misal pada isu konservasi footage badak Sumatera. Itu kan tetap beda dengan badak Afrika. Hasilnya, tetap muncul gambar badak Afrika, karena pustaka foto badak Sumatera di internet masih sedikit sekali.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan