close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Tim KKN-PPM UGM Merintis Rainis 2025 menjalankan pengabdian di Desa Alo, Kecamatan Rainis, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Selasa (7/7)./Foto ugm.ac.id
icon caption
Tim KKN-PPM UGM Merintis Rainis 2025 menjalankan pengabdian di Desa Alo, Kecamatan Rainis, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Selasa (7/7)./Foto ugm.ac.id
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Sabtu, 12 Juli 2025 06:00

Usai 2 mahasiswa UGM tewas, masih relevankah KKN?

Apa yang perlu menjadi evaluasi dalam pelaksanaan KKN?
swipe

Dua mahasiswa peserta kuliah kerja nyata-pembelajaran pemberdayaan masyarakat (KKN-PPM) Universitas Gadjah Mada (UGM), yakni Septian Eka Rahmadi dan Bagus Adi Prayogo, meninggal dunia usai kapal kayu yang ditumpanginya terbalik di perairan Debut, Kecamatan Manyeuw, Maluku Tenggara, Selasa (1/7). Dalam insiden itu, lima mahasiswa UGM lainnya selamat.

Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, dikutip dari situs resmi UGM menuturkan, UGM akan melakukan evaluasi internal terhadap aspek peningkatan perlindungan keamanan dan keselamatan selama pelaksanaan KKN dengan meninjau ulang lokasi di daerah terpencil, termasuk wilayah kepulauan.

Meskipun titik lokasi tersebut sudah digunakan dalam program KKN sebelumnya, perubahan cuaca yang ekstrem menjadi faktor risiko tambahan. Pembekalan teknis, panduan keselamatan, serta alat pelindung diri telah menjadi bagian dari protokol KKN, tetapi prosedur ini bakal diperkuat.

“Termasuk untuk lokasi-lokasi rawan,” kata Andi.

Mahasiswi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Indah Rahmawati yang pernah mengikuti KKN di Desa Adat Ngadas, Kabupaten Malang, Jawa Timur mengaku, dukungan kampus terhadap aspek keselamatan mahasiswa di lapangan memang lemah.

“Tidak ada pembekalan keselamatan sama sekali. Bahkan, jalan menuju lokasi rawan longsor dan minim penerangan,” ujar Indah kepada Alinea.id, Kamis (10/7).

Dia menyebut, selama KKN berlangsung, tidak ada protokol keselamatan dari kampus yang diberikan secara langsung kepada mahasiswa. Menurut dia, pembekalan dan sosialisasi harus menjadi kewajiban kampus, sebelum memberangkatkan mahasiswa ke daerah, terutama yang secara geografis berisiko tinggi.

“Kadang kampus hanya tunjuk lokasi tanpa tahu kondisi akses ke desa. Ini membahayakan,” tutur Indah.

Meski demikian, Indah tetap menilai KKN masih relevan. Terutama untuk mendorong pembangunan dan kesejahteraan desa. Namun, hal itu hanya bisa tercapai jika keselamatan mahasiswa menjadi prioritas.

Dihubungi terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, peristiwa tewasnya dua mahasiswa UGM saat melaksanakan KKN adalah bukti nyata lemahnya sistem pengelolaan program pengabdian masyarakat yang selama ini dijalankan kampus. Dia menyebut, belum ada standar protokol keselamatan yang memadai dalam pelaksanaan KKN, termasuk kampus-kampus besar seperti UGM.

“Mahasiswa merencanakan sendiri, mencari lokasi sendiri, lalu kampus hanya keluarkan surat pengantar,” ujar Ubaid, Kamis (10/7).

“Kampus seolah lepas tangan soal keselamatan. Padahal, ini menyangkut nyawa calon pemimpin masa depan.”

Ubaid mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem KKN yang ada. Menurut Ubaid, program pengabdian masyarakat tetap penting dijalankan sebagai bagian dari tridarma perguruan tinggi. Namun, perlu ada pembenahan besar dalam aspek tata kelola, pengawasan, hingga pemetaan risiko.

“KKN jangan hanya formalitas untuk syarat kelulusan. Perlu perencanaan matang, pengawasan ketat, dan keterlibatan kampus dari awal sampai akhir,” kata Ubaid.

img
Muhamad Raihan Fattah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan