Suara kicauan burung terdengar indah, bahkan memiliki kekuatan untuk mengurangi stres dan dipercaya meningkatkan kesehatan mental. Kicauan burung ternyata pula berkembang sering waktu dan usia, persis perkembangan musik yang diciptakan manusia.
Penelitian bertajuk “The demographic drivers of cultural evolution in bird song” di jurnal Current Biology (Maret, 2025) mengungkap hal itu.
Para peneliti dari Universitas Oxford menganalisis lebih dari 100.000 kicauan burung yang berasal dari 242 burung. Suara itu direkam apda 2020, 2021, dan 2022 di Wytham Woods, Oxfordshire, Inggris—sebuah kawasan hutan seluas 1.000 hektare.
Dikutip dari Washington Post, selama 77 tahun terakhir, kawasan ini telah menjadi lokasi studi burung gelatik batu kelabu (great tit) yang menunjukkan bagaimana dua spesies gelatik (tit), yakni gelatik batu kelabu (great tit) dan gelatik batu biru erasia (blue tit), berubah seiring waktu.
Gelatik batu kelabu atau Parus major merupakan burung yang banyak ditemukan di seluruh Eropa dan berkerabat dengan burung chickadee yang ada di Amerika Serikat. Sebagian besar gelatik batu kelabu dipercaya belajar berkicau selama 10-11 bulan pertama kehidupan, yang menghasilkan repertoar lagu yang relatif stabil.
Para peneliti berfokus pada burung gelatik batu kelabu, yakni burung kecil dengan rata-rata masa hidup hanya 1,9 tahun. Tim peneliti merekam “kicauan subuh” dari Maret hingga Mei, bertepatan dengan musim kawin, menggunakan mikrofon yang ditempatkan di dekat kotak sarang untuk mengumpulkan lebih dari 200.000 jam rekaman “lagu-lagu” sederhana namun sangat beragam dari burung jantan.
Melalui kombinasi penangkapan fisik, mikrocip, dan model kecerdasan buatan, para peneliti mampu mengenali lagu-lagu individu burung dan melacak bagaimana lagu tersebut berubah dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan, setiap burung memiliki repertoar satu hingga lebih dari 10 lagu.
Dilansir dari situs Department of Biology University of Oxford, hasil penelitian itu, burung-burung yang berusia sama cenderung punya repertoar yang lebih mirip, dengan lingkungan yang usianya berbeda punya keragaman budaya yang lebih tinggi.
Lalu, laju pergantian lagu dalam lingkungan didorong datang dan perginya individu: ketika burung pergi atau mati, banyak jenis lagu ikut menghilang bersama mereka dan burung-burung muda yang menggantikan mereka dapat mempercepat adopsi jenis lagu baru.
Di saat yang sama, usia berfungsi sebagai penghambat perubahan karena burung yang lebih tua terus menyanyikan jenis lagu yang semakin jarang dinyanyikan dalam populasi. Dengan cara ini, burung yang lebih tua dapat berfungsi sebagai “penyimpan budaya” jenis lagu lama yang mungkin tidak diketahui burung yang lebih muda.
Penelitian itu pun menemukan, ketika burung lebih banyak berbaur—lewat peningkatan penyebaran lokal dan pendatang—mereka cenderung mengadopsi lagu yang lebih umum, yang juga memperlambat laju evolusi lagu.
Lebih jauh lagi, lagu “buatan sendiri” cenderung tetap unik. Daerah tempat burung tinggal dekat dengan tempat kelahirannya mempertahankan budaya lagu yang lebih beragam dan unik.
Hasil penelitian itu pun menunjukkan, burung pendatang baru cenderung beradaptasi, tetapi juga memperaya keragaman lagu. Burung pendatang dari tempat lain biasanya mengadopsi lagu lokal daripada memperkenalkan lagu yang baru, namun mereka cenderung mempelajari lebih banyak lagu secara keseluruhan.
“Seperti halnya komunitas manusia yang mengembangkan dialek dan tradisi musik yang berbeda, beberapa burung juga memiliki budaya lagu lokal yang berkembang seiring waktu,” ujar peneliti dari Departemen Biologi Universitas Oxford, Nilo Merino Recalde, dikutip dari Washington Post.
“Penelitian kami menunjukkan dengan jelas bagaimana dinamika populasi—perpindahan masuk dan keluar seekor burung—memengaruhi proses pembelajaran budaya ini, yang berdampak pada keragaman lagu dan kecepatan perubahannya.”
Penelitian sebelumnya, yang dilakukan para peneliti dari Universitas Wisconsin dan terbit di jurnal Proceedings of the Royal Society B (November, 2024) menganalisis lebih dari 100.000 rekaman audio burung dari xeno-canto—sebuah repositori pengamatan burung global. Rekaman itu mewakili 77% spesies burung.
Penelitian ini mengungkap beberapa hal yang membentuk suara burung, yakni habitat yang memengaruhi frekuensi suara, geografi yang membentuk kesamaan suara, serta ukuran tubuh dan bentuk paruh.
“Burung yang lebih kecil mengeluarkan suara bernada tinggi, sedangkan burung yang lebih besar mengeluarkan suara yang lebih rendah,” tulis Earth.
“Menariknya, burung kecil juga dapat mengeluarkan suara dengan jangkauan yang lebih luas, menggunakan panggilan bernada tinggi untuk berkomunikasi dan panggilan bernada rendah untuk membingungkan predator tentang ukuran mereka yang sebenarnya.”