sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Aviliani

Mewaspadai resesi ekonomi global

Aviliani Jumat, 20 Des 2019 22:04 WIB

Resesi ekonomi global sudah di depan mata. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya akan sebesar 3,0% di tahun ini, setelah tahun lalu mampu tumbuh 3,6% (IMF, Oktober 2019). Hal ini karena pertumbuhan ekonomi negara-negara maju semakin melesu bahkan diproyeksikan akan berada di bawah 2% di tahun ini dan tahun depan (tepatnya 1,7% di 2019 dan 2020), sementara untuk negara berkembang juga terpangkas ke 3,9% di 2019 setelah pada 2018 mampu tumbuh 4,5%.

Kemelut ekonomi global ini tentu berpotensi menjalar ke perekonomian Indonesia. Ancaman  penjalaran tersebut melalui apa dan bagaimana memitigasinya?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia bergeming

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnansi di kisaran 5% karena bertumpu pada konsumsi. Ekspor Indonesia masih terkendala dengan penurunan harga komoditas dan dampak perang dagang.

Investasi di Indonesia juga mengalami perlambatan yang signifikan sejak kuartal III-2019. Pada kuartal III-2019, investasi Indonesia hanya mampu tumbuh pada angka 4,21% setelah sebelumnya tumbuh 5,01% pada kuartal II-2019.

Di saat yang sama, ekonomi global juga melambat. Terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi Eropa dan China sejak akhir 2018. Sementara itu di 2019, ekonomi AS juga ikut melambat. Di luar persoalan politik, penyebab utamanya adalah perdagangan global yang melambat seiring meningkatnya eskalasi perang dagang.

Risiko dibalik penguatan rupiah

Stabilitas rupiah yang terjadi saat ini bertumpu pada derasnya aliran dana-dana jangka pendek (hot money). Ini terjadi karena tingkat bunga di Indonesia masih lebih ‘menggiurkan’ bagi investor dibanding negara-negara lain.

Sponsored

Namun, derasnya modal yang distimulasi selisih suku bunga yang lebar dibanding negara lain ini bisa tiba-tiba ke luar yang justru membuat ekonomi Indonesia semakin rentan. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap potensi pembalikan modal ke luar negeri tetap diperlukan guna mengantisipasi dampak negatif dari hot money.

Penurunan suku bunga acuan belum berpengaruh bagi peningkatan kredit produktif

Turunnya BI 7DRR (suku bunga acuan BI) yang berdampak pada penurunan suku bunga bank ternyata tidak menjamin pada meningkatnya distribusi kredit  produktif.

Selain itu, performa LDR sejak 2018 terus meningkat hingga 94,3% pada kuartal III-2019 yang disebabkan karena pertumbuhan DPK yang stagnan. Sedangkan pertumbuhan kredit meningkat signifikan selama dua tahun terakhir. Fenomena ini terjadi karena DPK saat ini lebih banyak masuk ke obligasi pemerintah, sehingga menyebabkan likuiditas bank menurun.

Perlambatan DPK juga terjadi karena adanya perebutan dana (crowding out effect) antara obligasi
pemerintah dengan dana masyarakat. Oleh karena itu perlu sinergitas antara bank dengan pemerintah agar tidak terjadi perebutan dana.

Selain sinergitas, penurunan suku bunga kredit dipengaruhi kuat oleh suku bunga deposito, sedangkan transmisi penurunan suku bunga kredit membutuhkan waktu karena deposito perbankan memiliki jangka waktu kontrak.

Ketika BI 7DRR turun, bank tidak bisa langsung merespons dan perlu melakukan penyesuaian terhadap suku bunga deposito baru. Selain itu, perbankan sedang menghadapi ketatnya likuiditas yang membuat perbankan mempertahankan suku bunga deposito tinggi untuk mendorong DPK, sehingga tingginya suku bunga deposito membuat suku bunga kredit sulit turun dalam waktu dekat.

Pertumbuhan kredit masih single digit

Hal ini diakibatkan karena LDR perbankan masih tinggi sehingga bank sangat selektif dalam memberikan kredit. Selain itu, NPL perbankan terus meningkat sejak awal 2019, meskipun angkanya masih di bawah 5%.

Penerbitan PSAK 71 akan membuat perbankan menjadi lebih prudensial, tetapi di sisi lain perbankan harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit karena berpotensi meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Ketika CKPN meningkat, tentu akan menggerus Capital Adequacy Ratio (CAR). Dalam menghitung CKPN, bank akan menggunakan skenario ekonomi di masa depan (forward looking).

Agar permintaan kredit bank dapat meningkat lagi, maka perlu stimulus APBN terhadap sektor-sektor produktif. Di sisi lain, pengusaha membutuhkan kepastian dalam berusaha sehingga tidak terus terjebak dalam posisi wait and see.

Ke depannya, jika pemerintah ingin mengeluarkan suatu kebijakan baru maka perlu memandang dari sisi permintaan, bukan hanya sisi penawaran saja. Contohnya, selama ini dukungan pemerintah terhadap UMKM masih sebatas supply side (penyaluran KUR), sedangkan dukungan pemerintah dari sisi demand side untuk membantu UMKM melakukan penjualan produk masih relatif kecil.

Urgensi konsolidasi perbankan

Untuk ukuran Indonesia, idealnya hanya terdapat 50-70 bank eksisting. Dengan jumlah bank eksisting saat ini yang lebih dari 100 bank, membuat ketidakseimbangan pada persaingan DPK.

RPOJK tentang Konsolidasi Bank Umum yang mengatur modal inti dari OJK sebesar Rp1 triliun (31 Desember 2020) dan naik bertahap hingga Rp3 triliun (31 Des 2022) untuk proses konsolidasi bank dinilai terlalu besar.

OJK perlu memberikan relaksasi pada bank yang akan membeli bank umum. Regulasi terkait proses pembelian bank umum juga dapat dibuat lebih ringkas sehingga jangka waktu pembelian dapat menjadi lebih cepat.

Selain itu, diperlukan pendekatan khusus untuk bank-bank umum yang enggan melakukan konsolidasi karena ke depannya berpotensi menimbulkan masalah sistemik.

Persaingan bank dengan fintech

Perbankan memiliki regulasi yang ketat dengan modal besar; kemudian kelahiran teknologi finansial (financial technology/fintech) menciptakan euforia baru.

Euforia fintech yang lahir secara masif belakangan ini tentu tidak akan bertahan lama jika tidak memiliki ekosistem pendukung.

Fintech harus berkolaborasi dengan perbankan dan e-commerce sehingga dapat membentuk ekosistem yang memanjangkan umur fintech itu sendiri. Selain itu, kebijakan BI dan OJK perlu diatur segera mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan fintech di masa depan.

Kapasitas fiskal pemerintah semakin sempit

Proporsi belanja modal menunjukkan tren penurunan sejak 2016. Proporsi di 2019 turun menjadi 11,59% dibanding 2018 sebesar 14,02. Hal ini juga diikuti rendahnya realisasi belanja modal terhadap target APBN yang saat ini baru mencapai 63,11%.

Realisasi belanja modal dibandingkan 2018 juga mengalami penurunan -6,79%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah dalam pembangunan semakin menurun. Proporsi belanja pemerintah perlu diarahkan pada peningkatan belanja modal, sehingga perlu ada upaya efisiensi belanja barang dan belanja pegawai.

Porsi pembayaran bunga utang meningkat dari 16,41% ke 16,88% di 2019. Peningkatan pembayaran bunga utang membuat ruang gerak pemerintah semakin terbatas. Maka, perlu ada manajemen yang baik dalam pengelolaan pembayaran cicilan dan bunga utang.

Realisasi belanja bantuan sosial sudah lebih dari capaian target APBN 2019

Dibandingkan dengan 2018, belanja bantuan sosial juga meningkat. Hal ini kontradiktif ketika tingkat kemiskinan dan pengangguran turun, namun belanja sosial malah meningkat.

Realisasi penerimaan pajak mengalami penurunan dibandingkan dengan 2018. Selain itu capaiannya baru 73,47% terhadap target APBN 2019. Hal ini tentu saja berdampak pada pelebaran defisit dan upaya pemerintah dalam menstimulus perekonomian.

Dalam kondisi ekonomi yang melambat, diperlukan stimulus pemerintah untuk menggerakkan perekonomian dalam bentuk belanja pemerintah. Jika belanja terhambat karena shortfall pajak, maka ekonomi juga akan terhambat.

Utang publik terus meningkat

Peningkatan utang bukan hanya terjadi pada pemerintah pusat, tetapi juga pada BUMN nonfinansial. Peningkatan utang BUMN non finansial ini melonjak sejak triwulan II-2018. Pembangunan infrastruktur yang massif dilakukan oleh BUMN nonfinansial perlu memperhatikan rasio keuangan mereka terutama terkait utang.

Perlu ada manajemen pembayaran utang yang baik. Selain itu sudah saatnya BUMN berbagi tugas dengan swasta domestik dalam pembangunan infrastruktur jika mau lebih efisien.

Konsekuensi penurunan penerimaan pajak di saat belanja tinggi adalah peningkatan utang pemerintah pusat. Hal ini juga berimplikasi pada pelebaran defisit keseimbangan primer, artinya utang pemerintah ke depan akan bertambah lagi.

Bahkan posisi defisit anggaran terhadap PDB sudah di atas target APBN 2019, yaitu sebesar 2,3% (target APBN 1,84% terhadap PDB). Utang yang dikatakan baik adalah yang digunakan untuk menstimulus ekonomi agar bergerak sehingga ada pengembalian terhadap negara berupa penerimaan pajak, namun jika utang dilakukan untuk membayar utang maka akan memperburuk neraca anggaran.

Pembiayaan utang didominasi oleh SBN, yaitu sekitar 83% (data September 2019) dari total utang. Persoalannya, kepemilikan SBN yang prosinya semakin didominasi oleh non-residen membuat perekonomian rentan terhadap goncangan pasar global.

Dana Desa belum sejahterakan masyarakat desa

Sejak digelontorkannya Dana Desa (DD), belum terlihat perbaikan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk pengurangan tingkat kemiskinan dan ketimpangan di desa. Hal ini dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk miskin di perdesaan selama empat tahun terakhir yang menurun rata-rata sebesar 2,7% per tahun.

Dibandingkan dengan sebelum adanya DD, pemerintah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan rata-rata sebesar 3,1% per tahun.

Selain kemiskinan, ketimpangan yang diukur dengan rasio Gini di perdesaan sebelum adanya DD rata-rata sebesar 0,23 sementara setelah adanya DD rata-rata rasio Gini sebesar 0,22 selama empat tahun. Hal ini menunjukkan bahwa DD belum mampu memperbaiki tingkat ketimpangan di perdesaan.

Upah buruh petani riil pada September 2019 sebesar Rp38.278 per hari. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan pada 2013 sebesar Rp 39.618 per hari. Data ini menggambarkan bahwa DD belum mampu meningkatkan kesejahteraan buruh tani.

Faktanya, selama ini DD banyak digunakan untuk membangun infrastruktur dibandingkan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Alasannya karena pertanggung jawaban pembangunan infrastruktur lebih mudah untuk dilengkapi dibandingkan jika melakukan aktivitas atau usaha pemberdayaan masyarakat.

Hal yang seharusnya dilakukan dengan DD adalah membuat aktivitas yang mampu melahirkan entrepreneurs baru di desa sehingga dapat mengembangkan bisnisbisnis baru yang lahir dari desa dengan keunikan karakteristik kawasan perdesaan. 

Kartu Pra-Kerja diperkirakan belum optimal mengurangi pengangguran

Anggaran kartu Pra-Kerja sebesar Rp10 triliun memiliki target peserta sebanyak 2 juta orang. Namun demikian, kesempatan kerja yang yang tercipta melalui sistem informasi ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan hanya berkisar 180 ribu orang.

Sertifikat yang dikeluarkan setelah mengikuti program kartu Pra-Kerja belum menjamin peserta terserap oleh pasar tenaga kerja atau dunia usaha/dunia industri mengingat dunia usaha/dunia industri belum dilibatkan dalam program kartu Pra-Kerja.

Desain bidang-bidang pelatihan melalui digital belum mengakomodasi lowongan pekerjaan yang ada, khususnya operator dan perakit mesin, pekerja kasar, pekerja pengolahan dan kerajinan.

Berita Lainnya
×
tekid