sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
M Rahmat Yananda

Orientalisme, mitos, dan propaganda zionisme

M Rahmat Yananda Jumat, 28 Mei 2021 15:22 WIB

Ideologi, mitos dan propaganda 

Orientalisme dalam wujud zionisme menjadi Ideologi yang mendukung aksi kolonial Israel atas Palestina. Orientalisme merujuk kepada studi akademis terkait Timur (Orient). Edward Said sebagai tokoh utama dan menulis buku berjudul Orientalism (1978). Said menyampaikan gagasannya sebagai suatu peyoratif karena Orientalisme digunakan Barat untuk memberikan penilaian yang merendahkan terhadap Timur.

Said mengungkap pandangan penuh prasangka Barat terhadap Timur yang merupakan warisan imperialis. Secara luas, gagasan orientalisme dapat digunakan untuk melabeli semua prasangka Barat terhadap non-Barat, termasuk Afrika dan Amerika Latin (Kalmar dalam Martin dkk., 2016).

Said, seorang sarjana kesusasteraan Amerika kelahiran Palestina, mendeklarasikan bahwa orientalisme tidak layak secara keilmuan melainkan suatu ideologi yang melayani imperialis Barat. Mengikuti pemikiran Michel Foucault dan Antonio Gramsci, Said menyatakan ideologi tersebut adalah disiplin, bukan dalam pemahaman akademis, tetapi merupakan rezim pengendalian yang dirancang untuk menjaga sekumpulan relasi kekuasaan (Kalmar dalam Martin dkk., 2016).

Di samping meminjam gagasan Foucault, Said juga menjelaskan bagaimana orientalisme beroperasi melakukan hegemoni terhadap Timur. Disiplin dan hegemoni tersebut dapat ditemukan dalam tulisan sejarah, geografi, kesusasteraan, dan lain-lain (Said, 1978).  

Edward Said juga merupakan seorang aktivis yang dengan keras menyuarakan hak-hak Palestina dan menentang pendudukan Israel. Menurut said, orientalisme mendukung zionisme atau zionisme termotivasi oleh prasangka orientalisme (Kalmar dalam Martin dkk., 2016). Dalam Question of Palestine (1980), Said menjelaskan orientalisme beroperasi mendukung kepentingan zionisme di Palestina. Palestina yang menjadi bagian dari Timur Tengah adalah Timur yang merupakan objek dari orientalisme dalam kepentingan zionisme. Dalam ideologi tersebut, Palestina adalah gagasan yang memunculkan pertanyaan atas banyak hal yang membuat kehadirannya sekadar menjadi bagian dari yang lain, tidak kompatibel dengan Barat, serta dengan ketidakpastian dan ketidakstabilan.

Tuduhan Said atas orientalisme yang beroperasi dalam kepentingan zionisme ini dapat dilacak dalam karya Haim Gerbers, profesor sejarah Islam di Universitas Hebrew, yang mengungkap bias orientalisme dalam historiografi Israel tentang Palestina yang hanya berfokus kepada tiga hal, yaitu (1) tidak ada penanda yang kuat dari  nasionalisme Palestina, (2) masyarakat Palestina primitif dan terbelakang, dan (3) cepat runtuhnya Palestina di 1948 adalah wujud kelemahan yang melekat dalam masyarakat Palestina (Gerbers, 2003).

Padahal keberadaan bangsa Palestina di tanah Palestina telah terbaca melalui catatan perjalanan ke Timur de Chateubriand, Mark Twain, Lamartine, Nerval dan Disraeli. Lamartine yang mencatat penduduk Arab di tanah Palestina di abad kedelapan belas atau kesembilan belas. Sedangkan menurut sumber Israel sendiri di 1822 terdapat tidak lebih dari 24.000 orang Yahudi di Palestina, tidak sampai 10% dari keseluruhan populasi Arab yang sangat besar (Said, 1980). Keberadaan bangsa Palestina di tanah airnya terabaikan oleh interpretasi yang memarjinalkan Palestina sampai saat ini, bermula dari Deklarasi Balfour (1917), Nakbah (1948), Perang Enam Hari Arab-Israel 1967, dan pengakuan Presiden Trump atas Yerusalem sebagai ibukota Israel (2017). 

Sponsored

Secara praktis, zionisme memunculkan mitos-mitos, yaitu cerita yang terdistorsi untuk kepentingan pendudukan tanah Palestina. Ilan Pappe, sejarawan kelahiran Israel mencatat 10 mitos umum yang telah memberikan kekebalan dan perisai impunitas dan ketidakmanusiawian di tanah Palestina dalam Gaza In Crisis: Reflectios On The US-Israeli War On The Palestinians (2010):

  1. Palestina adalah tanah tidak berpenduduk, menunggu penduduk yang tidak memiliki tanah. Mitos ini diceritakan melalui pendekatan sejarah untuk membenarkan terjadinya kolonisasi dan pembunuhan oleh militer Israel, yang tentu saja harus ditentang.
  2. Orang Palestina menggunakan tindakan teror terhadap pemukim Yahudi sebelum pembentukan Israel. Ternyata berdasarkan catatan harian para Zionis, para pemukim Yahudi diterima bahkan ditawari tempat tinggal dan diajarkan untuk mengolah lahan (pertanian) oleh penduduk Palestina. Ketika pendatang Zionis terlihat jelas tidak ingin hidup berdampingan dengan penduduk asli, maka orang-orang Palestina melakukan penolakan/penentangan.
  3. Mitos terkait penciptaan Israel: (1) Palestina disalahkan karena menolak rencana pemisahan oleh UN di 1947, yang tentu saja mengabaikan watak kolonial dari Gerakan Zionis yang terbukti sampai saat ini tidak berhenti mencaplok tanah warga Palestina dan melakukan pembunuhan etnik Palestina. (2) Warga Palestina meninggalkan rumah-rumah mereka secara sukarela atau mereka mengikuti himbauan pemimpinnya. Kenyataannya warga meninggalkan Palestina untuk mengungsi akibat perang di 1948. Bahkan sebagian dari mereka telah terusir sebelum perang dimulai di 15 Mei 1948. (3) Perang tersebut adalah David (Israel) melawan Goliath (Arab), fakta yang berbeda dengan mitos tersebut di mana Palestina tidak memiliki kekuatan militer dan negara-negara Arab hanya mengirimkan sejumlah kecil pasukan ke Palestina. (4) Setelah terjadi perang, Israel menawarkan perdamaian kepada Palestina dan tetangga Arabnya. Ternyata dokumen menunjukkan dengan jelas para pemimpin Israel menolak keras membuka negosiasi terkait masa depan Palestina atau mempertimbangkan kembalinya orang-orang yang telah diusir atau melarikan diri. Sebaliknya, pemerintah Arab dan pemimpin Palestina menerima untuk berpartisipasi dalam inisiasi damai UN 1948. Kelompok militan Yahudi malahan membunuh mediator perdamaian UN, Count Bernadotte, dan menolak saran UN untuk membuka negosiasi. 
  4. Israel adalah negara demokrasi yang bersahabat sebelum 1967. Seperlima dari warga Israel menjadi subjek rezim militer yang kejam berdasarkan peraturan darurat mandatori Inggris yang menyangkal hak asasi manusia dan hak sipil. Warga Palestina dan Arab menjadi sasaran kekejaman mereka. 
  5. Perjuangan Palestina hanya bertujuan melakukan teror. PLO dan gerakan Palestina lainnya tengah berjuang melawan kolonialis Israel di mana dunia sulit memberikan legitimasi ketika yang menjadi korban adalah Muslim dan penindas adalah Yahudi. 
  6. Israel terpaksa menduduki Tepi Barat dan Gaza di 1967 memunggu sampai semua pihak siap berdamai. Faktanya, Israel yang menolak inisiasi damai UN di 1948 dan Israel memiliki kesepakatan dengan Yordania.
  7. Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza dengan iktikad baik, tetapi terpaksa merespons kekerasan dari Palestina. Padahal Israel secara brutal menyerang Palestina dan hanya membuka kesempatan kepada warga Palestina dipenjara secara “terbuka” oleh Israel, mendapatkan otonomi terbatas, dan hak bekerja dengan upah rendah. Atau, warga Palestina yang melakukan perlawanan akan dipenjara secara maksimum, subjek penghukuman secara kolektif, termasuk penghacuran rumah-rumah, penangkapan tanpa persidangan, pengusiran, dan dalam beberapa kasus terjadi pembunuhan.
  8. Kesepakatan Oslo mencerminkan keinginan di kedua sisi untuk mencapai solusi, yang ternyata hanya menguntungkan Israel.
  9. Intifada kedua adalah teror massal yang diorkestrasi Yasser Arafat, yang ternyata adalah demonstrasi massal akibat pengkhiatan Oslo dan provakasi Ariel Sharon atas tempat suci Islam. Demonstrasi damai dihadapi secara brutal oleh Israel yang meningkatkan kefrustrasian Palestina yang akhirnya menyerang tentara Israel dengan senjata bom bunuh diri. 
  10. Solusi di Israel dan Palestina sudah dekat, yaitu solusi dua negara mendekatkan konflik berakhir. Sementara itu Israel secara massif melakukan aneksasi rumah-rumah warga Palestina. Solusi dua negara hanya dimaksudkan Israel untuk memasukkan Tepi Barat dalam kendali Israel tanpa memasukkan penduduk yang tinggal di sana. 
Berita Lainnya
×
tekid