sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
M Rahmat Yananda

Orientalisme, mitos, dan propaganda zionisme

M Rahmat Yananda Jumat, 28 Mei 2021 15:22 WIB

Sejak perencanaan sampai dengan pendudukan Zionis atas tanah Palestina, mereka membutuhkan dukungan diplomasi dan opini publik. Pendudukan Zionis atas tanah Palestina dilakukan bersama-sama dengan produksi informasi dan pengetahuan sejalan dengan ideologi zionisme untuk menciptakan negara Israel.

Dalam penciptaan negara Israel, Zionis membutuhkan strategi dan taktik. Yang terpenting adalah penguasaan terhadap lobi dan opini global. Karenanya sejak awal penciptaan negara Israel, konstruksi ideologi, mitos, dan propaganda menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari operasi Zionis.

Zionisme beroperasi dalam ideologi Barat yang melihat Timur sebagai objek produksi dan narasi pengetahuan terkait Timur dengan cara pandang Barat, yang juga ikut membentuk citra Barat itu sendiri. Edward Said menyebutnya sebagai Orientalisme.

Orientalisme menjadi protokol ideologi yang beroperasi dalam zionisme untuk menciptakan negara Israel, khususnya dalam kepentingan pembangunan narasi dan pengetahuan yang menjadi pembenaran kehadiran dan pendudukan Israel di Palestina sampai konflik terbaru. 

Di Indonesia sejak meletus konflik terbaru di Gaza, ternyata ideologi, mitos, dan propaganda zionisme tersebut juga muncul dan dipaksakan untuk mendapatkan konteksnya. Para pendukung ideologi, mitos, dan propaganda zionisme tersebut mengemasnya ulang ke dalam konteks “keindonesiaan”.

Mereka belum tentu juga mendukung pendudukan dan penindasan Israel terhadap Palestina, tetapi mereka jelas-jelas berselancar dalam gelombang besar opini zionisme karena berkepentingan untuk “memukul” kelompok antizionisme yang menjadi seteru mereka di Tanah Air. 

Ideologi, mitos, dan proganda zionisme dalam konflik Israel dengan Palestina sudah mengakar dalam sejarah konflik itu sendiri dalam bentuk manipulasi dan distorsi. Distorsi atau manipulasi sejarah yang dapat menjelaskan mengapa konflik tersebut tidak dapat diselesaikan. Sedangkan konflik membutuhkan pandangan yang jujur dan komprehensif dari masa lalu untuk memfasilitasi perdamaian dan solusi yang langgeng. Sebaliknya, sejarah yang terdistorsi akan memperburuk keadaan, khususnya dalam konflik Israel dengan Palestina yang menutupi terjadinya penindasan, kolonialisasi, dan pendudukan (Pappe dan Chomsky dalam Barat, 2013). 
 

Ideologi, mitos dan propaganda 

Orientalisme dalam wujud zionisme menjadi Ideologi yang mendukung aksi kolonial Israel atas Palestina. Orientalisme merujuk kepada studi akademis terkait Timur (Orient). Edward Said sebagai tokoh utama dan menulis buku berjudul Orientalism (1978). Said menyampaikan gagasannya sebagai suatu peyoratif karena Orientalisme digunakan Barat untuk memberikan penilaian yang merendahkan terhadap Timur.

Said mengungkap pandangan penuh prasangka Barat terhadap Timur yang merupakan warisan imperialis. Secara luas, gagasan orientalisme dapat digunakan untuk melabeli semua prasangka Barat terhadap non-Barat, termasuk Afrika dan Amerika Latin (Kalmar dalam Martin dkk., 2016).

Said, seorang sarjana kesusasteraan Amerika kelahiran Palestina, mendeklarasikan bahwa orientalisme tidak layak secara keilmuan melainkan suatu ideologi yang melayani imperialis Barat. Mengikuti pemikiran Michel Foucault dan Antonio Gramsci, Said menyatakan ideologi tersebut adalah disiplin, bukan dalam pemahaman akademis, tetapi merupakan rezim pengendalian yang dirancang untuk menjaga sekumpulan relasi kekuasaan (Kalmar dalam Martin dkk., 2016).

Di samping meminjam gagasan Foucault, Said juga menjelaskan bagaimana orientalisme beroperasi melakukan hegemoni terhadap Timur. Disiplin dan hegemoni tersebut dapat ditemukan dalam tulisan sejarah, geografi, kesusasteraan, dan lain-lain (Said, 1978).  

Edward Said juga merupakan seorang aktivis yang dengan keras menyuarakan hak-hak Palestina dan menentang pendudukan Israel. Menurut said, orientalisme mendukung zionisme atau zionisme termotivasi oleh prasangka orientalisme (Kalmar dalam Martin dkk., 2016). Dalam Question of Palestine (1980), Said menjelaskan orientalisme beroperasi mendukung kepentingan zionisme di Palestina. Palestina yang menjadi bagian dari Timur Tengah adalah Timur yang merupakan objek dari orientalisme dalam kepentingan zionisme. Dalam ideologi tersebut, Palestina adalah gagasan yang memunculkan pertanyaan atas banyak hal yang membuat kehadirannya sekadar menjadi bagian dari yang lain, tidak kompatibel dengan Barat, serta dengan ketidakpastian dan ketidakstabilan.

Tuduhan Said atas orientalisme yang beroperasi dalam kepentingan zionisme ini dapat dilacak dalam karya Haim Gerbers, profesor sejarah Islam di Universitas Hebrew, yang mengungkap bias orientalisme dalam historiografi Israel tentang Palestina yang hanya berfokus kepada tiga hal, yaitu (1) tidak ada penanda yang kuat dari  nasionalisme Palestina, (2) masyarakat Palestina primitif dan terbelakang, dan (3) cepat runtuhnya Palestina di 1948 adalah wujud kelemahan yang melekat dalam masyarakat Palestina (Gerbers, 2003).

Padahal keberadaan bangsa Palestina di tanah Palestina telah terbaca melalui catatan perjalanan ke Timur de Chateubriand, Mark Twain, Lamartine, Nerval dan Disraeli. Lamartine yang mencatat penduduk Arab di tanah Palestina di abad kedelapan belas atau kesembilan belas. Sedangkan menurut sumber Israel sendiri di 1822 terdapat tidak lebih dari 24.000 orang Yahudi di Palestina, tidak sampai 10% dari keseluruhan populasi Arab yang sangat besar (Said, 1980). Keberadaan bangsa Palestina di tanah airnya terabaikan oleh interpretasi yang memarjinalkan Palestina sampai saat ini, bermula dari Deklarasi Balfour (1917), Nakbah (1948), Perang Enam Hari Arab-Israel 1967, dan pengakuan Presiden Trump atas Yerusalem sebagai ibukota Israel (2017). 

Secara praktis, zionisme memunculkan mitos-mitos, yaitu cerita yang terdistorsi untuk kepentingan pendudukan tanah Palestina. Ilan Pappe, sejarawan kelahiran Israel mencatat 10 mitos umum yang telah memberikan kekebalan dan perisai impunitas dan ketidakmanusiawian di tanah Palestina dalam Gaza In Crisis: Reflectios On The US-Israeli War On The Palestinians (2010):

  1. Palestina adalah tanah tidak berpenduduk, menunggu penduduk yang tidak memiliki tanah. Mitos ini diceritakan melalui pendekatan sejarah untuk membenarkan terjadinya kolonisasi dan pembunuhan oleh militer Israel, yang tentu saja harus ditentang.
  2. Orang Palestina menggunakan tindakan teror terhadap pemukim Yahudi sebelum pembentukan Israel. Ternyata berdasarkan catatan harian para Zionis, para pemukim Yahudi diterima bahkan ditawari tempat tinggal dan diajarkan untuk mengolah lahan (pertanian) oleh penduduk Palestina. Ketika pendatang Zionis terlihat jelas tidak ingin hidup berdampingan dengan penduduk asli, maka orang-orang Palestina melakukan penolakan/penentangan.
  3. Mitos terkait penciptaan Israel: (1) Palestina disalahkan karena menolak rencana pemisahan oleh UN di 1947, yang tentu saja mengabaikan watak kolonial dari Gerakan Zionis yang terbukti sampai saat ini tidak berhenti mencaplok tanah warga Palestina dan melakukan pembunuhan etnik Palestina. (2) Warga Palestina meninggalkan rumah-rumah mereka secara sukarela atau mereka mengikuti himbauan pemimpinnya. Kenyataannya warga meninggalkan Palestina untuk mengungsi akibat perang di 1948. Bahkan sebagian dari mereka telah terusir sebelum perang dimulai di 15 Mei 1948. (3) Perang tersebut adalah David (Israel) melawan Goliath (Arab), fakta yang berbeda dengan mitos tersebut di mana Palestina tidak memiliki kekuatan militer dan negara-negara Arab hanya mengirimkan sejumlah kecil pasukan ke Palestina. (4) Setelah terjadi perang, Israel menawarkan perdamaian kepada Palestina dan tetangga Arabnya. Ternyata dokumen menunjukkan dengan jelas para pemimpin Israel menolak keras membuka negosiasi terkait masa depan Palestina atau mempertimbangkan kembalinya orang-orang yang telah diusir atau melarikan diri. Sebaliknya, pemerintah Arab dan pemimpin Palestina menerima untuk berpartisipasi dalam inisiasi damai UN 1948. Kelompok militan Yahudi malahan membunuh mediator perdamaian UN, Count Bernadotte, dan menolak saran UN untuk membuka negosiasi. 
  4. Israel adalah negara demokrasi yang bersahabat sebelum 1967. Seperlima dari warga Israel menjadi subjek rezim militer yang kejam berdasarkan peraturan darurat mandatori Inggris yang menyangkal hak asasi manusia dan hak sipil. Warga Palestina dan Arab menjadi sasaran kekejaman mereka. 
  5. Perjuangan Palestina hanya bertujuan melakukan teror. PLO dan gerakan Palestina lainnya tengah berjuang melawan kolonialis Israel di mana dunia sulit memberikan legitimasi ketika yang menjadi korban adalah Muslim dan penindas adalah Yahudi. 
  6. Israel terpaksa menduduki Tepi Barat dan Gaza di 1967 memunggu sampai semua pihak siap berdamai. Faktanya, Israel yang menolak inisiasi damai UN di 1948 dan Israel memiliki kesepakatan dengan Yordania.
  7. Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza dengan iktikad baik, tetapi terpaksa merespons kekerasan dari Palestina. Padahal Israel secara brutal menyerang Palestina dan hanya membuka kesempatan kepada warga Palestina dipenjara secara “terbuka” oleh Israel, mendapatkan otonomi terbatas, dan hak bekerja dengan upah rendah. Atau, warga Palestina yang melakukan perlawanan akan dipenjara secara maksimum, subjek penghukuman secara kolektif, termasuk penghacuran rumah-rumah, penangkapan tanpa persidangan, pengusiran, dan dalam beberapa kasus terjadi pembunuhan.
  8. Kesepakatan Oslo mencerminkan keinginan di kedua sisi untuk mencapai solusi, yang ternyata hanya menguntungkan Israel.
  9. Intifada kedua adalah teror massal yang diorkestrasi Yasser Arafat, yang ternyata adalah demonstrasi massal akibat pengkhiatan Oslo dan provakasi Ariel Sharon atas tempat suci Islam. Demonstrasi damai dihadapi secara brutal oleh Israel yang meningkatkan kefrustrasian Palestina yang akhirnya menyerang tentara Israel dengan senjata bom bunuh diri. 
  10. Solusi di Israel dan Palestina sudah dekat, yaitu solusi dua negara mendekatkan konflik berakhir. Sementara itu Israel secara massif melakukan aneksasi rumah-rumah warga Palestina. Solusi dua negara hanya dimaksudkan Israel untuk memasukkan Tepi Barat dalam kendali Israel tanpa memasukkan penduduk yang tinggal di sana. 

Zionisme beserta mitos-mitos yang menyertainya membutuhkan mesin yang mampu menyebarkanya secara global dan dominan. Penguasaan terhadap media massa global menjadi keniscayaan. Edward Said mengungkapkan dalam Covering Islam (1981) di mana media Amerika Serikat bertanggung jawab atas pesan-pesan yang mengekalkan stereotip dangkal dari suatu budaya yang kompleks (Islam dan Arab) dan bekerja sama dalam imperialisme intelektual dari para akademisi yang dijelaskan dalam Orientalism (1978). 

Noam Chomsky, seorang intelektual berdarah Yahudi yang menentang keras penjajahan Israel atas Palestina, pernah menulis tentang hegemoni media di era media massa dalam “memanufaktur persetujuan” (Manufacturing Consent: The Political Economy of Mass Media, 1988). Chomsky dan mitranya Edward S Herman mengembangkan PM (Propaganda Model), yang memiliki lima filter: (1) ukuran, kepemilikan dan orientasi profit; (2) ketergantungan kepada iklan; (3) sumber materi berita media; (4) pembatasan penyebaran informasi oleh banyak kelompok kepentingan; (5) dan antikomunisme sebagai mekanisme control. PM dapat menjadi uji coba mengetahui kecenderungan media massa (saat ini media sosial) terhadap suatu peristiwa. 

Orientalisme dan PM beroperasi di media besar, seperti stasiun radio dan televisi BBC. Pada 1 Juli, 2006, Alan Johnson, reporter BBC di Gaza, melaporkan “overview of war situation”. Dia memberikan latar belakang invasi Israel ke Palestina sebagai suatu tindakan terbaik negara dan Hamas akan mendapatkan ganjaran yang memaksanya untuk mengubah sikap.

Akan tetapi reportase Johnson tidak memasukkan keterangan bahwa Hamas telah setahun mengikuti gencatan senjata meskipun Israel terus melakukan pembunuhan; mengikuti pemilu secara terbuka; menyampaikan tawaran hidup berdampingan yang ditolak Israel; dan mengikuti cara-cara damai dan menghimbau PBB menentang boikot Israel atas Gaza. Sebaliknya, BBC hanya menjelaskan latar belakang invasi Israel yang berbeda dari kenyataannya dan menutupi kebrutalan sang agresor. Kisah ini disampaikan oleh James Petras, Profesor Sosiologi (emeritus) dari Universitas Binghamton, New York, (dalam The Power of Israel In The United States, 2006), di mana seharusnya tindakan brutal Israel yang harus dihentikan, bukan sikap kooperasi Hamas. Contoh terkini dari PM di era media sosial adalah ketika Facebook melakukan filter terhadap pemberitaan di Palestina (https://www.arabnews.com/node/1856631/media).  

Mitos dan propaganda zionisme di Indonesia
Mitos-mitos zionisme dalam bentuk informasi dan pengetahuan juga beredar luas di Indonesia, meningkat semenjak era media sosial, khususnya kebrutalan militer Israel di Syeikh Jabbar. Terkait aksi brutal Israel, Presiden RI telah menyampaikan posisi tegas Indonesia bahwa tindakan Israel mengusir warga Palestina dari Syeikh Jabbar, Yerusalem Timur, dan menyerang warga sipil Palestina di Masjid Al Aqsa, merupakan tindakan yang tidak dapat dibiarkan.

Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa Indonesia mengutuk tindakan tersebut dan mendesak DK PBB untuk mengambil langkah nyata terhadap pelanggaran yang terus dilakukan oleh Israel. Sikap pemerintah tersebut kontra atas arus utama gelombang informasi dan pengetahuan yang diproduksi dan disebarkan Zionis. 

Terlepas dari sikap Pemerintah RI, mitos-mitos berikut beredar di publik Indonesia yang merupakan turunan dari narasi zionisme. Mitos-mitos muncul dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut, untuk mencapai target tertentu dari para pengusung mitos zionisme di Indonesia, yang mengingatkan kepada kritik Said dalam Question of Palestine:

  1. Pertanyaan atas eksistensi Palestina sebagai suatu bangsa (negara bangsa) dengan mengabaikan “penciptaan” Israel sebagai negara di suatu tanah yang mereka klaim secara sepihak berdasarkan mitos yang mereka propagandakan dengan pendukungnya tanpa melibatkan orang-orang yang hidup di atas tanah tersebut dengan membonceng Inggris dan UN. Sejatinya sebagai rakyat yang berjuang melawan penjajah mempertahankan tanah air tidaklah sulit untuk warga Indonesia memahami kondisi yang menimpa tanah dan rakyat Palestina dengan memahami bagaimana penjajah memetakan (mencaplok, memecah belah) Indonesia secara sepihak atau sebagaimana NICA membonceng Sekutu untuk masuk Indonesia.
  2. Fokus kepada tindak kekerasan Hamas yang berdiri di 1987 dengan sengaja melupakan (menutupi?) tindakan brutal dan kejam militer Israel kepada warga Palestina yang sudah berlangsung lama (sejak peristiwa Nakbah) sebelum Hamas berdiri. Mitos tersebut juga mengabaikan fakta bahwa Israel adalah penjajah dan Hamas adalah kelompok warga yang melawan penjajahan dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Tuduhan ekstremis/teroris kepada pejuang adalah propaganda penjajah yang akan hilang dengan sendirinya jika bangsa yang dijajah merdeka.
  3. Dan yang tidak terkait langsung dengan mitos zionis adalah mempertanyakan keterlibatan Indonesia dalam konflik Israel dengan Palestina melalui penyebaran propaganda bahwa konflik Israel dengan Palestina bukanlah urusan Indonesia. Untunglah sebagai negara yang pernah dijajah, pengagas konferensi Asia Afrika, dan mewarisi semangat Bung Karno yang antipenjajahan, Pemerintah RI melalui Menlu Retno mengatakan, Indonesia akan berjuang di semua lini, termasuk di Committee on the Exercise of the Inalienable Rights of the Palestine. Komite ini ada di Majelis Umum PBB yang dibentuk 1975, yang memiliki mandat memperjuangkan hak-hak Palestina termasuk hak kemerdekaan Palestina. Saat ini, Indonesia adalah salah satu negara anggota biro dan memangku jabatan wakil ketua dalam komite tersebut.

Jika mitos-mitos zionisme yang berkembang di Indonesia yang muncul dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dianalisis lebih jauh, maka jawabannya dapat ditemukan: memunculkan keraguan dan ketidakstabilan tentang (gagasan) Palestina. Jika keraguan dan ketidakstabilan terjadi, khususnya pada pemerintah dan rakyat Indonesia yang secara teguh mendukung kemerdekaan utuh Palestina sejak era Bung Karno, maka para pengusung mitos dan propaganda zionisme ini telah menang. 

Jika rakyat Indonesia tetap berjuang membantu rakyat Palestina, pertempuran sebenarnya ada di produksi, distribusi, dan mitigasi informasi dan pengetahuan. Melawan informasi dan pengetahuan yang sarat distorsi dan manipulasi zionisme. Karenanya yang dibutuhkan adalah keberpihakan yang rasional berbasis kemanusiaan dan antipenjajahan sejalan dengan posisi Said, Chomsky, Pappe, Gerbers, dan Petras, paham strategi dan taktik Zionis, dan mengurangi perlawanan yang sarat retorika berbasis identitas. Sikap ini  menjadikan Indonesia sebagai bagian dari perlawanan global terhadap penjajahan dan penindasan. Ini akan membuat Bung Karno tersenyum bangga!

Berita Lainnya
×
tekid