sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pakar soroti plus-minus antara pers jadul versus pers digital

Banyak media di Indonesia yang malah memberitakan media sosial (medsos).

Arpan Rachman
Arpan Rachman Selasa, 08 Feb 2022 20:21 WIB
Pakar soroti plus-minus antara pers jadul versus pers digital

Kekurangan dan kelebihan antara pers jadul (jaman dulu) dengan pers digital disoroti oleh tiga pakar media. Dahulu di zaman media cetak terdepan, orang-orang mengikuti eranya koran seperti apa adanya. Begitu memasuki era digital, tentu saja timbul perbedaan yang baru sama sekali. Pandangan itu diutarakan CEO Times Indonesia Khoirul Anwar dalam dialog Jurnal9 dari TV9 News, yang dipandu Nita Liana, Sabtu (5/2/2022).

"Sebentar lagi eranya metaverse, itu seperti apa lagi? Semuanya akan mengikuti. Memasuki dunia digital juga ada perubahan. Kalau sekarang mungkin era web2 sudah mulai minggir, kita akan menjelang web3. Saya kira, perusahaan-perusahaan media di Indonesia sudah mulai ancang-ancang, termasuk kami juga mulai ancang-ancang di web3. Apa itu? Generasi meta. Ini yang akan kita adopsi untuk konsumsi jurnalisme anak-anak generasi meta," sambungnya.

Menurut Anwar, perubahan-perubahan itulah yang mungkin akan menjadi patron baru. Tapi pada prinsipnya jurnalismenya tetap sama, tidak ada yang berubah. Kalaupun berita tetap disajikan dengan 5W1H, indepth news, dan sebagainya. Hanya sekarang polanya juga yang mesti berubah.

Dipaparkan, riset WAN-IFRA membuktikan bahwa dunia pers sudah terombang-ambing oleh media sosial. Banyak media di Indonesia yang malah memberitakan media sosial (medsos). Isu-isu di medsos kemudian diberitakan di media mainstream. Berarti di situ ada pengaruh dari digital media yang sangat luar biasa. Dari medsos masuk ke dunia media mainstream, dalam bisnis media.

"Karena itu, namanya jurnalistik seharusnya jangan begitu. Itu media mainstream ikut-ikutan menjadi recehan. Karena itu, pola ini harus diubah," tegas Anwar.

Sementara ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto menilai dua hal dalam kondisi pers sekarang dari sisi produsen dan konsumen. Dari aspek produsen, tadinya tercipta hegemoni bahwa yang memproduksi satu berita itu adalah benar-benar orang yang terlatih, tertata, skillful, memiliki kemampuan detail tentang jurnalistik, penulisan, dan segala macam. Tapi di era sekarang, semua merasa bisa sebagai produsen.

"Semua merasa: 'Bisa kok saya (seperti wartawan!') Semua di era digital merasa serba instan. Begitu melihat, 'Ah kalau cuma posting begini, kalau cuma isinya ini, saya bisa!' Dari aspek produsen, semua merasa bisa. Di satu sisi bagus, tapi di sisi lain (bagaimana) standarnya," ujar Rommy.

Diuraikannya, dari aspek konsumen, dulu orang merasa kalau tidak dimuat media mainstream setelah membuat acara atau konferensi pers itu pasti tidak bisa tidur. Sekarang semua santai saja. Karena tidak ada lagi arus utama, sekunder atau tersier. Semuanya merasa bisa menjadi arus utama.

Sponsored

"Kalau soal (berita) clickbait, kita tidak membahas istilah ya?! Tetapi bahwa ilmu jurnalistik yang paling mendasar, judul itu 'kan harus eye-catching (menarik perhatian)? Harus bisa membuat orang untuk masuk ke tulisan kita! Ilmunya masih sama. Persoalannya, dulu judul itu dibikin memang merepresentasikan konten atau isinya. Sekarang judulnya ke mana, isinya ke mana. Ketika diklik, yah... penonton kecewa. Itu gambaran sekarang, saya lihat begitu," tutur mantan wartawan Tempo.

Uraian senada dikemukakan Arif Afandi, CEO PT Generasi Baru Digital, penerbit ngopibareng.id. "Platform menuntut ada beberapa hal. Kesatu, kalau dulu, otoritas untuk memproduksi satu berita itu dimonopoli oleh orang-orang yang memang dididik untuk menjadi produsen berita. Sekarang setiap orang bisa memproduksi berita. Atau sebut saja memproduksi informasi yang bisa disebarkan ke semua platform yang ada. Persoalannya adalah itu yang membedakan dengan dulu," katanya.

Afandi memilah dari sisi produksi. Dahulu, produk jurnalisme itu dibikin oleh orang-orang yang memang punya komitmen dan dengan seleksi yang ketat untuk memiliki etik menyebarkan informasi yang benar. Paling tidak mendekati benar. Sekarang setiap orang punya kesempatan untuk memproduksi itu. Platformnya, alat distribusinya, itu yang kemudian juga memiliki prasyarat tertentu.

"Jadi ada algoritma yang menjadikan produksi berita itu belum tentu bisa terdistribusi sesuai dengan keinginan produsennya. Contohnya, Mas Khoirul Anwar dengan Times Indonesia, Mas Rommy dulu dengan Tempo, dan kami dengan ngopibareng.id ketika masuk ke platform digital, maka mau tidak mau distribusi berita yang kita produksi itu sangat tergantung pada mekanisme teknologi dengan algoritma yang dibikin oleh para pemilik platform itu," tuturnya.

Kata Afandi, berita yang bagus belum tentu kemudian terdistribusikan dengan baik. Dulu, ketika belum digital, distribusi tergantung pada produsennya. Sekarang produsen belum tentu bisa memastikan sejauh mana distribusi konten yang dibikinnya sendiri. Apakah itu baik? Ini bukan soal baik dan tidak baik. Ini soal zaman yang harus dihadapi semua orang.

"Belum lagi kalau nanti era metaverse, seperti apa, belum tahu. Produk jurnalistik yang kemudian bisa sesuai platform yang seperti itu bagaimana, kita juga belum tahu. Tapi satu hal adalah bahwa berita itu ya sama saja sejak dulu. Bagaimana memberikan informasi kepada orang lain dengan standar jurnalistik tertentu, tapi kemudian yang berbeda adalah distribusinya. Kalau dulu, produsen berita itu bisa menyebarkan produk dengan sendirinya, kalau sekarang tidak lagi," pungkasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid