sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cara buzzer bekerja dan alarm bahaya di baliknya

Buzzer dibutuhkan oleh politisi untuk menggiring opini publik.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 15 Okt 2019 20:42 WIB
Cara buzzer bekerja dan alarm bahaya di baliknya

“Pilpres kemarin itu sangat terlihat, bagaimana orang bisa mudah sekali terpancing karena media sosial,” kata Ronald—bukan nama sebenarnya—mantan buzzer pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, Selasa (8/10).

Sebagai seorang pendengung alias buzzer, Ronald tentu punya tugas yang diemban. Ia mengatakan, dirinya menjadi penangkal serangan isu yang dilancarkan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, yang menjadi satu-satunya lawan Jokowi-Ma’ruf dalam perhelatan Pilpres 2019.

“Caranya, saya memberi narasi positif yang berkaitan dengan Jokowi-Ma’ruf,” ujarnya.

Bila cara itu tak dilakukan, Ronald khawatir publik bakal menelan mentah-mentah isu yang dilancarkan kubu Prabowo-Sandi.

Ronald mengaku, bekerja tak sendirian. Timnya, kata dia, berjumlah 150-200 orang. Masing-masing orang punya puluhan akun media sosial, yang bisa dimanfaatkan untuk meramaikan tagar di media sosial.

Sebab, tak jarang keriuhan pertarungan politik kemarin dimulai dari perbincangan di media sosial. Dalam bekerja, Ronald pun diperintahkan oleh seorang pemimpin, yang bertugas menentukan isu apa saja yang harus ditangkal.

“Setelah ditentukan, baru para buzzer bekerja sesuai target yang diinstruksikan leader,” ucapnya.

Kala pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) diserang isu mengenai rapuhnya kotak suara yang berbahan kardus oleh kubu Prabowo-Sandi, Ronald mengatakan, pihaknya habis-habisan menjelaskan kepada publik melalui Twitter dan Facebook.

Sponsored

Tim buzzer Ronald menerangkan kalau kotak suara kardus itu sudah sejak lama digunakan di dalam pemilu. Selain itu, tim buzzer menjelaskan bila penggunaan kotak suara kardus sudah disepakati partai koalisi Prabowo-Sandi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Ronald mengakui, tim pasukan siber Jokowi-Ma’ruf pernah melancarkan serangan ke kubu Prabowo-Sandi. Ia membeberkan, salah satunya membuat tagar #SandiwaraUno, yang sempat menjadi trending topic di Twitter.

“Tujuannya, menelanjangi cara kampanye pasangan 02,” katanya.

Buzzer dua kubu, Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi, pernah bertarung habis-habisan saat Pilpres 2019. /facebook.com/Jokowi/

Isu lainnya yang dimainkan tim buzzer tempat Ronald bekerja adalah memoles keharmonisan keluarga Jokowi, dengan menjadikan sosok cucunya, Jan Ethes sebagai daya tarik.

"Dengan begitu, publik punya gambaran soal tak harmonisnya keluarga Prabowo. Itu cara halus kami menyerang mereka," ujarnya.

Twitter jadi andalan Ronald dan kawan-kawan untuk menebar isu. Alasannya, Twitter dianggap tempat narasi politik berkembang.

Dalam bekerja, Ronald dan para buzzer lain dipatok target. Minimal, mereka harus masuk 10 besar trending topic di Twitter. Maksimal, bisa memengaruhi media mainstream.

"Kalau media mainstream itu sampai mengikuti isu yang kita mainkan, itu tandanya kami berhasil," ujar Ronald.

Selain itu, jika publik ikut terlibat dalam isu yang dimainkan, artinya kerja barisan buzzer juga berhasil. “Apalagi sampai ada masyarakat yang buat meme yang selaras dengan isu yang kita mainkan," kata dia.

Namun, dalam bekerja, menurut Ronald ada batas-batas yang tak boleh dilanggar, seperti tak boleh menyerang secara vulgar dan memainkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Di samping itu, mereka juga tak boleh menyebarkan berita bohong alias hoaks.

“Kita semua harus berangkat dari data," tuturnya.

Saat masih menjadi buzzer, Ronald mengaku mendapat bayaran sebesar upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta. Dirinya bekerja dengan sistem tiga shift sehari.

“Jadi, bisa dadakan kita masuknya, bisa tiba-tiba masuk pagi, tiba-tiba masuk malam,” kata dia.

Saat melakukan tugasnya, ia mengaku kerap mendapat teror dari pihak yang tak terima dengan unggahannya di media sosial. Akan tetapi, Ronald cuek. Sebab, teror itu masih di dalam media sosial.

“Belum ancaman secara langsung,” kata Ronald.

Salah satu cara untuk mengatasi intimidasi itu, Ronald mengirimkan meme lucu. Hal itu, kata Ronald, dilakukan untuk membuat opini dan ancaman lawan menjadi "receh".

Buzzer ternyata ada yang tak dibayar, disebut buzzer organik. /Pixabay.com.

Mantan buzzer lainnya, Rahaja Baraha—juga bukan nama sebenarnya—mengatakan, bekerja sebagai buzzer mirip tim marketing yang sedang mengenalkan produk ke masyarakat. Rahaja merupakan mantan buzzer saat Pilgub DKI Jakarta 2017.

Rahaja mengisahkan, ia tak sengaja masuk dalam dunia buzzer. Awalnya, ia hanya paham dirinya bekerja sebagai konsultan komunikasi. Kemudian, mulai terlibat dalam marketing politik ketika Pilgub DKI Jakarta 2017.

Dalam bekerja sebagai buzzer, ia menggunakan Twitter, Facebook, Instagram, dan blog. Berbeda dengan Ronald, menurut Rahaja, memainkan isu SARA dan menyerang seseorang tak masalah.

“Asalkan ada datanya,” ujar Rahaja saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/10).

Sebelum bekerja, menurutnya, ada rapat isu terlebih dahulu. Tujuannya, mengemas permintaan klien menjadi isu yang populer.

"Dalam rapat itu, ada tiga elemen yang harus dipenuhi, yakni strategy, action, dan control," tuturnya.

Rahaja mengungkapkan, ketika Pilgub DKI Jakarta, dirinya bekerja dalam sebauh tim kecil. Berjumlah hanya 10 orang. Masing-masing orang punya ratusan akun anonim.

Sama seperti Ronald, Rahaja pun mendapat bayaran tak jauh berbeda dengan UMR DKI Jakarta. Akan tetapi, ia mengungkap, ketika Pilgub DKI Jakarta, ada pula buzzer yang bekerja tanpa dibayar.

"Jadi, ada dua model buzzer. Ada yang struktural, memiliki garis hierarki yang jelas. Ada buzzer yang organik, bekerja tanpa dibayar," katanya.

Buzzer organik, menurut Rahaja, bekerja atas dorongan ikatan emosional antara dirinya dan kandidat. Sehingga bekerja tak ubahnya suporter yang ingin mendukung jagoannya habis-habisan.

"Buzzer organik ini muncul setelah Ahok ngomong soal surat Al-Maidah. Setelah itu, jaringan 212 langsung mengumpulkan banyak orang di grup Telegram untuk jadi buzzer tanpa dibayar, atas ikatan ideologis saja," ujar Rahaja.

Rahaja berpandangan, buzzer organik inilah yang justru menyebarkan informasi tanpa data yang kuat. Sebab, mereka bekerja secara serampangan, tanpa ada pengawasan yang kuat dari pimpinan mereka.

"Kadang suka jengkel ketika di grup WhatsApp justru isu mereka yang dikonsumsi. Padahal, ya Tuhan mereka tidak sama sekali menggunakan data. Kami harus susah payah menafsirkan data untuk kita posting. Tapi, kadang masyarakat kita malah lebih percaya mereka karena atas dasar kesamaan ideologis," ujarnya.

Laris karena dibutuhkan

Meski Pemilu 2019 sudah berlalu, perihal buzzer masih jadi perbincangan. Baru-baru ini, Universitas Oxford mengeluarkan laporan bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Laporan ini dikerjakan Samantha Bradshaw dan Philip N Howard.

Di dalam laporan setebal 23 halaman itu disebutkan, Indonesia termasuk di antara 70 negara yang memanfaatkan buzzer untuk berbagai kepentingan pada 2019. Buzzer di Indonesia menggunakan media sosial Instagram, Facebook, Twitter, dan WhatsApp untuk berperang.

Pelakunya, sebut laporan itu, menggunakan akun manusia dan bot. Para buzzer tidak bekerja permanen, mereka dikontrak dengan bayaran antara Rp1 juta-Rp50 juta.

Ada dua strategi buzzer di Indonesia, yakni disinformasi dan membanjiri media sosial dengan tagar. Pesan yang disampaikan pun beragam, mulai dari menyerang oposisi, menyebar propaganda propemerintah atau propartai politik, dan mendorong perpecahan di masyarakat. Penggunanya, antara lain politisi, partai politik, dan swasta.

Sementara itu, analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia Ismail Fahmi menjelaskan, buzzer kian tumbuh subur di era digital lantaran terus munculnya kebutuhan untuk menyebarkan opini publik dari politisi.

"Nah, itu ada di pemerintah dan partai politik," ujarnya saat dihubungi, Senin (14/10).

Ismail memandang, peran buzzer sangat signifikan membentuk opini publik. Hal itu bisa dilihat dari tekanan para buzzer yang kerap berhasil memengaruhi pola pikir masyarakat.

Salah satu tugas buzzer membuat isu dibicarakan di media sosial. /Pixabay.com

“Bahkan sampai berhasil mendorong kesepakatan politik,” kata Ismail. "Jadi, kebutuhan itu selalu ada. Karena politik itu ya proses deal-deal untuk mencapai kesepakatan, dan itu kan opini dulu yang perlu dibangun.”

Dihubungi terpisah, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, buzzer kini tengah menguasai media sosial karena permintaan penggiringan opini sedang laris-larisnya.

“Apalagi, warganet kita berkarakter ‘pembaca sekilas’, sehingga menyebabkan permintaan isu yang sensitif dan kontroversial menjadi laris,” kata Wasisto saat dihubungi, Selasa (15/10).

Akan tetapi, Wasisto memandang, keberadaan buzzer bukan sesuatu yang harus disikapi secara berlebihan. Yang paling penting, kata dia, harus didorong menjadi bagian krusial pola kritis publik.

Wasisto yakin, bila didorong ke arah itu, potensi kericuhan di dunia nyata yang disebabkan kegaduhan di media sosial bisa dihindari.

Meski begitu, Wasisto memandang, yang signifikan menggiring opini publik sekarang ini bukan buzzer, tetapi influencer—seseorang yang memiliki jumlah pengikut atau followers banyak dan punya pengaruh kuat bagi followers mereka.

"Buzzer itu hanya membuat isu. Influencer adalah figur warganet yang berpengaruh," tuturnya.

Bahaya bagi demokrasi

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad melihat, secara historis strategi buzzer sudah digunakan saat Pilgub DKI Jakarta pada 2012. Karena efektif, menurutnya, cara itu dilakukan kembali ketika Pilgub DKI Jakarta 2017, Pilpres 2014, dan Pilpres 2019.

Nyarwi menganalisis, ada empat faktor yang membuat buzzer tumbuh subur saat musim politik. Pertama, adanya pertarungan politik yang hanya ada dua kandidat. Kedua, dimainkan di wilayah yang masih kuat isu agama dan etnis. Ketiga, ada persaingan antarkandidat yang selisih elektabilitasnya sangat tipis.

“Keempat, buzzer tumbuh di masyarakat yang memiliki literasi politik rendah terhadap media sosial,” kata Nyarwi saat dihubungi, Selasa (15/10).

Nyarwi mengatakan, cara-cara buzzer memiliki risiko yang sangat besar. Sebab, bukan tidak mungkin buzzer dijadikan senjata untuk menyerang pribadi seseorang, dengan tujuan mematikan karakter orang tersebut.

"Jika dia sekadar memasarkan sosok elite, citra elite, visi-misinya, itu tak masalah. Tapi, bakal jadi masalah ketika buzzer itu melakukan negative campaign dan black campaign," ujarnya.

Selain itu, keberadaan buzzer punya risiko negatif jika sudah menebar ketakutan di masyarakat. Terlebih, membuat masyarakat tak berani bersuara.

Buzzer di Indonesia bekerja menggunakan Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp. Alinea.id/Oky Diaz.

"Contoh kasus bisa dilihat pada Tempo. Kemarin Tempo sempat disinggung buzzer. Nah, kalau buzzer dalam politik itu digunakan untuk membangun sumber ketakutan masyarakat untuk berbicara secara bebas dan berekspresi, menurut saya, itu sangat negatif," ujar Nyarwi.

Tempo pernah membuat heboh dengan menerbitkan sampul Jokowi berhidung panjang, mirip Pinokio. Tajuk utamanya saat itu “Janji Tinggal Janji”.

Lebih lanjut, Nyarwi menilai, bila buzzer tak punya kepedulian terhadap ruang publik, kondisi ini bisa berpotensi memperburuk demokrasi. Sebab, dapat memunculkan konflik berkepanjangan.

"Lihat saja, masih ada yang nyinyir meski pilpres sudah selesai. Orang masih memiliki prasangka terhadap kubu A atau kubu B. Ini karena dampak destruktif yang tak pernah disadari para buzzer," ujar Nyarwi.

Menurut Nyarwi, kondisi ini perlu segera diatasi pemerintah karena korbannya lagi-lagi masyarakat. "Terutama masyarakat yang literasinya rendah," ujar dia.

Berita Lainnya
×
tekid