Survei Indeks Kebebasan Pers: Maluku tertinggi, Papua terendah
Secara umum, IKP pada 2020 mengalami kenaikan tipis sebanyak 1,56 poin dari tahun sebelumnya.
Dewan Pers merilis laporan hasil survei Indeks Kebebasan Pers (IKP) di 34 provinsi di Indonesia sepanjang lima tahun berturut-turut. Secara keseluruhan IKP pada 2020 mengalami kenaikan tipis sebanyak 1,56 poin dari tahun sebelumnya.
Pada kategori kemerdekaan pers IKP 2016-2018 terbilang 'agak bebas'. Namun, pada 2019-2020 naik peringkat menjadi 'cukup bebas'. IKP pada 2016 bernilai 63,44, 67,92 (2017), 69,00 (2018), 73,71 (2019), 75,27 (2020/sementara).
“Oleh karena itu, kita patut bersyukur ada kenaikan rata-rata dari IKP kita,” ujar Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh dalam keterangan pers daring, Jumat (11/9).
Namun, dibalik data angka rata-rata IKP terlihat ada disparitas. Dia berharap ke depannya, rata-rata provinsi mengalami kenaikan. Sehingga, dispartitas antar provinsi dengan IKP tertinggi dan terendah semakin mengecil. Nilai IKP tertinggi (Maluku) berkisar 84,50. Sedangkan nilai IKP terendah (Papua) 70,42. Jadi, rata-rata nilai IKP provinsi 77,67.
Anggota Dewan Pers Asep Setiawan menambahkan, secara umum nilai IKP menggambarkan kondisi kebebasan pers yang cukup bebas di seluruh provinsi.
“Kalau lebih detail lagi, walaupun IKP Papua 70,42 dalam klasifikasi survei termasuk 'agak bebas', tetapi sebetulnya 'agak bebas' yang paling rendah,” ucapnya.
Kendati IKP mengalami tren peningkatan nilai, tetapi beberapa persoalan masih menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia. Misalnya, terkait adanya tekanan dari pemilik perusahaan pers pada kebijakan redaksi, penentuan arah politik media, hingga intervensi pemerintah daerah terhadap isi pemberitaan. Lalu, terkait kekerasan terhadap wartawan, hingga masalah etika pers dan kesejahteraan wartawan.
Disisi lain, terkait masalah kriminalisasi terhadap wartawan. “Salah satu yang menjadi perhatian, independensi dan kepastian hukum lembaga perhatian. Ini juga menjadi persoalan. Ini adalah kriminalisasi pers. Jadi kadang-kadang, kepastian hukum lembaga peradilan tidak menggunakan Undang-Undang Pers, tetapi undang-undang lain, jadi produk pers menjadi salah satu sasaran,” tutur Asep.
Hasil survei ini merupakan gambaran dari kondisi kemerdekaan pers dari Januari hingga Desember 2019. Survei ini dilaksanakan dengan melibatkan informan ahli pada masing-masing provinsi. Sebanyak sembilan informan ahli itu terdiri dari tiga pengurus aktif organisasi wartawan, dua orang dari pimpinan perusahaan pers, dua orang dari unsur pemerintahan, dan dua orang dari unsur masyarakat.