sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jurnalisme Bari Muchtar, dari radio di Belanda hingga radio live di Facebook

Reputasinya apik di jaringan radio dan televisi yang memproduksi dan mentransmisikan program untuk audiens internasional.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Jumat, 02 Jul 2021 13:20 WIB
 Jurnalisme Bari Muchtar,  dari radio di Belanda hingga  radio live di Facebook

Tamat sebagai sarjana muda di Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah cabang Lahat, bersama tiga mahasiswa lain, Bari Muchtar menyabet beasiswa ke Universitas Al Azhar. Sudah tulisan nasibnya, di ibu kota Mesir itulah titik awal hidupnya kemudian mengglobal.

Tiba di Mesir, dia belum bisa langsung masuk kuliah di Kairo. Dewan Lajnah di Universitas Al Azhar memeriksa berkas pendaftaran mahasiswa tidak mengakui gelar BA (Bachelor of Arts, sarjana muda) yang telah dia tamatkan.

"Dewan ini bersidang dua tahun sekali, jadi saya harus menunggu agak lama juga baru kemudian diterima," ujar Bari melalui telepon kepada Alinea.id, Kamis (1/7).

Dia bahkan harus mundur setahun sebelum seterusnya menempuh pendidikan lanjutan. Kuliahnya pun memanjang sampai empat tahun demi meraih gelar Licence (LC).

"Sekarang jadinya saya menekuni bidang agama, turut mengajar juga, karena latar belakang pendidikan itu," katanya.

Kalem kharismatik

Bari mengenang masa lalunya beraktivitas sebagai mahasiswa tanpa nada menggebu. Intonasi kalimatnya datar belaka, jeda tarikan napasnya teratur. Gaya kalem menjadi kesan khas identitas pria kelahiran Lahat, Sumatra Selatan, 4 Oktober 1951.

Empat sekawan sarjana muda IAIN Raden Fatah dengan tekun menggali ilmu di negeri Gurun Sinai penuh Piramida. Bari dan kawan-kawan masuk kampus Al Azhar hanya dua tahun setelah KH Mustofa Bisri selesai bersekolah di sana.

Sponsored

Seniornya itu terkenal sebagai ulama kharismatik, yang sekarang dipanggil Gus Mus. Di Kairo dulu, Gus Mus bertemu Gus Dur (Abdurrahman Wahid, presiden Indonesia yang ketiga). Menurut kisahnya, kalau dipanggil ibunya pulang ke Indonesia ketika di Mesir sedang musim libur, Gus Dur malah lebih sering pergi ke Belanda.

"Kalau dulu Gus Dur terus nongkrong di Belanda, dia tidak bakal jadi presiden!" seloroh Bari.

Dana beasiswa yang mereka terima tidak banyak, cukup makan ala kadarnya. Di musim liburan, Bari akhirnya latah meniru kebiasaan seniornya itu.

Sang yunior seperti mendapat ilham, mengikuti jejak Sang Kiyai. Langkah Bari nyasar sampai Negeri Kincir Angin, dia bekerja serabutan saat libur kuliah. Bekerja apa saja di pabrik, restoran, toko, yang penting mencari uang.

Saat tamat menjadi sarjana di Mesir, Bari memutuskan hengkang ke Belanda, bukan pulang kampung ke Palembang. Mula-mula bekerja di pabrik cat sambil meneruskan kuliah ilmu pedagogi lagi. Karier menanjak, perusahaan menjanjikan jenjang jabatan yang lebih tinggi. Namun, dia mengaku segala hal tentang cat membuatnya pusing. "Mungkin karena tak cocok dengan bidang pendidikan ini," kelakarnya.

Karier bintang

Satu hari, 1985. Radio Nederland Wereldomroep membuka lowongan jurnalis. Bari diterima sebagai penerjemah lepas untuk naskah radio dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Dari status penerjemah lepas, kariernya menanjak hingga membintangi program sendiri.

Reputasinya apik di jaringan radio dan televisi publik yang berbasis di Hilversum, memproduksi dan mentransmisikan program untuk audiens internasional di luar Belanda. Layanan radio itu dalam bahasa Belanda berakhir pada 10 Mei 2012.

Setelah pensiun, dia sempat mendirikan media blog beritabelanda.com dibantu temannya jurnalis dari Medan. Sembari mengisi tulisan di rubrik jurnalisme warga, dia juga membuka akun di Kompasiana. Media blog itu sudah tutup, akunnya di Kompasiana tidak mutakhir lagi. Waktu jua yang akhirnya menepikan Bari dari lika-liku jalan jurnalisme selama berkutat 27 tahun.

Dia masih bekerja keras hanya di musim salju. "Salju itu indah untuk dilihat, dingin kalau dipegang, tapi harus dibersihkan kalau terlalu banyak di pekarangan rumah," katanya.

Sebelum itu, dia pernah menjadi kontributor MetroTV di Belanda. Di kala santai, bacaannya portal Tempo dan tayangan KompasTV serta MetroTV kadang-kadang dipirsa Bari. Sekali sepekan, dia menyiarkan siaran radio live Facebook, mengundang kawan-kawan lama singgah sejenak untuk dibuai lagu-lagu lawas.

Di Tanah Rendah daratan Eropa barat itu pula dia menemukan jodohnya, seorang noni tulen. Pria 69 tahun yang nyaman dibelai angin sejuk kota Almere, dikaruniai dua anak dan dua cucu. Dia tetap suka jalan kaki dan bersepeda.

Berita Lainnya
×
tekid