sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dari medsos ke pers, bergulirnya cuitan BEM UI terkait Jokowi

Sikap BEM UI mengkritik presiden, bisa diapresiasi, tetapi kritisisme melalui media sosial, sangatlah rawan terjebak UU ITE.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 01 Jul 2021 16:21 WIB
Dari medsos ke pers, bergulirnya cuitan BEM UI terkait Jokowi

Portal media arus utama berebut menyajikan konten berita paling laris jadi artikel terpopuler versi Google News di Indonesia, pekan lalu. Bahannya diolah dari cuitan Twitter yang menjadi topik paling tren.

Admin akun resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mencuit, "Jokowi: The King of Lip Service" (semua huruf ditulis kapital dalam sebuah meme), Sabtu (26/6). Sedikitnya unggahan itu mendapat 20,5 ribu retweet, 6.663 tweet kutipan, dan 55,3 ribu disukai, cuitan itu juga memantik reaksi otoritas kampus UI melayangkan surat panggilan kepada mereka. BEM UI telah menegaskan tidak akan menghapus cuitan tersebut.

Diakses pada Rabu (30/6), laman Google Berita mengumpulkan sebanyak 32 media arus utama menyumbang 87 artikel populer. Konteksnya senada tentang BEM UI mencuitkan meme Presiden Joko Widodo. Varian sumbernya banyak, dari komentar pengamat sosial dan politik, direktur Lembaga Swadaya Masyarakat, ulama, ahli di Kantor Staf Presiden (KSP), hingga suara sesama BEM universitas, dan lainnya.

CNN Indonesia terbanyak dengan tujuh artikel populer. Ketika memuat berita dengan topik cuitan medsos BEM UI, redaksi tidak terkendala kesulitan. "Tantangannya relatif minim. Tidak ada yang signifikan. Tudingan (itu) harus dijawab dengan konfirmasi dari yang dituduh," kata Anugerah Perkasa, Redaktur Pelaksana CNN Indonesia. Dia mengaku belum puas dengan sebaran berita tersebut.

Ruang terbuka di media arus utama sudah dimasuki postingan media sosial (medsos). Berita laris seperti itu menunjukkan lazimnya praktik tersebut dalam jurnalisme Indonesia.

Rugi besar

"Jurnalisme kita kian buruk jika hanya mengutip dari media sosial, atau media lain, harusnya datang dan wawancara langsung ke narasumber utama. Praktik jurnalisme copas (copy-paste) sumber media sosial ini sangatlah menghamba pada clickbait industri informasi," kata Abdullah Khusairi, dosen komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.

Penulis buku Teologi Informasi: Refleksi Wacana Dan Literasi Media, terbitan JBS, Yogyakarta, 2020, menguraikan bahwa praktik itu justru kerugian besar bagi peran mendidik dalam jurnalisme. "Padahal, pers harusnya jadi guru bangsa. Alangkah naif, guru bangsa kita hari ini seperti itu praktiknya," ujar Khusairi.

Sponsored

Tidak ada yang salah dengan konten berita diolah dari postingan Twitter Tapi cuitan itu rawan jebakan di soal peraturan perundang-undangan.

"BEM UI mengkritik presiden, saya kira bagus dan penting sebagai peran mahasiswa yang kritis, tetapi melalui media sosial, sangatlah rawan terjebak dalam UU ITE (Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik)," tanggap Khusairi.

Pakar media memandang kebebasan tak boleh kebablasan. Ia menilai bahwa aksi turun ke jalan akan bagus untuk menyehatkan demokrasi, berbicara di media massa itupun suatu keharusan.

"(Tapi) media sosial tidak bisa menjamin keselamatan diri, karena kelemahan media sosial, swasensor tidak bisa diandalkan. Rawan sekali," katanya.

Bukan gampang

Menurut kamus terbitan Cambridge University Press, 2021, cuitan bermakna postingan untuk memublikasikan komentar singkat atau informasi di Twitter. Publikasi komentar singkat itu kemudian dikembangkan Detiknews, Tribunnews, portal CNN Indonesia, dan media lain.

"Kalau prinsip, sah saja unggahan media sosial jadi sumber berita. Yang penting alasannya, bukan hanya karena lebih gampang, tapi berita tetap harus disaring dengan melakukan pemeriksaan dan memeriksa ulang fakta yang akan disebarkan. Kuncinya itu, check and recheck. Kebanyakan berita-berita dari bahan unggahan medsos juga akan berkembang karena adanya tanggapan, komentar, dan relasi dengan pihak-pihak lain," kata Bari Muchtar melalui telepon, kepada Alinea.id, Kamis (1/7).

Pensiunan jurnalis Radio Nederland Wereldomroep itu menikmati hari tua santai di Kota Almere, Belanda. Sambil menggelar program rutin siaran radio Facebook mingguan di akunnya.

"Kita saat ini tidak lepas dari medsos, sebelumnya sudah ada citizen journalist di mana warga biasa bisa menjadi jurnalis. Akhirnya muncul medsos Facebook, Twitter, Instagram, dengan berbagai bentuk sekarang. Kalaupun sebagai jurnalis warga, prinsipnya tetap bertolak pada pemeriksaan fakta. Apalagi kini sudah era cross-media, di Facebook pun sudah banyak kesempatan misalnya siaran langsung video," ujar pria asal Lahat, Sumatra Selatan.

Selama 27 tahun berprofesi jurnalis, Bari merasakan perubahan besar saat dunia memasuki era internet. Setelah internet merebak, lalu muncul serbuan medsos.

"Medsos bisa mempengaruhi media arus utama dengan membuat konten demikian rupa sehingga media tertarik untuk memberitakan. Banjir informasi ialah fenomena baru, tinggal kita perlu menyaringnya," ucap alumni Universitas Al Azhar Kairo, yang pernah menjadi kontributor MetroTV di Belanda.

Menjadi jurnalis radio, dia dituntut agar bisa juga menulis. Radio Nederland Wereldomroep menyambut era internet lewat kursus menulis untuk para jurnalisnya, termasuk Bari, kepiawaian yang dikuasainya kini. Dia mengikuti arus berita bahwa Jokowi dijuluki 'The King of Lip Service' oleh BEM UI. "Karena media pula saya tahu soal cuitan BEM UI, yang sebelumnya tidak tahu itu apa," kata Bari.

Berita Lainnya
×
tekid