Media berkembang membawa pengaruh teknologi dalam jurnalisme kontemporer
Bagaimana teknologi bergerak di ruang jurnalisme? Bagaimana jurnalisme menyerap perkembangan zaman sekaligus juga mencoba mendinamisasikannya?
Pada sisi-sisi tertentu teknologi membawa berbagai pengaruh-pengaruh baru yang berkontribusi pada informasi yang positif tentu saja. Bagaimana media menjadi stimulan, dorongan, bahkan semangat sebagai akselerator perubahan?
Pembahasan tentang teknologi dalam jurnalisme pasti akan terkait dengan perkembangan media. Hal itu tergambarkan dari bagaimana evolusi jurnalisme bergerak merancang kehidupan masyarakat melalui babakan-babakan yang bisa dilihat dari tahun 60-an ada radio, kemudian beranjak ke dekade 1970 ketika mulai maraknya televisi hitam-putih.
Tahun 80-an ditemukan komputer yang jadi cikal-bakal bagaimana teknologi yang cukup signifikan ini memberi sebuah dampak. Dari komputer itu dilanjutkan tahun 90-an dan di sanalah internet bergerak menjadi bagian dari proses berkarya. Ketika internet ditemukan, terjadi ledakan-ledakan perubahan yang sangat signifikan di dalam dunia komunikasi termasuk jurnalisme sampai sekarang.
Pokok bahasan dari dialektika antara sejumlah pertanyaan dan berbagai jawaban itu diutarakan pengamat media Septiawan Santana Kurnia dalam webinar yang telah ditayangkan kepada publik. Septiawan mengarang buku Jurnalisme Kontemporer diterbitkan Yayasan Obor Indonesia pada 2005. Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung itu menyelesaikan disertasinya pada tahun 2013 dan tesisnya pada tahun 2006 pada program Pascasarjana Komunikasi di Universitas Padjadjaran.
"Bagaimana teknologi mempengaruhi jurnalisme dari sisi media di zaman old digambarkan ada televisi dan koran antara lain. Satu media bergerak kepada banyak audiens khalayak dan sifatnya linier. Dari satu titik ke titik lain, dari media ke khalayak."
"Saat teknologi berubah menjadi sesuatu yang baru, bisa dilihat arah yang tadinya linier menjadi lingkaran di mana semua berada dalam sebuah proses interaksi. Khalayak menjadi pembuat berita, media kadang menjadi berita itu sendiri. Tapi lingkaran khalayak berada dalam titik sentrum yang sangat signifikan sebagai sosok penting di dalam dunia informasi, pun kepada jurnalistik," katanya.
Menurut Septiawan, arus kecanggihan teknologi mendorong jurnalisme untuk bekerja lebih intens. Setiap peristiwa lebih dibuat secara intens laporan-laporannya. Prosesnya juga lebih cepat. Kalau satu dekade lalu, peristiwa hari ini baru bisa dibaca secara tuntas besok harinya lewat koran atau beberapa tahun lalu hanya lewat televisi.
Hal itu sekarang mulai menjadi menyempit sehingga tidak harus menunggu lagi sampai pagi besok harinya. Tapi peristiwa itu bisa langsung mulai diketahui namun tidak mendalam karena koran yang akan lebih mendalam memberitakannya. Dan juga lebih murah dan lebih mudah.
Teknologi informasi mendorong media jurnalistik lebih utuh dalam membawa interaksi sosial dan personal ketika berhubungan dengan khalayak.
"Media televisi pun mulai mendekati personal. Interaksi khalayak dengan pembuat berita bisa terjadi lewat telepon misalnya ketika seorang penyiar membacakan atau bercakap-cakap dengan khalayak yang ingin menanyakan sesuatu," ujarnya.
Ditambah dengan adanya internet, maka secara daring interaksi lebih jauh lagi intensnya, mendalamnya, juga lebih interaktif. Kontemporarisasi media kini membawa masyarakat menjadi semakin erat, cepat, padu, dan kompak. Orang menjadi tambah erat di dalam berhubungan, walaupun tentu ada dampak seperti banyak disebutkan.
"Dunia teknologi memberi keterbatasan kemanusiaan, jadi kemanusiawian itu menjadi berkurang karena orang berkomunikasi langsung akan punya daya jelajah lebih tinggi ketika secara personal. Namun lewat media tentu ada keterbatasan," ungkapnya seraya menyebutkan bahwa dibandingkan era sebelumnya, media kini membuat orang semakin erat.
"Saya dengan anda bisa langsung berhubungan lewat ponsel misalnya. Hal itu berdampak pada hubungan masyarakat yang semakin ketat ketika menangkap sebuah peristiwa. Kejadian yang paling terasa adalah pandemi Covid-19 ini, di belahan dunia manapun kita menjadi tahu, kita segera waspada, walaupun juga banyak masyarakat yang tetap tidak mematuhi protokol kesehatan," tambahnya.
Dikatakannya, dalam jangkauan sekian waktu yang tidak lagi hingga berhari-hari, kadang-kadang hitungannya menit, masyarakat sudah dikasih tahu adanya sebuah peristiwa. Lebih padu di dalam mengalokasikan gerakannya, bahkan juga bisa menekankan kekompakan tertentu. Saat ini seluruh dunia kompak untuk mengapungkan isu 3M: jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan. Seluruh dunia. Dalam hitungan yang tidak perlu lama.
Ini berbeda dengan zaman lalu ketika jurnalisme masih belum seperti sekarang. Tampilannya saja masih terwakili oleh seorang jurnalis menyelipkan bolpoin di telinga dengan berbagai perangkat jadul dan karakter-karakter khas yang dibawakannya.
"Ketika di masa lalu, media atau teknologi belum seperti sekarang ini, untuk membuat laporan orang memakai mesin ketik. Rokok tentu saja menjadi sebuah ciri di zamannya. Sekali lagi di zaman sekarang tidak. Ruang redaksi tidak penuh atau panas lagi. Tentu saja orang bisa menyatakan bahwa masa lalu lebih indah. Tapi saya ingin menggambarkan inilah dunia jurnalisme masa lalu dari sisi reportase. Media hanya TV, koran, dan radio," tuturnya.
Perubahan terjadi begitu saja sewaktu dunia memasuki fase jurnalisme kontemporer. Tergambarkan jurnalisme kontemporer itu tidak lepas dari laptop, tab, ada layar televisi, dan sebagainya. Semua berita ada di dalam satu medium, yaitu berupa layar.


