sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

15 tahun pemerintah tetap tak bernyali ungkap kasus Munir

Selama ini, calon pemimpin negara hanya menjadikan pengusutan HAM sebagai komoditas politik saat ingin menjadi pemimpin.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Jumat, 06 Sep 2019 16:38 WIB
15 tahun pemerintah tetap tak bernyali ungkap kasus Munir

"Aku harus bersikap tenang walaupun takut, agar membuat semua orang tidak takut". 

Begitulah sepenggal kutipan pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib yang tersohor. Kutipan yang mengisahkan perjuangan Munir dalam memperjuangkan HAM seakan terus hidup, sekali pun tokoh kelahiran Jawa Timur tersebut telah berpulang 15 tahun lalu. 

Munir, ikon pejuang HAM yang dalam kenangan memiliki semangat besar dalam membela kaum yang tertindas, meninggal pada tahun 2004. Ia diracun dalam perjalanannya hendak studi ke Belanda. 

Esok Sabtu, 7 September adalah peringatan hari kematian 15 tahun Munir. Selama ini, kematian Munir masih berselimut misteri.

Memang, pilot pesawat Garuda Indonesia, maskapai yang ditumpangi Munir dalam perjalanan menuju Belanda telah dihukum penjara. Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi orang yang bertanggung jawab atas kematian Munir. 

Sang istri Suciwati pun masih tetap vokal menyuarakan kasus sang suami. 

Dalam acara Kamisan yang diselenggarakan sejumlah pegiat HAM dan masyarakat pada Kamis (5/9), Suciwati menilai pemerintah tidak bernyali untuk menyeret pelaku intelektual kasus pelanggaran HAM ke pengadilan.Alinea/Akbar Ridwan

Dalam acara Kamisan yang diselenggarakan sejumlah pegiat HAM dan masyarakat pada Kamis (5/9), Suciwati menyebut, pemerintah tidak bernyali untuk menyeret pelaku intelektual kasus pelanggaran HAM ke pengadilan. Tidak hanya merujuk pada kasus yang menimpa suaminya, tapi juga sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.  

Sponsored

Sekali pun pemerintah dinilai tidak bernyali, Ia mengaku akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi setiap orang yang menjadi korban pelanggaran HAM. Bahkan ia meminta agar para pegiat HAM tidak gentar, sekali pun risikonya adalah menanggung kematian. 

"Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka kita harus tetap menghadapinya dan kehidupan tidak pernah berhenti. Air mata kepedihan tidak akan pernah bisa mengembalikannya," kata Suciwati. 

Berita Lainnya
×
tekid