sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ada 3 kemungkinan pemicu teror di Lemban Tongoa Sigi

Salah satu di antaranya, menurut CIIA, bukan dilakukan MIT. Namun, demi kepentingan lebih besar soal isu terorisme Poso.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 30 Nov 2020 08:53 WIB
Ada 3 kemungkinan pemicu teror di Lemban Tongoa Sigi

Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menilai, ada tiga kemungkinan penyebab terjadinya aksi teror di Dusun Tokeleme, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng). Dua di antaranya mengarah kepada kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.

Pertama, untuk bertahan hidup (survive). MIT membutuhkan logistik makanan yang diperoleh dari santunan warga setempat yang berada di dekat lokasi persembunyian atau mengambil sendiri dengan cara ilegal.

MIT juga perlu jaminan keamanan bagi keselamatan kelompoknya yang menjadi buronan aparat. Ketika terancam, faktor logistik dan keamanan bisa memicu tindakan kekerasan terhadap sumber ancaman. “Ini dominan soal bertahan hidup," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (30/11).

Karenanya, MIT menuding semua pihak bisa menjadi sumber ancaman, terutama warga setempat yang dianggap sebagai informan kepada aparat. “Jalan pintasnya dieksekusi,” ujar Harits.

Asumsi ini muncul mengingat aparat membunuh dua anggota MIT, beberapa pekan lalu. Itu memicu kelompok ekstremis tersebut mencuriga salah satu keluarga dari warga setempat menjadi informan. “Ini sangat mungkin memicu dendam," jelasnya.

Karenanya, aparat diminta menggali kemungkinan adanya konflik pribadi antara keluarga korban dengan pelaku. Pangkalnya, MIT tergolong melakukan "aksi bunuh diri" apabila perbuatan keji itu dilakukan dengan motif mengirim pesan bahwa kelompoknya eksis lantaran menjadi jejak dan memudahkan petugas memetakan serta melakukan penyekatan agar ruang geraknya semakin sempit.

Dugaan kedua, teror dilakukan MIT sebagai pengalihan atau mengelabuhi aparat. "Dengan kata lain, aksi pembantaian (beberapa orang saja itu) sebagai 'exit door' agar bisa bergeser ke tempat yang lebih aman menurut mereka,” papar Harits.

Kemungkinan terakhir, imbuh dia, aksi pembantaian tidak dilakukan MIT. Namun, demi kepentingan lebih besar tentang isu terorisme di Poso. "Ini sekadar hipotesa, perlu elaborasi lebih mendalam biar terang benderang."

Sponsored

"Di luar itu semua, muncul tanda tanya besar, operasi perburuan teroris di Poso sudah digelar berjilid-jilid, bertahun-tahun, negara punya polisi dengan Brimob dan Densus 88-nya, di backup TNI yang punya pasukan Raider, pasukan khusus (Komando) di tiap angkatan, bahkan sekarang punya Koopsus,” urainya.

"Dengan logistik melimpah dan dukungan politik yang cukup, bahkan ada BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang juga bekerja di Poso, lantas untuk memburu sekitar 10 orang kenapa jadi berlarut-larut? Kapan saatnya Poso, rakyatnya bisa damai dan normal menjalani hidupnya? Siapa yang peduli?” tandas Harits.

MIT di bawah kendali Ali Kalora dikabarkan membakar sebuah rumah dan membunuh satu keluarga di Desa Lemban Tongoa, Jumat (27/11). Imbasnya, sekitar 40 kepala keluarga (KK) telah mengungsi karena ketakutan.

Berdasarkan keterangan saksi warga setempat, para pelaku berjumlah 10 orang dan membawa senjata api. Mereka melakukan aksi dengan membakar tujuh rumah dan membunuh empat orang. Empat jenazah korban ditemukan dalam kondisi tewas dipenggal, dipotong, dan dibakar.

Personel tambahan telah dikerahkan untuk melakukan peningkatan pengamanan di sekitar lokasi kejadian. Sekitar 100 orang aparat gabungan dari Satuan Tugas (Satgas) Tinombala, Brimob Polda Sulteng, dan TNI kini melakukan pengejaran terhadap para pelaku.

Di sisi lain, isu Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme kembali bergulir pascainsiden di Sigi. Padahal, menuai gelombang protes dari berbagai kalangan sejak diwacanakan 2 tahun silam.

Berita Lainnya
×
tekid