sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Aksi teror tak surut saat pandemi

Tercatat ada dua teror yang terjadi sepanjang Maret 2021.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Kamis, 01 Apr 2021 17:17 WIB
Aksi teror tak surut saat pandemi

Dor! Dor! Dor! Enam desing mesiu terhempas dari moncong senjata terdengar di Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (31/3). Seluruhnya mengarah ke petugas jaga di pos gerbang utama. Senja di Mabes Polri pun berubah menjadi mencekam.

Sekalipun seorang pelaku, yang belakangan diketahui berinisial ZA (25), meninggal di tempat dan tiada anggota yang terluka, aparat bersenjata lengkap tetap berjaga. Rekan ZA dilaporkan melarikan diri dan belum terekspose hingga kini.

Kengerian tersebut merupakan yang kedua pada Maret 2021. Kondisi lebih mencekam terjadi akhir pekan sebelumnya, Minggu (28/3). Kala itu, pasangan suami-istri milenial melakukan bom bunuh diri di depan pintu gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Keduanya tewas seketika.

Sejurus kemudian, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menggelar serangkaian operasi penangkapan terduga teroris yang disinyalir berhubungan dengan aksi bom bunuh diri di Makassar. Seiring waktu, sekitar 23 orang dibekuk. Salah satunya W, yang diduga sebagai dalang pembuatan bom.

Kedua insiden tersebut menandai gerakan ekstremisme tak mengendur saat pandemi Covid-19. Seluruhnya pun disebut berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daullah (JAD).

Seluruh insiden itu juga bukan isu terorisme pertama yang mencuat pada 2021. Ini tecermin dari beberapa operasi penangkapan terduga teroris.

Sepanjang Januari hingga awal Maret, Densus 88 telah melakukan sejumlah operasi penangkapan. Pertama, menggerebek 19 terduga teroris di Sulsel pada 6 Januari, dua orang di antaranya meninggal dunia di lokasi kejadian.

Pada 20-21 Januari, pasukan elite "Korps Bhayangkara" kembali beraksi di Aceh dan mengamankan lima terduga teroris. Seorang di antaranya berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Sponsored

Kelimanya diduga terlibat dalam jaringan bom Polrestabes Medan dan pembuatan bom jaringan teroris yang diamankan di Riau. Mereka juga dikabarkan hendak membuat bom untuk aksi di "Serambi Makkah" dan berencana bertolak ke Afghanistan untuk bergabung dengan ISIS.

Densus 88 kembali meringkus dua terduga teroris di Bangka Belitung (Babel), 4 Februari. Keduanya disebut bagian dari jaringan kelompok JAD dan Jamaah Ansharut Khilafah (JAK).

Medio Februari, giliran tiga terduga teroris di Kalimantan Barat (Kalbar). Masing-masing ditangkap di lokasi berbeda.

Penangkapan dilanjutkan di Jawa Timur (Jatim), khususnya Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Malang, pada akhir bulan kedua. Sebanyak 12 terduga teroris diamankan karena disinyalir bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan berkaitan dengan Upik Lawanga.

Operasi di Jatim dilanjutkan pada awal Maret dan berhasil menciduk 10 terduga teroris. Seperti sebelumnya, mereka juga diduga bagian jaringan JI dan terkait Upik Lawanga.

Pasukan kontra-terorisme ini lalu menangkap 20 orang di Sumatera Barat (Sumbar) dan Sumatera Utara (Sumut) serta 2 orang di Jakarta, beberapa hari lalu. Operasi tersebut merupakan hasil pengembangan di Jatim.

Operasi itu pun menjadi sorotan. Berdasarkan pantauan Alinea sepanjang 1 Januari-22 Maret 2021, terdapat 914 media daring dengan 6.022 artikel.

detikcom berada di posisi pertama karena membuat 161 berita. Peringkat kedua dan seterusnya ditempati Suara.com (137 berita), Tribunnews.com (113 berita), medcom.id (102 berita), KOMPAS.com (91 berita) Tribunnews Makassar (90 berita), Okezone.com (81 berita), Sindonews (77 berita), ANTARA Papua (74 berita), dan ANTARA (68 berita).

Sementara itu, Karopenmas Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono, menjadi pemengaruh teratas (top influencer) lantaran paling banyak dikutip media dengan 4.958 pernyataan. Urutan kedua ditempati Kapolda Sulsel, Irjen Merdisyam, dengan 1.872 pernyataan; lalu Kabag Penum Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan (1.473 pernyataan); dan Kabid Humas Polda Jatim, Gatot Repli Handoko (1.222 pernyataan).

Selanjutnya Kavid Humas Polri, Argo Yuwono dan Wakapolda Jatim, Slamet Hadi Supraptoyo (masing-masing 696 pernyataan); Kabid Humas Polda Kalbar, Donny Charles Go (630 pernyataan); Kapolrestabes Makassar, Witnu Urip Laksana (589 pernyataan); Kabid Humas Polda Sumut, Hadi Wahyudi (587 pernyataan); serta bekas kuasa hukum Front Pembela Islam (FPI), Aziz Yanuar (405 pernyataan).

Munculnya Aziz Yanuar dalam isu ini dimotori banyak anggota FPI yang diamankan Densus 88 karena diduga menjadi anggota teroris. Dalam pernyataannya, dia membantah ormas Islam yang dibesut Rizieq Shihab tersebut terlibat dengan terorisme.

Jaringan terorisme

Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), terdapat tiga jaringan besar terorisme di Indonesia, yakni JAD, JI, dan JAK. Mereka tersebar di delapan provinsi, yaitu Aceh, Sumut, Banten, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jatim, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi Tenggara (Sulteng).

BNPT pun mencatat, 1.250 warga negara Indonesia (WNI) terpapar paham ekstremisme melalui media sosial ataupun secara langsung yang mempengaruhi pola pikir. Mereka telah berangkat ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

"Perekrutan ... terus berjalan selama pandemi Covid-19. Dari 200 sekian yang tertangkap di masa pandemi, dapat dikatakan ada 30% background dari jaringan sebelumnya," tutur Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, 12 Desember 2020.

Selama 2020 hingga awal Desember tahun lalu, 232 terduga teroris berhasil ditangkap. Mereka didominasi anggota JAD dan JI.

Terpisah, pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas NH Kertopati, menyatakan, perlu analisis secara menyeluruh menilai kejadian teror. "Jadi, probabilitas bisa saja ada hubungan atau tidak sama sekali dengan penangkapan teroris secara massal di Sulsel," katanya kepada Alinea.id, kemarin.

Dia menerangkan, insiden bom bunuh diri di Katedral Makassar tentu sinyal kelompok teror ingin menunjukkan eksistensinya. Karenanya, aparat keamanan harus mengenali embrio dan masalah dasar (core problem) kaum teroris jika ingin menumpasnya.

"Berbagai hal (embrio dan masalah dasar) bukan hanya masalah ideologi, ekonomi saja, tapi bisa politik, sosial budaya," ucap Nuning, sapaannya.

Di sisi lain, Nuning melanjutkan, militer di seluruh dunia secara akademis juga bertugas menghadapi terorisme. Namun, implikasi penanggulangannya oleh tentara dan polisi berbeda perspektif hukum mengingat terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau publik.

"Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata. Jika terorisme mengancam keselamatan presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI," paparnya.

Jenis senjata dan bom yang digunakan teroris pun masih tergolong konvensional. Dengan demikian, masih menjadi kewenangan Polri.

"Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia, dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI," tuturnya.

Menurutnya, rezim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum selain subjek ancaman teror dan jenis senjata. Apabila teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi.

TNI baru menanggulangi aksi teror jika rezimnya adalah hak berdaulat. "Ini penting untuk diketahui sehingga kedudukan siapa yang menangani dapat diterapkan dengan tepat," tandas Nuning.

Berita Lainnya
×
tekid