sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Akui tak ideal, KY tolak usul seleksi ulang hakim ad hoc HAM

KY telah menyerahkan tiga calon hakim ad hoc HAM ke DPR untuk mengikuti fit and proper test dan ditetapkan.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Senin, 06 Feb 2023 11:58 WIB
Akui tak ideal, KY tolak usul seleksi ulang hakim <i>ad hoc</i> HAM

Komisi Yudisial (KY) buka suara atas adanya kritik dalam seleksi calon hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA). Sebanyak 3 nama telah disetorkan ke DPR untuk selanjutnya mengikuti fit and proper test dan ditetapkan.

Juru bicara KY, Miko Ginting, mengakui seleksi tersebut tidak berjalan ideal. Sebab, pendaftar terbatas sekalipun tahapan penjaringan sudah dilakukan semaksimal mungkin.

Dirinya mengungkapkan, mulanya hanya ada 4 pendaftar. KY lantas memperpanjang masa pendaftaran sehingga mendapat 15 pendaftar.

"Setelah seleksi administrasi, hanya 13 pendaftar yang lulus dan dari 13 pendaftar tersebut ada 3 calon yang mengundurkan diri. Dari 10 calon, pada tahap seleksi kualitas, hanya 6 calon yang dinyatakan lulus ke tahap berikutnya," tuturnya.

Seleksi kualitas melingkupi seleksi kesehatan, kepribadian, dan penelusuran rekam jejak. Kemudian, ditetapkan 5 dari 6 calon yang dinyatakan berhak mengikuti tahapan wawancara. Lalu, tiga kandidat disetor ke DPR, yakni AKBP AKBP Harnoto, Heppy Wajongkere, dan M. Fatan Riyadh
 
Miko melanjutkan, KY dibatasi jangka waktu seleksi maksimal 6 bulan. Di sisi lain, kejaksaan telah mengajukan kasasi atas vonis bebas terdakwa kasus Paniai pada putusan tingkat pertama.

Atas dasar itu, menurut dia, tidak ada pilihan selain menyediakan hakim pada tingkat kasasi melalui seleksi ini oleh KY. "Guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban," katanya.

Meskipun demikian, Miko mengklaim, KY menerapkan mekanisme dan standar seleksi selayaknya seleksi calon hakim agung, terutama integritas, dalam seleksi calon hakim ad hoc HAM tersebut.

"Untuk itu, kritik terhadap calon ini mesti dikerangkakan dalam kerangka persoalan yang lebih besar, yaitu minimnya ketersediaan calon, terutama calon yang kompeten dan berintegritas," ucapnya.

Sponsored

"Salah satu yang ditengarai menjadi penyebab adalah syarat dalam undang-undang terkait usia minimal calon, yaitu 50 tahun. Batas usia ini menyebabkan calon-calon potensial tetapi belum sampai batas usia tersebut tidak bisa mendaftar," imbuhnya.

Menurut Miko, persoalan lain yang lebih struktural adalah ketidakpastian perkara yang akan ditangani. Hingga kini hanya ada satu perkara, kasus Paniai.

"Itupun hanya dengan satu terdakwa yang akhirnya diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama. Padahal, selama menjabat sebagai hakim ad hoc HAM di MA, calon yang bersangkutan tidak bisa atau sangat terbatas untuk menjalankan profesi lain," ungkapnya.

Persoalan lain yang kerap muncul dari para calon, kata Miko, adalah insentif. KY hingga kini belum mendapatkan informasi peraturan presiden (perpres) tentang insentif dan fasilitas bagi hakim ad hoc HAM di MA.

"Tiga persoalan pokok di atas adalah persoalan struktural yang terdapat dalam regulasi dan proses penegakan hukum secara faktual. KY berpandangan, jikapun seleksi diulang kembali, yang dengan demikian KY juga melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal 6 bulan. Apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?" paparnya.

"Dengan berbagai persoalan yang menyebabkan minimnya calon untuk mendaftar sementara perkara sudah diajukan ke tingkat kasasi, maka KY mesti memutuskan untuk memilih calon yang terbaik dari yang ada. Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda," tandas Miko.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebelumnya meminta KY tak meloloskan calon hakim ad hoc HAM yang memiliki pengetahuan minim terhadap mekanisme pengadilan HAM serta HAM secara keseluruhan. Lalu, mempertimbangkan melakukan proses rekrutmen hakim ad hoc HAM demi mendapatkan kandidat yang kredibel.

Kedua rekomendasi tersebut diajukan lantaran KontraS meragukan kualitas dan pemahaman para calon hakim ad hoc usai menyaksikan proses wawancara terbuka hingga pemantauan kepada para kandidat sejak 30 Januari-2 Februari 2023. Buruknya kualitas calon akan berdampak signifikan pada persidangan yang akan berjalan, terutama kasasi perkara Paniai.

Ada beberapa temuan KontraS terkait kualitas itu dalam seleksi calon hakim ad hoc HAM. Pertama, minimnya pengetahuan para kandidat tentang pengadilan HAM bahkan beberapa belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran HAM dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 dengan pelanggaran HAM berat dalam UU Pengadilan HAM.

Kedua, mendapati adanya calon hakim ad hoc HAM yang mendukung penyelesaian pelanggaran HAM berat secara nonyudisial. Artinya, mengeyampingkan pencarian dan akses korban terhadap kebenaran dalam kasus pelanggaran HAM berat. Ketiga, terdapat calon yang memiliki rekam jejak buruk, seperti merekayasa dokumen kelengkapan pendaftaran hakim.

Berita Lainnya
×
tekid