close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Komite Pengarah Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) Din Syamsuddin. Foto Antara/Reno Esnir
icon caption
Ketua Komite Pengarah Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) Din Syamsuddin. Foto Antara/Reno Esnir
Nasional
Jumat, 07 Agustus 2020 20:03

Alasan Din Syamsuddin mengkritik Undang-Undang Corona

UU tersebut memangkas kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan penggunaan APBN
swipe

Ketua Komite Pengarah Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) Din Syamsuddin menyebut, Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik Covid-19, mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi wabah Covid-19. Pasalnya, UU tersebut mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk stimulus perekonomian daripada penanganan Covid-19.

“(UU tersebut) ujung-ujungnya membantu korporasi. Termasuk BUMN yang sesungguhnya sebelum Covid-19 sudah mengalami defisit. Atas dasar itulah, saya secara pribadi mengusulkan UU tersebut layak disebut sebagai UU tentang Manipulasi Corona,” ujar Din dalam diskusi virtual, Jumat (7/8).

Jika ditilik dari segi anggaran, total anggaran penanganan Covid-19 yang disiapkan pemerintah sekitar Rp900 triliun. Sayangnya, hanya sebesar Rp87,7 triliun yang dialokasikan ke sektor kesehatan. Ironisnya lagi, kata Din, Kementerian Kesehatan hanya menerima Rp25 triliun. Imbasnya, masyarakat turut dibebani biaya menjaga dirinya dengan melakukan rapid test hingga swab test mandiri.

“Secara teoritis, kita tidak bisa menanggulangi pandemi ini dengan dana atau anggaran sekian. Tetapi (mengapa) ketika ada uang, justru tidak untuk mengatasi krisis itu sendiri, berfokus pada penanggulangan pandemi (itu sendiri),” kata Din.

Ia mengkritik UU tersebut karena memangkas kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan penggunaan APBN. Menurut Din, penentuan anggaran berada di tangan pemerintah melanggar konsitusi. Dalam perspektif demokrasi, DPR berfungsi sebagai perwakilan rakyat yang memiliki hak terhadap anggaran.

“Harusnya pengeluaran anggaran dan lain sebagainya diketahui rakyat. Jangan sampai diam-diam ternyata hutang menumpuk. Rakyat yang menanggung beban. Akhirnya, besar pasak daripada tiang,” ucapnya.

Di sisi lain, UU tersebut menghilangkan esensi negara hukum karena memberikan impunitas terhadap pejabat tertentu di bidang keuangan karena tidak bisa digugat.

“Mereka akan bisa semena-mena. Ini sungguh menghilangkan esensi negara negara hukum,” tutur Din.

Juga dianggap sebagai upaya mengkristalkan kediktatoran dalam konstitusi. Pasalnya UU tersebut menabrak 12 UU. Tak terkecuali, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan