sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bahaya lupa corona di destinasi wisata

Jika tidak diawasi dengan ketat, lokasi-lokasi wisata potensial menjadi klaster penularan Covid-19.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 12 Nov 2020 17:35 WIB
Bahaya lupa corona di destinasi wisata

Bersama sobatnya, Eman, Muhammad Herudin bergegas melangkah ke arah Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua, Jakarta, Minggu (8/11) petang sekitar pukul 17.00 WIB. Belum sampai gerbang museum, kedua pemuda asal Lampung itu diadang petugas.  

"Batasnya sampai jam 5. Jadi, setelah jam 5, kawasan Kota Tua harus steril dari pengunjung," ujar Fathudin, salah satu anggota Satgas Covid-19 yang disiagakan di kawasan itu

Ogah langsung pulang setelah menempuh perjalanan jauh, Herudin dan Eman memilih pelesiran di sekitar kawasan museum. "Lagi pula udah telanjur dateng. Jadi, ya cari-cari tempat sekitaran sini aja," ucap Herudin kepada Alinea.id.

Keduanya mengaku tak tahu jam berkunjung di kawasan Kota Tua dibatasi. Yang mereka tahu Kota Tua sudah kembali dibuka untuk pengunjung. "Ya, saya sih melihatnya pemerintah sudah enggak terlalu ngetatin pandemi," ujar Herudin. 

Meskipun kawasan museum sudah steril, hingga menjelang malam pengunjung masih memadati jalanan di sekitar kawasan Kota Tua. Sebagian terlihat berkerumun di lapak pedagang dan minuman yang berjejer di sisi timur Kali Besar, Kota Tua. 

Tak seperti di akses masuk Kota Tua, tidak tampak petugas yang mengatur dan mengawasi pengunjung di lapak-lapak pedagang. Protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah selama pandemi Covid-19 seolah diabaikan. 

"Kalau di dalam (kawasan Museum Fatahillah) itu bisa lebih diatur karena ada petugas yang ngawasin supaya tidak berkerumun dan ngingetin supaya pakai masker yang bener," ucap Rico, salah satu pengunjung Kota Tua, kepada Alinea.id

Rico baru saja tuntas mengunjungi Museum Fatahillah. Ia sudah setahun bekerja di Jakarta. Sejak wabah Covid-19 merebak, baru kali ini Rico berani jalan-jalan ke museum. "Mau bagaimana lagi? Paling kita jaga-jaga aja sebisa mungkin," ujar pemuda asal Madiun, Jawa Timur itu.  

Sponsored

Kota Tua mulai kembali ramai dikunjungi wisatawan sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi diberlakukan di DKI Jakarta, Oktober lalu. Beberapa bulan sebelumnya, Pemprov DKI juga telah membuka Taman Impian Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, dan Taman Margasatwa Ragunan, Kepulauan Seribu. 

Di luar Jakarta, pemerintah juga membuka kembali lokasi wisata alam di 270 kabupaten dan kota di zona hijau dan kuning Covid-19. Destinasi wisata diperbolehkan kembali dibuka asalkan pengelola dan pengunjung mematuhi protokol kesehatan. 

Meski begitu, menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, masih banyak wisatawan yang mengabaikan protokol kesehatan saat berwisata. Hal itu diketahui dari laporan yang masuk ke Gugus Tugas Covid-19. 

"Dari liburan kemarin saja, ada 500 laporan per detik orang yang liburan tidak patuh 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak). Sebenernya kan kalau diperbolehkan buka, mestinya (tempat wisata) siap untuk menaati protokol kesehatan," ujarnya kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Wiku mengatakan, pemerintah dalam posisi dilematis saat membuka kembali destinasi wisata untuk pengunjung. Di satu sisi, banyak orang yang bekerja di sektor pariwisata yang terdampak pandemi. Publik pun jenuh dan butuh liburan.

Di sisi lain, menurut Wiku, warga justru kerap lupa diri saat tengah berlibur. Ia khawatir abainya para wisatawan dalam menjalankan protokol kesehatan bisa memicu lahirnya klaster-klaster penularan Covid-19 dari lokasi wisata. 

"Harus balance. Semisal pariwasata mati, wah, itu kan banyak orang yang bekerja di sektor itu dan dia ngotot pengin buka. Kalau enggak (dibuka), bisa mati betulan dia. Tapi, ketika kita dibilang boleh buka, mereka harus betul-betul siap," ujarnya.

Kawasan kota tua. Foto Instagram @wisatakotatua

Perketat pengawasan destinasi wisata

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan mengatakan banyak pengelola tempat wisata yang abai menegakkan protokol kesehatan saat pengunjung membeludak. Ia mencontohkan maraknya laporan pelanggaran protokol kesehatan saat libur panjang akhir Oktober lalu. 

"Libur panjang kemarin memang menjadi salah satu momentum puncak bagi stakeholders di Indonesia baik di pusat maupun daerah untuk melupakan Covid-19. Adanya kelupaan yang sepertinya disengaja ini membuat pengelola tempat usaha juga tidak terlalu mempedulikan protokol kesehatan," ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (8/11).

Menurut Satria, ada banyak faktor yang menyebabkan protokol kesehatan kerap diabaikan publik, baik saat berwisata maupun tidak. Ia mencontohkan deretan komunikasi publik yang buruk oleh elite-elite pejabat di pusat dan gembar-gembor kehadiran vaksin Covid-19. 

"Perlu juga di-clear-kan tentang vaksin yang beritanya naik-turun. Berita vaksin turut membuat masyarakat meremehkan Covid-19. Saya kira (pemerintah) juga harus ada konferensi pers lagi untuk mencegah libur panjang Desember (memunculkan klaster baru penularan)," kata dia. 

Satria meminta agar pemerintah memperketat protokol kesehatan di lokasi wisata, khususnya di destinasi wisata nonalam. Berkaca pada gelombang pandemi kedua di Eropa, ia khawatir, klaster-klaster pariwisata memperparah pandemi Covid-19 di Indonesia. 

Sebagai salah satu solusi, Satria menyarankan pengelola destinasi wisata menggunakan bantuan citra satelit untuk melacak kerumunan. "Bisa dikerahkan melalui Satpol PP untuk menertibkan dengan bantuan citra satelit atau GPS untuk melacak daerah-daerah mana saja yang ramai," kata dia. 

Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengatakan, pemerintah tidak memberikan izin berwisata di tengah pandemi. Apalagi, jumlah kasus harian Covid-19 belum juga turun hingga kini. 

"Liburan itu untuk menggairahkan pariwisata. Padahal, itu berisiko untuk penularan. Jadi, banyak kebijakan kita yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip memutus rantai penularan," ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (1/11).

Pembukaan destinasi wisata, menurut Windhu, kian menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan penyelamatan ekonomi ketimbang kesehatan masyarakat. Apalagi, publik masih belum sepenuhnya taat terhadap protokol kesehatan. 

Agar destinasi wisata tidak memunculkan klaster-klaster baru, Windhu menyarankan supaya libur panjang ditunda. "Bukan depan bakal ada libur panjang lagi sama pilkada. Kalau belum siap atau kasus harian masih tinggi, lebih baik dialihkan saja ke tahun depan," kata dia. 

Ilustrasi wisatawan. /Foto Freepik

Sanksi tegas bagi pelanggar 

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian meminta agar pemerintah serius mengawasi penegakan protokol di destinasi wisata. Apalagi, peningkatan jumlah kasus harian kerap terjadi setelah libur panjang, semisal usai libur Idul Fitri, Idul Adha, dan Hari Kemerdekaan.

Sebagai salah satu solusi, ia menekankan pentingnya sosialisasi serta sertifikasi cleanliness, health, safety and environmental sustainability (CHSE) di destinasi-destinasi wisata. 

"Selain untuk mencegah penyebaran Covid-19, CHSE juga penting untuk mengembalikan kepercayaan wisatawan karena saat ini kecenderungan wisatawan akan mencari destinasi wisata yang aman dan bersih untuk menghindari penyebaran Covid-19," ujar Hetifah kepada Alinea.id

Hetifah mengakui pengelola wisata masih beradaptasi untuk menghadirkan lokasi wisata yang nyaman dan aman dari Covid-19. Meski begitu, pengawasan tidak boleh kendor. Ia pun menyarankan sanksi tegas bagi para pelanggar protokol kesehatan di lokasi wisata. 

"Sanksi tegas, baik terhadap manajemen destinasi wisata maupun pengunjung, dapat memberikan efek jera dan perbaikan ke depannya," jelas Hetifah. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Anggota Komisi IX Kurniasih Mufidayati mendorong agar sektor pariwisata mencontoh sektor perhubungan udara yang memberlakukan kartu kewaspadaan elektronik (electronic health alert card/e-HAC). Kartu itu didesain untuk mengurangi risiko penularan Covid19.

"Sayangnya, ini baru diberlakukan di bandara. Tempat-tempat akses transportasi lain termasuk tempat wisata seharusnya menerapkan kebijakan berlapis sebelum bepergian melalui e-HAC tersebut," ucap Kurniasih. 

Penggunaan e-HAC di tempat wisata, menurut Kurniasih, bisa sedikit mengurangi potensi penularan Covid-19 di tempat wisata. "Yang sering tidak terawasi adalah masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi. Maka, screening lewat e-HAC ini bisa dilakukan di tempat-tempat tujuan wisata,"ujarnya.

Lebih jauh, ia masyarakat menahan hasrat berwisata saat liburan. Apalagi, ada banyak klaster keluarga yang muncul setelah salah satu anggota keluarga terinfeksi usai liburan. 

"Untuk masyarakat, mungkin bisa lebih memprioritaskan kesehatan keluarga dan kerabat," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. 

Berita Lainnya
×
tekid