sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Benang kusut jerat hukum truk over dimensi

Pengemudi truk over dimensi kini bisa dijerat pidana.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Senin, 30 Nov 2020 18:01 WIB
Benang kusut jerat hukum truk over dimensi

Dosen hukum pidana Universitas Nusa Cendana Bernard L Tanya jadi tamu spesial dalam rapat kelompok kerja perumusan peraturan Kepala Korlantas Polri di Fave Hotel, Cililitan, Jakarta Timur, pertengahan November lalu. Sukses membantu kepolisian menjerat pemilik truk over dimensi pada 2019, argumentasi hukum Bernard dipandang penting untuk dijadikan rujukan Korlantas. 
  
"Saya diminta untuk membaca Pasal 277 itu. Setelah kami pelajari dan saya baca pasal itu berserta kepentingan hukumannya, saya lihat memang secara eksplisit tidak menyasar pengguna," ujar Bernard saat ditemui Alinea.id di lobi Fave Hotel, Cililitan, Minggu (15/11).

Pasal yang dimaksud Bernard ialah Pasal 277 pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pada intinya, pasal itu memuat sanksi pidana 1 tahun dan denda Rp24 juta terhadap mereka yang merakit atau memodifikasi kendaraan yang menyebabkan perubahan tipe kendaraan tersebut. 

Pada pasal 50 UU yang sama berbunyi, "Uji tipe wajib dilakukan bagi setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor dan/atau dirakit di dalam negeri serta modifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan uji tipe." Itu artinya kendaraan yang dimodifikasi tanpa uji tipe lagi melanggar aturan. 

Bernard mengisahkan, ia diminta Satlantas Polrestabes Semarang jadi saksi ahli di persidangan kasus pelanggaran truk over dimensi, tahun lalu. Ketika itu, penyidik Polrestabes Semarang kebingungan mencari dalil hukum menjerat pengemudi sebuah truk over dimensi.

Perkara itu bermula saat Satlantas Polrestabes Semarang menilang kendaraan jenis truk Hino Light Truk Box bernomor polisi A 9169 ZB yang melanggar lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman, Semarang pada 4 Desember 2019. Setelah diperiksa, ditemukan ada perbedaan ukuran dimensi fisik truk dengan yang tertera di buku KIR.

Dari hasil penyelidikan, polisi menemukan bahwa truk tersebut ternyata dimodifikasi oleh sebuah karoseri di Banten. Modifikasi tersebut tidak diuji lagi tipenya oleh dealer dan karoseri. Di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), truk itu tidak terdaftar dan tidak mengantongi Sertifikat Register Uji Tipe (SRUT).

Truk langsung diserahkan kepada pemilik dan digunakan keperluan bisnis angkut jasa niaga barang perabotan rumah tangga hingga akhirnya tertangkap di Semarang. Penyidik menduga terjadi tindak pidana pelanggaran over dimensi di antara pemilik kendaraan, dealer, dan pihak karoseri.

 

Sponsored

 

Namun demikian, kasus itu sulit dilanjutkan karena terganjal Pasal 277 UU LLAJ. Secara tekstual, pasal itu mengatur jerat hukum kepada pihak yang membuat dan merakit kendaraan hingga over dimensi. Pengguna atau pemilik tidak secara eksplisit bisa dijerat.

"Memang, pasal (277) itu kalau dibaca tekstual, maka locus delicti kembali ke tempat pembuatan. Sebenarnya Polrestabes Semarang sudah cari sejumlah ahli. Tapi, sempat ditolak jaksa karena argumentasinya tidak ketemu nalar sehingga perkara ini tidak kunjung P-21," tutur Bernard. 

Selaku saksi ahli, Bernard kemudian menyusun argumentasi hukum untuk menjerat pengguna atau pemilik kendaraan dalam kasus itu. Setidaknya ada enam pokok argumentasi hukum yang dikemukakan Bernard di persidangan. 

Argumentasi hukum utama Bernard menyangkut frasa "yang dioperasikan di dalam negeri" pada Pasal 277. Menurut dia, kata "dioperasikan" terang-benderang merujuk pada pihak yang menggunakan kendaraan over dimensi di ruang lalu lintas jalan.

"Bila kendaraan over dimensi itu hanya jadi pajangan semata, sebenarnya tidak masalah dan pasal 277 jadi tidak berlaku. Alasannya, kendaraan tersebut tidak dioperasikan di ruang lalu lintas jalan dan tidak akan mengganggu lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamet, tertib, dan lancar. Itu kuncinya," ujarnya.

Jika dihubungkan dengan kepentingan publik yang ingin dilindung UU LLAJ, Bernard mengatakan, penggendara truk over dimensi sebenarnya melanggar aturan karena membuat aktivitas di jalan raya menjadi tidak aman. Karena itu, lokasi ditemukannya kendaraan over dimensi lantas menjadi tempat terjadinya tindak pidana. 

"Berhubungan dengan kasus Semarang karena yang mengoperasikan kendaraan merupakan pelaku turut serta, maka locus delicti-nya adalah di Semarang, bukan tempat perusahaan karoserinya. Sejauh ini, kasus seperti ini enggak bisa P21 karena, ketika dibaca teks, pasal itu larinya hanya kepada pembuat dan pengimpor," ujar Bernard.

Penalaran hukum yang dikemukakan Bernard itu digunakan jaksa dan diterima hakim. Kasus itu pun dimenangkan Satlantas Polrestabes Semarang. Kini, menurut Bernard, Korlantas bisa menggunakan preseden hukum itu untuk menjerat para pengemudi atau pemilik truk over dimensi di mana pun. 

"Polisi bisa menemukan kendaraan itu di mana saja. Akan tetapi, pasal (277) itu menyebutnya kepada yang membuat dan mengimpor. Jadi, locus delicti-nya adalah tempat pembuatan mobil itu, sedangkan yang bawa bisa enggak kena," ujarnya.

Petugas menempelkan stiker pada truk saat operasi penertiban 'over dimension' dan 'over load' di KM 41 tol Jakarta -Cikapek, Karawang, Jawa Barat, Jumat (13/3/2020). /Foto Antara

Aturan hukum diminta tepat sasaran

Ditanya soal rencana Korlantas mengeluarkan aturan untuk menjerat pengemudi truk over dimensi, Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengaku tak setuju. Menurut dia, tak seharusnya Pasal 277 "diutak-atik" untuk membidik pegemudi truk over dimensi. 

"Jadi, bukan yang mengoperasionalkan. Lagi pula, dalam pasal itu kan jelas yang membuat dan merakit. Nanti kalau yang bawa tidak tahu gimana? Penegak hukum mestinya kan harus lebih tepat sasaran. Soalnya, pengemudi itu enggak tahu apa-apa," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (28/11).

Gemilang memahami bahwa truk over dimensi kerap mengganggu keamanan dan kenyamanan berlalu lintas. Meski demikian, ia menegaskan, pengemudi tak serta-merta bisa disalahkan. Pasalnya, modifikasi kendaraan bisa dilakukan oleh "banyak tangan" di berbagai lokasi. 

Di Sumatera, misalnya, kata Gemilang, modifikasi truk bahkan bisa dilakukan di pinggir jalan dengan menambah bak pada truk. 

"Jadi, si subjek itu harus dicari, siapa yang membuat kendaraan itu hingga over dimensi. Kalau sopirnya yang memodifikasi, ya, mestinya sopirnya kena. Tapi, kalau dari karoserinya, ya, karoseri kena juga dong," ujar dia. 

Gemilang menyebut pemerintah juga turut andil menyebabkan maraknya kendaraan over dimensi. Menurut dia, banyak kendaraan over dimensi yang justru memiliki surat-surat SRUT dan KIR yang dikeluarkan Kemenhub. 

"Ada juga yang diubah dan membuat surat resmi, suratnya ada. Berarti ini kan yang mengubah dan memberi izin yang harus ditindak. Siapa? Ya, Kementerian Perhubungan," kata dia. 

Jika aturan itu direalisasikan, Gemilang khawatir bakal timbul konflik antara pengemudi, pengusaha angkutan barang, dan aparat Korlantas di lapangan. Apalagi, jika polisi di lapangan menindak para pengemudi yang tak ada sangkut pautnya dengan modifikasi truk yang mereka kendarai. 

Gemilang menilai rencana polisi yang ingin membidik pengguna kendaraan over dimensi di jalan dengan berpijak pada frasa "dioperasionalkan" sangat mengada-ada. "Soalnya kalau begitu kan persoalan yang melakukan dan tidak melakukan jadi tidak jelas,"ujar Gemilang.

"Ini nanti bakal ada perlawanan massa, akan terjadi perlawanan yang keras saya kira. Sebab tidak fair kalau semata-mata diterjemahkan hanya untuk yang  mengoperasionalkan. Bisa saja perubahan atau over dimensi itu terjadi di beberapa pihak," terang dia. 

Petugas mengevakuasi salah satu kendaraan yang terlibat pada kecelakaan beruntun di Tol Cipularang KM 92 Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). /Foto Antara

Sekjen Perkumpulan Perusahaan Multimoda Transport Indonesia (PPMTI) Kyatmaja Lookman sepakat pemerintah harus berhati-hati dalam menertibkan kendaraan over dimensi. Menurut dia, banyak kendaraan over dimensi lantaran kesalahan prosedural dan bukan karena niat cari untung pengusaha angkutan barang. 

Ia mencontohkan maraknya karoseri yang memodifikasi kendaraan angkutan barang tanpa mengacu pada Surat Keterangan Rancang Bangun (SKRB). Ketika diuji tipe, kendaraan tersebut tidak lolos sehingga tidak bisa mengantongi SRUT dan buku KIR.

Di sisi lain, aktivitas jual beli kendaraan juga kerap tidak transparan antara pemilik pertama dan kedua. Seringkali perubahan tipe kendaraan tidak diketahui pembeli. Walhasil, pembeli kecele saat mengetahui kendaraannya ditilang karena over dimensi.

"Kasusnya seperti anggota kami di Sumbar (Sumatera Barat). Dia pihak kedua yang melakukan modifikasi, tapi masih atas nama pihak yang pertama. Akhirnya, pihak pertama kena juga," ujar Kyatmaja kepada Alinea.id

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, panjang kendaraan truk sebenarnya hanya dibatasi sampai 12 meter. Namun, menurut Kyatmaja, banyak truk yang panjangnya mencapai 16 meter. 

Hal itu merupakan bukti nyata modifikasi dilakukan tanpa mematuhi SKRB. "Karena dia tidak sesuai dengan PP 55. Itu pasti SKRB dan SRUT tidak akan keluar karena pasti (truk semacam itu) enggak lolos uji tipe," jelas dia. 

Lebih jauh, Kyatmaja juga berpendapat persoalan truk over dimensi tidak sepenuhnya kesalahan pengusaha angkutan barang atau pengemudi. Menurut dia, pemerintah turut andil bikin marak truk over dimensi lantaran terbatasnya kapasitas uji KIR. 

"Semisal kendaraan di DKI Jakarta untuk bus dan truk itu ada dua juta, sedangkan kapasitas untuk melakukan uji KIR itu hanya 200 ribu per tahun. Itu kan berarti hanya sepersepuluh dari populasi. Berarti ada 90% yang tidak patuh. Nah, keadaan ini yang membuat orang untuk melanggar," tutur dia. 

Bukan domain Korlantas

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar tidak sependapat bila Pasal 277 UU LLAJ "diakali" untuk menjerat pengguna kendaraan over dimensi. Menurut dia, pasal itu memang ditujukan untuk memenuhi kewajiban uji kualifikasi tipe kendaraan yang berada pada industri perakitan.

"Tidak ada yang keliru dari pasal 227 UU No.22/2009 karena ketentuan itu memang ditujukan pada pihak yang tidak memenuhi kewajiban uji kualifikasi tipe kendaraan. Jadi, bukan pihak yang mengoperasionalkan kendaraan yang muatannya over kapasitas," ujarnya kepada Alinea.id.

Lebih jauh, Fickar mengatakan, penertiban kendaraan over dimensi merupakan kewenangan Kemenhub. Korlantas Polri, kata dia, tidak seharusnya perlu mengeluarkan aturan untuk membidik para pengemudi truk over dimensi.

"Ada ketentuannya sendiri sesuai dengan ketentuan dari Dirjen Perhubungan Darat. Kalau yang seperti ini bukan kewenangan atau juridiksi kepolisian, ini porsinya (Dirjen) Perhubungan Darat. Jika dipaksakan, ini sama dengan mengambil kewenangan lembaga lain," ujar Fickar.

Selama ini, keberadaan truk over dimention dan over load (ODOL) memang kerap menimbulkan persoalan di jalan raya. Menurut catatan Korlantas Polri, ada 136 ribu pelanggaran lalu lintas melibatkan truk ODOL pada 2019.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid