sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cuan dari pakaian bekas selundupan 

Banyak produk yang beredar di pasar thrifting Indonesia diimpor secara ilegal.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 20 Apr 2022 19:42 WIB
Cuan dari pakaian bekas selundupan 

Di lantai ruko seluas 12 meter persegi, Teguh Saputra, terlihat serius memilah pakaian-pakaian bekas dari tumpukan karung. Satu per satu pakaian ia pelototi. Pria berusia 37 tahun itu mengecek merek, ritsleting, kancing, dan warna pakaian yang bakal mengisi stok dagangannya jelang Idul Fitri. 

“Lumayanlah. Kalau mau Lebaran kayak begini, biasanya ada peningkatan jumlah pembeli,” ujar Teguh saat berbincang dengan Alinea.id di toko pakaian bekasnya di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (14/4).

Tumpukan karung berisi pakaian bekas impor tersebut baru tiba hari itu. Menurut Teguh, di dalam karung-karung itu ada banyak pakaian bermerek yang masih layak jual. Namun, ada pula banyak pakaian "sampah" yang sulit dipasarkan kembali. 

“Kalau rata-rata sih, (omset) sehari bisa dapat Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Lumayan sih (penghasilan sebulan) bisa nutup biaya sewa ruko, gaji pegawai, sama buat jajan-jajan anak,” ucap Teguh.

Teguh mengaku telah melakoni jual beli pakaian bekas (thrifting)bermerek sejak 2015. Mulanya, ia hanya berjualan di Kaskus dan forum-forum jual beli online. Barang jualan ia dapat dari berburu di Pasar Senen, Jakarta Pusat. 

Kala itu, Pasar Senen merupakan salah satu pusat perbelajaan barang bekas impor di Jakarta. Dengan bermodal Rp300 ribu, menurut Teguh, ia sudah bisa membawa pulang sejumlah barang dagangan seperti topi, baju, kemeja, sweater, hingga jaket.

“Habis belanja, mulai deh jual di Kaskus, Facebook, OLX. Waktu dulu enak. Bisa dibilang beli tahi, jual emas karena pernah ngerasain beli topi Rp10 ribu di Pasar Senen, gue jual Rp250 ribu,” tuturnya.

Bisnis kecil-kecilan itu berkembang. Sejak 2017, Teguh memutuskan membuka toko. Selain untuk menjajakan barang jualan, Teguh juga butuh ruangan sebagai gudang penyimpanan stok barang dagangan. 

Sponsored

Meski usahanya terus maju, Teguh menuturkan keuntungan yang ia dapat tak semanis ketika berburu barang sendirian. Apalagi, pelaku bisnis thrifting juga terus menjamur. "Pada digoreng harga barang sama penjual-penjual baru," imbuh dia. 

Sistem jual-beli antara distributor dan pemilik toko thrifting pun berubah. Pakaian-pakaian bekas, kata Teguh, kini dijual bal-balan atau per karung. Tak semua karung yang ditawarkan penyuplai berisi pakaian bekas yang berkualitas. 

Biasanya, lanjut Teguh, isi karung sudah disortir oleh distributor untuk pedagang besar. “Jadi, kalau kita datang, itu barang bal-balan sudah bekas sortiran. Kalau lu mau nyari merek branded, susah. Hampir mustahil,” jelas dia. 

Selain itu, menurut Teguh, distributor juga kerap seenaknya mendongkrak harga barang. Jika barang bagus sedang melimpah, harga per karung yang ditawarkan distributor bahkan bisa melonjak hingga dua sampai tiga kali lipat dari harga normal. 

“Distributor suka naikin harga di atas harga pasar karena barang bagus. Buktinya, dulu harga satu bal itu Rp1 juta sampai Rp4 jutaan. Sekarang sudah di kisaran Rp6 juta sampai Rp15 jutaan satu bal,” tutur Teguh.

Sejumlah pakaian bermerek dipajang di salah satu toko pakaian bekas di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (14/4). Alinea.id/Achmad Al Fiqri

Masuk via jalur tikus

Teguh mengatakan pakaian bekas yang ia jual tidak didapat dari pasar domestik. Sepengetahuan dia, barang-barang itu diimpor dari sejumlah negara di Asia dan Eropa. 

“Sebenarnya ini barang dari negara di seluruh dunia. Nah, ada negara-negara dijadikan tempat untuk nge-packing. Katanya, di Malaysia, China, dan Korea. Nah, dari situ baru dijual ke mana-mana, termasuk ke Indonesia,” tutur Teguh. 

Impor pakaian bekas termasuk aktivitas ilegal. Larangan untuk itu sudah termuat dalam sejumlah regulasi, semisal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015.

Karena ilegal, menurut Teguh, barang bekas impor itu tidak masuk via jalur resmi, semisal pelabuhan besar atau bandara. Importir barang, kata Teguh, menggunakan jalur-jalur tikus untuk menghindari deteksi petugas keamanan. 

“Biasanya, barang masuk ke sini (Indonesia) pakai kapal nelayan, nanti baru lewat darat diangkut mobil-mobil. Habis itu, barang disebar ke beberapa daerah seperti Bandung, Jakarta, Bogor, Semarang, dan Surabaya,” tuturnya.

Dendy Dinanta, salah satu pemilik toko thrifting online, membenarkan harga pakaian bekas impor terus naik. Memulai bisnis pada 2008, menurut Dendy, pada mulanya satu karung pakaian bekas dibanderol sekitar Rp2 juta oleh distributor. Saat ini, harganya sudah berada di atas Rp6 juta per karung. 

Ia menduga harga terus naik lantaran pemerintah rajin membongkar praktik-praktik penyelundupan pakaian bekas dari luar negeri. Walhasil, stok barang yang dimiliki distributor menipis. Di lain sisi, jumlah pemilik thrifting shop juga terus bertambah.

“Ya, nanti yang kena dampaknya ke kita (pelaku usaha thrifting) juga. Harga barang pasti bakal naik dari distributor," ujar Dendy saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (16/4).

Situasi itu, kata Dendy, membuat pemilik toko thrifting seperti dia serba salah. Selama ini, Dendy enggan menjajakan produk-produk lokal di tokonya lantaran peminatnya sedikit dan harganya mahal. Selain itu, kualitas produk lokal juga masih kalah dibandingkan pakaian bekas bermerek hasil selundupan. 

“Ya, kalau (thrift shop) ini ilegal, pemerintah seharusnya bisa mengatur (harga) brand lokal agar UMKM bisa menjajakan juga. Ini juga kan supaya harga brand lokal bisa bersaing dengan brand luar. Jadi, UMKM bukan menjajakan barang sampah,” kata pria berusia 32 tahun itu. 

Salah satu distributor pakaian bekas impor membenarkan produk-produk yang beredar di pasar thrifting Indonesia hasil selundupan. Menurut dia, salah satu jalur tikus yang digunakan penyelundup ialah perairan Batam, Kepulauan Riau.  

"Habis itu di-share ke tempat yang order-nya besar via jalur darat dan laut,” ujar pria yang enggan disebut identitasnya itu saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (15/4).

Ia menyebut pemasok pakaian bekas itu berasal dari Malaysia, Korea, dan China. Sejumlah pemasok juga berasal dari negara-negara di Eropa. Namun, saat disinggung cara memesan barang dari luar negeri, ia mengklaim tak tahu-menahu. “Itu rahasia pemain besar," kata dia. 

Ilustrasi pakaian bekas layak pakai. Alinea.id/Debbie Alyuwandira

Sulit dicegah

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani mengatakan ada banyak faktor yang membuat pemerintah sedikit kelimpungan dalam menangkal praktik-praktik penyelundupan barang bekas impor. 

Salah satunya ialah panjangnya garis pantai Indonesia dan banyaknya pintu masuk di perbatasan dengan negara-negara tetangga. Di sisi lain, negara-negara tempat para pemasok barang beroperasi juga tidak memberlakukan larangan ekspor barang-barang bekas ke luar negeri.

“Kemudian, besarnya pangsa pasar yang ada di Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia. Barang ilegal yang diselundupkan juga ditawarkan dengan harga yang sangat murah sehingga menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat. Itu membuat permintaan pasokan di pasar pakaian bekas tetap ada,” jelas Askolani kepada Alinea.id, Jumat (15/4).

Askolani menjelaskan barang selundupan itu masuk via jalur darat dan laut. Pada jalur darat, barang ilegal itu diselundupkan lewat pintu-pintu perbatasan. Praktik penyelundupan semacam itu marak ditemukan Ditjen Bea Cukai di Kalimantan. 

Adapun di jalur laut, menurut Askolani, para pemasok biasanya menggunakan kapal-kapal kayu untuk menyelundupkan barangnya langsung ke perairan Indonesia. Modus lainnya, kata dia, pemasok memindahkan barang dari kapal asing ke kapal Indonesia di tengah laut.

“Selain melalui kapal, modus lain yang digunakan adalah menggunakan barang bawaan dari penumpang kapal Fery. Modus-modus ini sering kami temui di wilayah pesisir timur Sumatera, perairan Kalimantan Timur, perairan Sulawesi, dan wilayah perairan NTT (Nusa Tenggara Timur),” ungkap dia.

Berbasis data Dirjen Bea Cukai, jumlah kasus penyelundupan barang bekas impor dari luar negeri terus menurun dalam empat tahun terakhir. Pada 2019, tercatat ada 408 kasus yang berhasil diungkap dengan perkiraan nilai barang yang diamankan sebesar Rp26,8 miliar. Pada 2020, ada 171 kasus dan nilai barang yang disita sebesar Rp10,3 miliar.

Adapun pada 2021, tercatat ada total 167 kasus penyelundupan yang diungkap aparat keamanan. Namun, nilai perkiraan barang yang disita melampaui tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp17,3 miliar. Tahun ini, sudah ada 77 kasus penyelundupan yang terbongkar dengan perkiraan nilai barang mencapai Rp680 juta.

Askolani menduga praktik impor barang bekas ke Indonesia menurun lantaran banyak negara pengekspor menutup jalur perbatasan dan menghentikan kegiatan ekonomi imbas dari pandemi Covid-19. Ia meyakini praktik penyelundupan pakaian bekas ke Indonesia bakal kembali menggeliat saat kondisi telah normal. 

Untuk memastikan penyelundupan tak lagi marak, Askolani mengatakan, Ditjen Bea Cukai bakal memperketat pengawasan di jalur-jalur tikus. Pihaknya juga akan memperkuat koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya guna menggelar operasi laut terpadu di perairan yang biasanya digunakan menyelundupkan barang impor. 

“Upaya pencegahan tersebut kami lakukan juga untuk melindungi industri tekstil dalam negeri dari ballpress yang dapat menganggu ekosistem industri lokal," ujar Askolani.
 

Berita Lainnya
×
tekid