sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Denny JA sebut pada waktunya bangsa Yahudi akan dukung Palestina merdeka

Di 2021, dukungan pada Palestina (Palestine authority favorably) meningkat di angka 30%. Padahal hanya 23% di 2020 dan 21% di 2019 dan 2018.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Rabu, 26 Mei 2021 14:37 WIB
Denny JA sebut pada waktunya bangsa Yahudi akan dukung Palestina merdeka

Intellectual Entrepreneur Denny JA mengatakan, kemerdekaan Palestina hanya soal waktu. Menurut dia, pada waktunya, kemerdekaan Palestina itu bahkan akan ikut didorong oleh pemerintah Amerika Serikat dan mayoritas populasi Yahudi internasional.

Denny menyimpulkan ini berdasarkan survei Gallup Poll secara berkala pada populasi masyarakat Amerika Serikat. Dalam survei, ikut ditanyakan seberapa nyaman mereka dengan Israel versus Palestina dalam konflik Israel-Palestina.

"Walau masih lebih banyak yang pro-Israel, tetapi dukungan (favorability) pada Palestina terus menaik dari waktu ke waktu," kata Denny dalam keteranganya, Rabu (26/5).

Denny menjelaskan, di 2021, dukungan pada Palestina (Palestine authority favorably) meningkat di angka 30%. Padahal hanya 23% di 2020 dan 21% di 2019 dan 2018. Sebaliknya, dukungan pada Israel (Israel authority favorably) menurun 58% di 2021. Sebelumnya 60% di tahun 2020 dan 64% di 2018.

Di sisi lain, kata Denny, semakin banyak terbentuk komunitas Yahudi internasional. Mereka yang berdarah Yahudi, beragama Yahudi mendukung kemerdekaan Palestina. Bahkan komunitas Yahudi berkampanye memobilisasi dukungan mereka. Antara lain Jewish For Peace dan If Not Now Movement di Amerika Serikat. Sedangkan di United Kingdom, terbentuk pula komunitas Yahudi untuk Palestina dengan nama Na’amod Movement.

"Menarik untuk memahami, mengapa dukungan kepada Palestina menaik bahkan di wilayah dan komunitas yang dulu menjadi musuh utama Palestina," tegas Denny.

Menurut Denny, terdapat tiga alasan penyebab. Pertama, semakin berpengaruhnya komunitas Blacklives Matters di Amerika Serikat. Komunitas ini dulunya menyatukan penduduk kulit hitam, dan simpatisan kulit putih. Mereka memprotes ketidak adilan, rasisme, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dan politisi atas kulit hitam.

Gerakan ini terbentuk sejak 2013 di Amerika Serikat. Ini timbul sebagai solidaritas atas ditembaknya remaja kulit hitam, Trayvon Martin (17) oleh polisi. Martin yang diyakini tak bersalah ditembak karena dikira kriminal.

Sponsored

"Itu semata karena Ia kulit hitam. Pengadilan memutuskan sang polisi bersalah," katanya.

Denny melanjutkan, gerakan Black Live Matters semakin membesar ketika mereka membela kulit hitam George Floyd, di 2020. Video tentang George Flyod meluas dan viral. Dalam video itu, leher Floyd ditekan oleh dengkul polisi kulit putih, walau Floyd sudah mengiba tak bisa bernafas, dan akhirnya wafat.

Akibat peristiwa itu, kata Denny, aneka kemarahan bergema di media sosial. Protes di seantero Amerika Serikat meluas walau di era pandemi. Aksi protes ini bahkan dianggap terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.

"Diperkirakan sebanyak 15-20 juta populasi di seantero Amerika Serikat turun ke jalan di 2020. Isu keadilan bagi yang tertindas meluas.

Kini gerakan Black Live Matters di Amerika Serikat menjadi pendukung utama keadilan bagi Palestina. Gerakan ini, sebut Denny, secara terbuka menyatakan dukungannya. Bagi mereka bangsa Palestina mengalami nasib yang sama dengan kulit hitam di masa lalu.

"Mereka menggaungkan solidaritas. Bahkan sejak Jesse Jackson, tokoh utama kulit hitam mencalonkan diri menjadi Presiden AS, di 1988, ia sudah menyatakan mendukung hak asasi bangsa Palestina," lanjutnya.

Denny mengatakan, kampanye solidaritas kepada sesama kelompok yang tertindas, yang dikampanyekan Black Live Matters ikut menambah simpati populasi Amerika Serikat kepada Palestina. "Ini terjadi terutama di kalangan populasi kulit hitam," jelasnya.

Penyebab kedua, berubahnya persepsi David versus Goliath. Dia menjelaskan, cukup lama tertanam dalam kesadaran kolektif bahwa bangsa Israel adalah si kecil David. Dan bangsa di luar Israel, termasuk Arab adalah raksasa Goliath. Raksasa murka dan kejam.

"Hollocoust di masa Hittler 1940-an menyebabkan ratusan ribu bahkan jutaan Yahudi dibunuh massal. Genosida. Di tambah lagi kisah eksodus kitab suci di zaman Nabi Musa. Komunitas Yahudi bersusah payah terusir dari Mesir," katanya.

Menurut Denny, citra itu lah yang terbentuk. Di mana Bangsa Yahudi adalah bangsa yang ditindas. Simpati publik pun datang pada bangsa yang ditindas.

"Tetapi kini persepsi semakin berubah. Yahudi dan negara Israel bukan sikecil David lagi. Negara Israel justru kini paling perkasa secara militer di Timur Tengah," katanya.

Denny melanjutkan, kini Goliathnya, sang raksasa murka itu justru Israel. Bangsa Palestina yang menjadi David di kecil, yang tak berdaya, yang perlu mendapatkan simpati. Kemudian, kisah eksodus bangsa Palestina kini dipopulerkan. Mulai dirayakan eksodus 700.000 rakyat Palestina terusir dari rumahnya akibat perang Palestina pada 1948.

"Kata “Nakbah,” atau penghancuran Palestina kini bergaung. Semakin hari Palestina menggantikan Yahudi sebagai David si kecil melawan raksasa Goliath. Dan kini Goliath berganti bernama Israel. Simpati pada Palestina semakin terbentuk," jelas dia.

Penyebab ketiga ialah semakin menguatnya kompromi rasional. Denny mengatakan mustahil bangsa Israel mampu menumpas habis bangsa Palestina. Sebaliknya juga mustahil bangsa Palestina bisa menumpas habis bangsa Israel.

"Lalu apalagi kegunaan konflik yang panjang? Bukankah kompromi rasional solusi damai, berdirinya dua negara merdeka, berdampingan, tak terhindari?" tanya Denny.

Denny menerangkan, kompromi rasional acapkali ditempuh ketika konflik berlarut. Itu konflik yang tak bisa tuntas dimenangkan oleh siapapun. Ketika Katolik dan Protestan bertempur selama 30 tahun di Eropa abad 17, awalnya perang ini diwarnai dengan semangat untuk saling menghabisi. Tetapi mustahil Katolik mampu membunuh habis Protestan. Juga mustahil Protestan mampu membunuh habis Katolik.

"Apa yang terjadi? Akhirnya penganut Katolik dan Protestan berdamai. Mereka hidup berdampingan dalam perbedaan. Toleransi dikembangkan. Komunitas Yahudi Internasional di Amerika Serikat juga di United Kingdom menyadari ini pula. Mereka, komunitas Yahudi Internasional di atas bahkan mendukung kemerdekaan palestina," ungkapnya.

Berita Lainnya
×
tekid