sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Densus 88: Menekan sel teroris, membantu mantan narapidana

Meski tengah pandemi Covid-19, Densus 88 tetap mengadakan operasi memberantas kelompok teroris.

Ayu mumpuni
Ayu mumpuni Sabtu, 22 Agst 2020 15:17 WIB
Densus 88: Menekan sel teroris, membantu mantan narapidana

Setelah kembali ke masyarakat beberapa tahun lalu, kini mantan narapidana tindak pidana terorisme Haris Amir Falah bisa hidup tenang. Pria yang kini berdomisili di Sentul, Bogor itu, sehari-hari menjadi pendidik di sebuah sekolah dan menjadi Ketua Dewan Pembina Lembaga Dakwah Thoriguna, yang didirikan bersama beberapa mantan narapidana terorisme lainnya.

Haris merupakan mantan pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Jakarta. Pada 2010, ia ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di Bekasi karena ikut menggalang dana untuk pelatihan militer anggota JAT di Jantho, Aceh Besar. Pada 2011, ia divonis hukuman penjara selama empat tahun enam bulan.

Ia mengatakan, meski sedang masa pandemi Covid-19, masih ada kelompok teroris yang merekrut anggota. Menurutnya, rekrutmen tak hanya dilakukan secara langsung.

“Rekrutmen memang tidak pernah berhenti, bahkan mereka juga menggunakan Zoom (aplikasi konferensi video) saat seperti ini,” kata Haris saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (21/8).

Penegakan hukum

  Densus 88 melakukan pengejaran terhadap terduga teroris. Foto Antara.

Kelompok teroris memang memanfaatkan situasi kala pademi. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa dan semakin aktif. Akan tetapi, gerak Densus 88 pun tak pernah berhenti.

Periode 1 Juni 2020 hingga 12 Agustus 2020, pasukan antiteror itu berhasil menangkap 72 orang terduga teroris di 13 wilayah, yakni Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah, Riau, Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Maluku, dan Gorontalo. Mayoritas yang ditangkap berasal dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Sponsored

Dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan pada 14 Agustus 2020, Karo Penmas Brigjen Pol. Awi Setiyono mengatakan, pada 12 Agustus 2020 dilakukan penindakan hukum terhadap 15 tersangka tindak pidana terorisme kelompok JAD Koswara, pengirim logistik dan pendanaan kelompok MIT, dan fasilitator pemberangkatan ke Suriah di Jakarta dan Jawa Barat.

Sedangkan dalam konferensi pers pada 18 Agustus 2020, Awi menyebut, pada 21-27 Juli 2020 dilakukan penegakan hukum terhadap sembilan tersangka tindak pidana terorisme kelompok JAD Padang, Sumatera Barat.

Lalu, pada 23 Juli 2020 ditangkap seorang tersangka kelompok JAD di Denpasar, Bali. Kemudian, pada 29 Juli 2020 ditangkap dua tersangka kelompok MIT di Poso, Sulawesi Tengah.

Menurut pengamat terorisme dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, penegakan hukum dengan menangkap 72 terduga teroris membuktikan aksi senyap mereka tetap terpantau Densus 88. Zaki mengungkapkan, saat momentum tertentu, kelompok teroris akan melakukan aksinya. Maka, penangkapan dilakukan sebelum aksi terjadi.

“Tampaknya ada indikasi sejumlah sel teroris akan memanfaatkan momentum HUT 75 RI dengan melakukan sejumlah aksi. Pola ini sudah terjadi sebelumnya,” tuturnya saat dihubungi, Jumat (21/8).

“Dulu ada rencana amaliyah (aksi teror) menyerang Presiden SBY pada HUT kemerdekaan, yang berhasil digagalkan. Mereka ingin menunjukkan eksistensinya saat peringatan kemerdekaan RI.”

Aksi teror lainnya, yang mungkin sudah disiapkan, kata Zaki, karena ada rencana operasi besar-besaran terhadap kelompok MIT pimpinan Ali Kalora. Operasi itu sudah dimulai dengan menangkap istri Ali Kalora, yakni L alias Ummu Syifa dan para penyuplai logistik anggota MIT di hutan. Densus 88 meringkus L alias Ummu Syifa di Jembatan Puna, Kasiguncu, Poso Pesisir Selatan, Sulawesi Tengah pada 29 Juli 2020.

“Momentum ini bisa saja mengulang bangkitnya sel lain usai peristiwa Mako Brimob. Jadi, sangat perlu diantisipasi,” ucap Zaki.

Pada 18 Mei 2018, di Lapas Mako Brimob, Depok, Jawa Barat terjadi insiden kerusuhan akibat upaya pemberontakan narapidana terorisme. Insiden yang berlangsung selama 36 jam itu menyebabkan lima orang polisi dan seorang narapidana tewas.

Dihubungi terpisah, pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan, gerak sel teroris untuk melakukan aksi teror semakin lemah karena berbagai upaya penegakan hukum Densus 88.

“Semoga proses pencegahan maupun penindakan itu berjalan sesuai dengan criminal justice sistem yang berlaku,” kata dia saat dihubungi, Jumat (21/8).

“Bisa semaksimal mungkin menihilkan tindakan aparat yang mengabaikan aspek kemanusiaan, agar tidak menjadi embrio stimulan kekerasan-kekerasan di kemudian hari dalam isu terorisme.”

Anggota Polri bersenjata lengkap saat melakukan penggeledahan terduga teroris di Riau (06/02/18). Foto Antara.

Bantuan kepada keluarga dan mantan napi

Sumber Alinea.id dari Densus 88—sebut saja sumber satu—mengakui saat krisis kesehatan Covid-19 kelompok teroris masih sangat aktif dalam berpropaganda maupun merencanakan persiapan ancaman teror.

“Di tengah tugas polisi yang membantu pemerintah menangani pandemi, Densus 88 tetap fokus melakukan preventive strike atas kelompok teroris,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/8).

Penindakan terhadap para pelaku terorisme tetap berjalan normal secara senyap, hingga seminim mungkin melibatkan media massa demi pertimbangan penegakan hukum ke depan. Pendekatan humanis diterapkan kepada pelaku, mantan narapidana, dan keluarga.

Sementara itu, sumber dua Alinea.id dari Densus 88 menjelaskan, secara struktur sudah dibentuk beberapa tim di tubuh pasukan antiteror tersebut. Tim itu ialah tim opsnal, psikologi, agama, dan analis.

Anggota tim itu punya tugas yang akan melakukan pembinaan secara humanis, sejak seorang terduga teroris masih berada di dalam tahanan hingga mereka kembali ke tengah masyarakat.

“Juga pembinaan kepada keluarga terpidana teroris,” kata sumber dua saat dihubungi, Minggu (16/8).

“Pendekatan ini akan membalikkan stigma dan membangun trust kepada seluruh pelaku dan ekspelaku, hingga dari mulut ke mulut keluarga tahanan.”

Menurut sumber satu, Bintara Pembina Desa (Babinsa), Bintara Pembina Kamtibmas (Babinkamtibmas), pemerintah daerah (pemda), tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut bergerak bersama melakukan pendekatan kepada mereka.

Sumber satu mengatakan, anggota Densus 88 tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga dan mantan narapidana terorisme.

“Terakhir, kami memberikan hewan kurban dan membantu memasang bendera merah putih untuk perayaan kemerdekaan Indonesia ke-75 di lingkungan tempat tinggal keluarga napi dan mantan napi,” kata dia.

Ketika situasi sulit ekonomi akibat pandemi, Densus 88 pun ikut memberikan bantuan kepada keluarga dan mantan narapidana terorisme. Sumber dua mengatakan, bantuan dimulai dengan mendengarkan keluhan mereka selama menjalani kehidupan di tengah situasi sulit. Bahkan, narapidana terorisme pun dibantu anggota Densus 88, jika punya keluhan.

“Dengan begitu, terbangun trust mereka, jika akan melakukan teror, setidaknya akan mikir 1.000 kali,” tutur sumber dua.

Sementara Haris Amir Falah mengakui peran Densus 88 dalam memberikan bantuan ekonomi. Ia mengatakan, yayasannya pun terbantu berkat silaturahmi yang intensif dengan Densus 88. Menurutnya, anggota Densus 88 mengedepankan jalinan kekeluargaan, tanpa menggurui. Para mantan narapidana terorisme pun merasa dijadikan mitra oleh Densus 88.

Infografik Densus 88. Alinea.id/Dwi Setiawan.

“Mereka (anggota Densus 88) yang sudah pensiun juga masih suka main, silaturahmi. Makanya teman-teman ngerasa cocok,” ucap Haris.

Untuk yayasannya, Haris mengatakan, Densus 88 membantu dalam hal administrasi hingga urusan teknis lainnya. Haris menuturkan, di samping membantu ekonomi keluarga dan mantan narapidana terorisme, pendekatan kebudayaan dan sosial menjadi hal penting untuk menekan aksi teror. Densus 88 pun membantu narapidana terorisme yang sudah kembali ke masyarakat.

“Densus 88 sangat membantu melerai penolakan dari warga sekitar. Adaptasi para mantan napi teroris ke masyarakat pun dibimbing perlahan karena hal itu bukan menjadi suatu hal yang mudah,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid