sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Di balik gaduh pesantren "radikal" versi BNPT 

Daftar pesantren radikal yang dirilis BNPT dipersoalkan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 08 Feb 2022 14:16 WIB
Di balik gaduh pesantren

Daftar pesantren radikal versi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bikin geger Pondok Pesantren Nurussalam Ciamis, Jawa Barat. Di daftar tersebut, pesantren yang berdiri sejak 1991 itu masuk menjadi salah satu pesantren yang terafiliasi dengan kelompok teroris global Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). 

Wakil pemimpin Nurussalam, Maksum mengatakan daftar pesantren radikal tersebut dibuat sepihak tanpa verifikasi terhadap pondok pesantren. Menurut Maksum, Nurussalam dan para pengasuhnya justru menentang ajaran ISIS. 

"Karena ISIS itu buatan Yahudi yang dilabelkan Islam. Kalau BNPT mau datang ke pondok kami, insyaallah akan kami hadapi. Semua itu rekayasa penguasa saat ini," kata Maksum kepada Alinea.id, Senin (31/1).

Ini bukan kali pertama Nurussalam disangkutpautkan dengan kelompok teroris. Pada 2014, Nurussalam pernah diklaim sebagai tempat belajar merakit bom oleh anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) bernama Anton yang ditangkap Densus 88 di Banyuwangi, Jawa Timur. 

Maksum tentu saja membantah dikaitkan dengan Anton dan JAD. Ia menegaskan tak ada mata pelajaran merakit bom di ponpesnya. Seingat dia, tak pernah ada murid bernama Anton yang pernah jadi santri di Nurussalam. 

"Sementara ini, kami ngambil sikap diam. Nanti, kalau ada BNPT yang datang ke mari, akan kita tanyakan fitnah ini. Alhamdulillah, hingga kini wali murid biasa-biasa aja," kata Maksum.

Daftar pesantren yang terafiliasi kelompok teroris kali pertama diungkap Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (25/1). Ketika itu, Boy memaparkan setidaknya terdapat 198 pesantren anti-Pancasila yang punya keterkaitan erat dengan kelompok teroris. 

Di data itu, sebanyak 119 pesantren "dituduh" terafiliasi kelompok Jamaah Ansharut Daulah/ISIS, 69 pesantren terkait Jamaah Islamiyah, dan 11 pesantren tersangkut Jamaah Anshorut Khilafah (JAK). Mayoritas pesantren radikal versi BNPT itu beroperasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 

Sponsored

Maksum membantah pesantrennya ekslusif dan anti-Pancasila. Ia mengatakan Nurussalam pesantren yang terbuka. "Kami berbaur dengan masyarakat. Nurussalam menjunjung tinggi ketuhanan, persatuan, keadilan dan permusyawaratan Bagi kami, itu inti Pancasila. Jadi, siapa yang berbuat zalim?" jelasnya. 

Suasana Yayasan Al-Marhamah, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (3/2). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Selain Nurussalam, Yayasan Al-Marhamah juga turut masuk dalam daftar pesantren radikal versi BNPT. Ditemui Alinea.id di Yayasan Al-Marhamah, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (3/2) sore, Heru, salah seorang pengasuh Al-Marhamah, mengaku heran pesantren tempat ia bekerja masuk ke dalam daftar BNPT. 

Heru menyebut Yayasan Al-Marhamah merupakan yayasan yang bergerak di bidang sosial. Saat ini, tercatat ada 11 anak asuh yang mondok di yayasan tersebut. Sebagian besar anak Al-Marhamah bersekolah di institusi Nahdlatul Ulama (NU). 

"Kami secara amaliah sebenarnya lebih condong ke Muhammadiyah. Tapi rata-rata anak-anak di sini kami sekolahkan di luar di sekolah NU. Hal itu dilakukan supaya imbang pemahaman keagamaannya. Jadi, mereka pagi sekolah, sore dan malamnya mereka ngaji kitab dan Alquran di sini. Mereka juga tidur di sini," kata Heru. 

Heru mengaku tak paham bagaimana BNPT bisa mengambil kesimpulan Yayasan Al-Marhamah terafiliasi jaringan teroris. Menurut dia, pengasuh Al-Marhamah tak pernah mengajarkan tafkiri dan paham-paham radikal lainnya. 

"Kitab yang kami pelajari itu, ya, sama dengan pesantren pada umumnya seperti Arbain Nawawi (nama kitab yang memuat hadits pilihan yang disusun oleh Imam Nawawi) dan sebagainya. Mungkin yang dimaksud BNPT itu Yayasan Al-Marhamah yang ada di tempat lain kali," kata dia. 

Yayasan Al-Marhamah didirikan Ustaz H Subhansyah pada 2011. Selepas mengunjungi Al-Marhamah, Alinea.id mencoba menemui Subhansyah di kediamannya di Perumahan Bekasi Timur Regensi. Namun, Subhansyah sedang berada di luar kota. 

Saat diklarifikasi soal nama yayasannya yang masuk daftar pesantren radikal versi BNPT, istri Subhansyah irit bicara. Ia hanya menegaskan selama ini Yayasan Al-Marhamah hanya fokus pada bidang sosial sebagai pondok yatim dhuafa. 

"Saya katakan tidak ada hal yang berbau teroris radikalisme di Yayasan Al-Marhamah. Kami sempat dengar berita soal pondok pesantren yang terindikasi jaringan teroris," kata perempuan yang enggan disebut namanya itu. 

Istri Subhansyah menyayangkan pesantren yang didirikan suaminya bisa masuk dalam daftar BNPT. Sepengetahuan dia, Al-Marhamah hanya fokus kepada pembinaan pendidikan anak-anak dari kaum dhuafa. "Kami hanya membantu mereka saja," ujar dia. 

Ilustrasi personel Densus 88. /Foto dok Humas Polri

Kaji ulang 

Kepada Alinea.id, Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan daftar pesantren "radikal" disusun berbasis riset. Pesantren-pesantren itu, kata dia, diduga radikal setelah ditinjau dari sejumlah aspek dan kriteria, semisal punya keterpautan erat secara ideologi dengan sebuah kelompok teroris. 

"Pesantren itu terafiliasi dengan jaringan terorisme sebagai strategi kamuflase atau siasat menyembunyikan diri dan agendanya (taqiyah), dan atau strategi tamkin, yaitu strategi penguasaan wilayah ataupun pengaruh dengan mengembangkan jaringan ataupun menginfiltrasi ke organisasi maupun institusi lain," ucap Nurwakhid, Minggu (30/1). 

Kadar radikalisme pesantren-pesantren itu, kata Nurwakhid, teridentifikasi dari adanya paham takfiri yang diajarkan para pengasuh ke para santri. Pada sejumlah pesantren, BNPT juga menemukan keterlibatan oknum pengurusnya dalam mendanai aktivitas jaringan teroris. 

"Mereka mengajarkan paham takfiri, dengan mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Bersikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan, serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas)," kata Nurwakhid.

Berbeda dengan tampilan di depan publik, menurut Nurwakhid, pesantren-pesantren yang dikategorikan radikal kental anti-Pancasila di balik layar. Pesantren-pesantren tersebut menolak pemerintahan yang sah saat ini dan mengusung konsep khilafah. 

"Sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks. Pada umumnya, mereka juga anti budaya ataupun anti kearifaan lokal keagamaan," jelas Nurwakhid.

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Direktur Indonesia Muslim Crisis Center Robi Sugara mempersoalkan parameter pesantren radikal yang dirilis BNPT. Menurut Robi, banyak instititusi yang tercatat dalam daftar BNPT yang sama sekali bukan pesantren. 

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, sebuah institusi memerlukan pernyataan tertulis berkomitmen pada Pancasila dan NKRI sebelum diizinkan jadi pesantren. Dalam daftar BNPT, menurut Robi, banyak institusi yang beroperasi tanpa izin dari Kemenag. 

"Sejumlah pesantren (radikal) yang disebutkan oleh Kepala BNPT bukanlah pesantren yang disebutkan dalam UU Pesantren karena mereka tidak memiliki izin operasional dari Kemenag," kata Robi kepada Alinea.id, Senin (31/1). 

Di luar polemik soal identitas legal pesantren, menurut Robi, BNPT harus berhati-hati dalam merilis data yang masih bersifat dugaan. Apalagi, data tersebut mengaitkan institusi berbasis agama dengan kelompok teroris. 

"Jumlah pesantren di Indonesia ada sekitar hampir tiga puluh ribuan yang mana pernyataan Kepala BNPT itu sangat merugikan pesantren yang lainnya," kata Robi. 

Namun demikian, Robi mendukung tindakan tegas bagi pesantren-pesantren yang terbukti menyokong kelompok teroris. "Jika terindikasi melanggar, UU Terorisme bisa digunakan untuk penangkapan. Jadi, tangkap dan lembaganya dibubarkan dan tempatnya disita negara," imbuhnya. 

Anggota Komisi III DPR dari Didik Mukrianto sepakat perlunya kehati-hatian dalam menelaah pesantren yang terindikasi terafiliasi jaringan teroris. Menurut dia, data BNPT sangat rawan meningkatkan ketegangan serta merusak hubungan harmonis antara pemerintah dan pesantren.

"Menginstitusionalisasi pesantren dalam kaitan dengan terorisme harus sangat hati-hati, terukur, dan akuntabel. Jangan sampai kemudian menimbulkan tafsir, persepsi, dan spekulasi yang berlebihan, dan bahkan judgement dari masyarakat," kata Didik kepada Alinea.id, Selasa (1/2). 

Lebih jauh, Didik meminta BNPT mengkaji ulang daftar pesantren yang diduga terafiliasi kelompok teroris. Ia berharap data tersebut bisa disertai bukti-bukti valid yang bisa menunjukkan hubungan antara pesantren dan kelompok teroris secara langsung. 

"Saya berharap agar BNPT bisa membuat pendalaman dan pemetaan lagi yang lebih utuh, terukur, dan penuh kecermatan dan kehati-hatian. Apakah benar kelembagaannya ataukah perilaku oknumnya saja?" ujar politikus Partai Demokrat itu. 
 

Berita Lainnya
×
tekid