sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kontras kantor layanan publik DKI di era transisi: Yang abai dan yang taat protokol

Kantor-kantor pelayanan publik kerap jadi tempat berkerumunnya warga karena abai terhadap protokol Covid-19.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 14 Jul 2020 17:14 WIB
Kontras kantor layanan publik DKI di era transisi: Yang abai dan yang taat protokol

Ruang pembayaran pajak kendaraan bermotor di Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Jakarta Barat di Jalan Daan Mogot, Jakarta, penuh sesak, Senin (6/7). Antrean mengular dan hampir semua kursi tunggu terisi. 

Lorong-lorong di ruang pelayanan juga dipenuhi kerumunan warga. Saking padatnya, jarak fisik sejauh satu meter sebagaimana diharuskan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 "terpaksa" dilanggar. Bahkan, sebagian warga tampak berdempetan saat menunggu dilayani petugas. 

"Dari tadi belum dipanggil-panggil," ujar Aris, salah satu warga yang ikut dalam antrean, saat berbincang dengan Alinea.id di Kantor Samsat Jakarta Barat. 

Aris berencana membayar pajak kendaraan bermotornya yang hampir jatuh tempo. Ia tiba di Kantor Samsat Jakarta Barat pada pagi hari. Namun, hingga pukul 13.00 WIB, nama Aris belum juga dipanggil oleh petugas. 

Meski mengaku tidak nyaman dengan kondisi berdesakan di ruang pelayanan, Aris memutuskan tetap menunggu. "Lama banget antreannya," ujar warga Jembatan Tiga, Jakarta Barat, itu. 

Keluhan serupa juga dilontarkan Dian, warga Cengkareng, Jakarta Barat. Selain lelah karena mengantre berjam-jam, Dian mengaku khawatir tertular Covid-19 karena berdesak-desakan. "Rapet-rapet banget ini," ujar Dian kepada Alinea.id

Kepadatan di ruang pelayanan terjadi karena petugas tidak membatasi warga yang boleh masuk saat di pintu depan kantor. Walhasil, warga pun bebas keluar masuk ruang pelayanan. Kursi-kursi yang seharusnya dilarang diduduki pun "ludes".  

Saat dikonfirmasi, Kepala Unit Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Samsat Jakarta Barat, Hawan Aries Bhirawa mengatakan penumpukan antrean sempat terjadi karena gangguan sistem pelayanan. 

Sponsored

"Pada waktu kemarin, memang ada offline. Karena offline, antreannya jadi enggak berjalan seperti biasa. Jadi, tersendat pelayanannya dan akhirnya terjadi penumpukan," ujar Hawan kepada Alinea.id, Sabtu (11/7).

Hawan mengaku telah berupaya mencegah terjadinya penumpukan warga dengan mengupayakan pembayaran via daring melalui sistem Samsat Online Nasional (Samolnas). Ia juga telah menyediakan dua mobil Samsat keliling di halaman depan kantor untuk melayani warga yang datang.

Sejumlah mobil Samsat keliling juga telah disebar ke beberapa titik untuk memudahkan warga membayar pajak. "Sekaligus supaya orang tidak berbondong-bondong ke Samsat pusat agar mengurangi antrean," jelas Hawan. 

Akan tetapi, Hawan mengaku masih saja kerepotan mengatur masyarakat yang datang ke Samsat. Tak hanya soal mengantre dan menjaga jarak, para pengunjung juga kerap kedapatan tidak mengenakan masker.

"Kami selalu mengingatkan. Tapi, kadang-kadang mereka enggak pakai masker. Padahal, kami sudah pasang spanduk yang isinya ini (Samsat) wilayah wajib masker," kata dia. 

Kondisi berbeda didapati Alinea.id saat berkunjung ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta, Jalan Letjen S Parman, Jakarta Pusat, Senin (13/7) lalu. Di tempat itu, protokol kesehatan ketat diberlakukan. 

Jumlah pengunjung yang boleh masuk ruang pelayanan dibatasi supaya tidak terjadi antrean. Keluarga atau sanak saudara yang ikut mendampingi hanya diperbolehkan menunggu di luar ruang pelayanan. 

Para petugas keamanan bersiaga untuk memastikan warga tidak berkerumun. "Yang tak berkepentingan tunggu di luar aja biar enggak numpuk di dalam," ujar salah seorang petugas.  

Pelayanan terhadap warga juga diatur melalui nomor antrean. Setelah mengambil nomor, warga yang datang hanya tinggal menunggu nama mereka dipanggil di kursi-kursi yang telah diatur sesuai dengan sesuai dengan prinsip physical distancing. 

Penumpukan antrean warga di Kantor Samsat Jakarta Barat, Jalan Daan Mogot, Jakarta, Senin (6/7). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

DKI Jakarta belum siap 

Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyayangkan masih ada institusi pemerintah yang mengabaikan protokol kesehatan Covid-19. Apalagi, jumlah kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta terus melonjak signifikan dalam beberapa hari terakhir. 

"Hari ini ada pengumuman kenaikan kasus 400 di DKI Jakarta hampir dua kali lipat dari hari sebelumnya. Tandanya, memang di DKI Jakarta ini hampir tak ada PSBB. Dikatakan pemerintah DKI Jakarta PSBB transisi. Kami menyayangkan seolah-olah akan kembali ke normal, padahal situasinya belum normal ," jelas Hermawan kepada Alinea.id, Minggu (12/7).

Menyoal kasus-kasus membludaknya jumlah warga yang mendatangi tempat-tempat pelayanan publik, Hermawan mengatakan, kesalahan ada pada instansi pemerintah. Menurut dia, seharusnya kepala instansi dan para petugas bisa mengelola jumlah pengunjung yang datang sesuai dengan prinsip pembatasan sosial berskala besar (PSBB).   

"Apa yang terjadi di Samsat itu jelas karena hilangnya pengawasan. Jadi, mesti ada protokol kesehatan dan pengawasan kesehatan. Masyarakat tidak bisa disalahkan. Mereka begitu karena adanya kesempatan lantaran pemerintah turut gegabah dalam ambil keputusan," kata dia. 

Menurut Hermawan, ironis jika pemerintah pusat dan daerah menuntut kedisiplinan masyarakat mematuhi protokol kesehatan Covid-19, sementara para petugas pelayanan publik terkesan tidak memiliki komitmen untuk menegakkan protokol kesehatan tersebut. 

"Bayangkan kalau masyarakat umum bisa taat, sementara institusi pemerintah saja begitu longgarnya. Jadi, di sini bisa dilihat konsistensi pemerintah kita. Kami, dari perspektif kesehatan, cukup menyayangkan," ujar Hermawan. 

Hermawan mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk mengevaluasi pelaksanaan PSBB maupun PSBB transisi. Menurut dia, PSBB di Jakarta tidak berjalan optimal lantaran banyak pihak yang menganggap enteng bahaya Covid-19. "Karena kita belum melewati puncak kasus dan belum terkontrol alias belum terkendali," imbuh dia.

Lebih jauh, Hermawan juga menyarankan supaya Pemprov DKI Jakarta tidak gegabah membuka kembali ruang-ruang publik yang sempat ditutup pada masa PSBB. Menurut dia, kerumunan-kerumunan yang muncul di ruang publik bakal meningkatkan risiko penularan virus Covid-19. 

"Belum lagi ada wacana pembukaan area pariwisata, kemudian bioskop dan juga ada resto-resto. Bahkan, cafe-cafe juga dibuka. Itu cukup berbahaya. Kami melihat, di DKI Jakarta sekalipun, apalagi di Indonesia secara keseluruhan, itu belum tepat dibuka semua," ujar dia. 

Ia menyarankan Pemprov DKI Jakarta kembali ke konsep awal PSBB, yakni hanya membuka sektor-sektor ekonomi tertentu. "Sebagai contoh, pembukaan car free day itu kan menyebabkan ribuan orang kembali berkerumun. Apa hubungannya car free day coba dengan aktivitas ekonomi di saat pandemi?" kata dia. 

Petugas memeriksa suhu tubuh pemohon SIM sebagai salah satu protokol pencegahan Covid-19 di Satpas SIM Ditlantas Polda Metro Jaya, Daan Mogot, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. /Foto Antara.

Pemerintah harus tegas 

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan menilai kasus-kasus tidak berjalannya protokol kesehatan di institusi pelayanan publik menunjukkan lemahnya sense of crisis yang dimiliki aparatur sipil negara dan para pejabat setempat. 

"Ini patut disayangkan. Terlebih, Presiden Jokowi baru saja mengingatkan jajarannya untuk memiliki sense of crisis. Situasi sekarang ini tidak normal dan membutuhkan langkah extraordinary," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (10/7).

Menurut Satria, institusi pelayanan publik mesti mereformasi diri agar tidak malah muncul menjadi klaster-klaster baru penularan Covid-19. Apalagi, banyak kantor-kantor pelayanan publik yang kembali buka seperti sedia kala pada era kenormalan baru. 

Demi mencegah instansi pelayanan publik malah jadi tempat berkumpulnya kerumunan orang, Satria menyarankan penguatan sistem pelayanan secara daring. "Sebelum Covid-19 itu sudah dikembangkan, namun lambat. Dengan adanya Covid-19, yang lambat itu harus dipercepat. Sistem online itu, mau ada Covid-19 atau tidak, memang bagian dari reformasi birokrasi," tutur dia.

Alinea.id/Dwi Setiawan

Lebih jauh, Satria juga meminta agar petugas di kantor-kantor pelayanan publik bersikap tegas. Jika sudah membuka pelayanan secara online, maka pelayanan konvensional secara tatap muka harus ditiadakan. Warga yang kadung datang ke instansi pemerintah pun tidak boleh dilayani. 

"Institusi pelayanan publik berani membubarkan atau menolak layanan publik secara langsung jika terjadi penumpukan atau hal-hal yang bisa dilakukan secara online. Karakteristik manusia Indonesia itu tidak bisa abu-abu. Ketika ada kerumunan, maka harus ditegakkan protokol dengan membubarkannya," jelas Satria.  

Hal lain yang perlu digenjot, lanjut Satria, ialah sosialisasi mengenai dibukanya pelayanan online di berbagai instansi. Menurut dia, kebanyakan warga datang ke kantor-kantor pemerintahan karena tidak tahu keperluan-keperluan mereka bisa dipenuhi secara online

"Artinya instansi pelayanan publik digital harus proaktif. Terus melakukan edukasi digital service melalui platform social media, televisi, dan koran," kata Satria.

Berita Lainnya
×
tekid