sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kala bocah-bocah ini Lebaran tanpa ayah dan ibu

Terjerat kasus hukum dan menjalani rehabilitasi, anak-anak ini menjalani Idulfitri tanpa orang tua untuk pertama kalinya.

Khudori
Khudori Minggu, 24 Mei 2020 09:33 WIB
Kala bocah-bocah ini Lebaran tanpa ayah dan ibu

Siang itu langit tampak cerah. Tiga orang anak, D (16), A (9), dan AR (4) keluar dari asrama Balai Rehabilitasi Sosial Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus Handayani, Jakarta Timur. Mereka ditemani tiga orang dewasa yang menjadi pengasuh serta pekerja sosial ketiga anak tersebut.

Ketiga anak laki-laki itu duduk rapi di teras salah satu kantor di kawasan balai. Dua dari mereka menggunakan masker, sedangkan AR tidak. Entah tak suka, tak nyaman atau tak biasa. Setiap pengasuh mencoba memasangkan masker di muka AR, setiap itu pula masker dilepaskannya.

Sesekali AR berlari-lari kecil ke sana kemari. Ia tampak riang menikmati hari-harinya. Keceriaan itu tidak lepas dari peran pengasuh yang selalu mengajak bermain dengan semangat. Di sisi lain, D dan A terlihat lebih banyak diam sambil mendengarkan Sri Musfiah, pekerja sosial di tempat itu, bercerita.

Balai ini menampung 50 anak. Dari jumlah itu, sebanyak 46 di antaranya telah dipulangkan sementara secara bertahap oleh pihak balai terhitung sejak akhir Maret 2020. Ada yang pulang ke Cirebon, Sukabumi, DKI Jakarta, dan Tangerang. Pemulangan sementara ini bukan tanpa sebab. Langkah tersebut diambil untuk menjaga mereka agar tidak tertular virus corona atau Covid-19.

D, A, AR, dan NF (15) saat ini belum bisa pulang ke rumah masing-masing. Keluarga mereka belum siap menerima bocah-bocah itu. Juga ada faktor tertentu yang membuat mereka harus menahan rindu lebih lama untuk bertemu ayah, ibu, kakak, adik dan sanak saudaranya.

Kini, hari-hari mereka berempat dihabiskan bersama para petugas dan pengasuh. Sepanjang Ramadan, berbagai aktivitas keagamaan dilakukan mulai dari puasa, salat berjamaah di masjid hingga tadarus. Tentu dengan mempertimbangkan protokol kesehatan baik itu menjaga jarak, pakai masker dan cuci tangan.

Tahun ini merupakan kali pertama mereka berempat merayakan Idulfitri tanpa orang tua dan anggota keluarga. Rindu sudah tentu. "Saya mau hubungi ibu dulu, mau minta maaf. Mau hubungi ayah juga, mau minta maaf," kata D sembari mata berkaca-kaca.

Perisakan berujung pembunuhan

D berasal dari Provinsi Bengkulu. Ia sudah tiga bulan menghuni Balai Handayani untuk menjalani proses rehabilitasi. Ia tersandung masalah hukum lantaran menghilangkan nyawa seseorang.

D mengaku melakukan perbuatan nekat itu karena terus menerus diejek dan ditantang berkelahi. Puncak dari perundungan terjadi saat kenaikan ke kelas dua SMP. Bukan tak bertanggung jawab, setelah kejadian itu D mengaku langsung menyerahkan diri ke pihak kepolisian.

Menghuni balai, D mengaku banyak mendapatkan pengalaman berharga, terutama untuk memperbaiki diri sendiri. "Saya mulai rutin salat lima waktu, mengaji dan puasa juga tidak ada yang batal," kata D.

Kerinduan kepada orang tua tak bisa D sembunyikan. Berkali-kali ia tersenyum kecut saat menceritakan kedua orang tuanya di kampung. Sikap ramah para pendamping sosial dan para pengasuh belum bisa membunuh kerinduannya yang mendalam.

Untuk membunuh lara, D sering mengajak teman-temannya bermain bulu tangkis di pekarangan balai. Bukan hanya teman sebaya, ia juga merangkul bocah-bocah yang jauh lebih belia.

Ia mengaku menyesal telah melakukan kesalahan fatal sehingga harus menjalani rehabilitasi di Jakarta dan jauh dari orang tua. Baginya, saat ini melalui hari-hari jauh dari keluarga terasa begitu berat, namun tidak ada pilihan. Semua proses rehabilitasi harus dijalaninya dengan baik dan berharap segera pulang.

D tidak patah arang. Ia optimistis dapat melewati hari-hari kelamnya. Ia bertekad memberangkatkan kedua orang tuanya naik haji dari hasil jerih payahnya suatu saat nanti.

"Saya bercita-cita jadi tentara. Kenapa? Saya ingin membanggakan orang tua dan mengabdi pada negara. Tidak hanya itu, jika terwujud ingin juga ayah dan ibu naik haji," katanya dengan suara terisak.

Kangen orang tua

Perayaan Idulfitri pertama jauh dari sanak keluarga juga dialami A. Sulung dari dua bersaudara ini berasal dari Kalimantan Utara. Ia tampak malu-malu saat diajak berbincang. Tidak jarang pula ia bercerita sembari berguling-guling.

Guratan kesedihan tergambar dari raut wajahnya. Apalagi kala menyadari Lebaran tahun ini tanpa orang tua dan saudara. Seperti D, ia juga meminta pendamping agar bisa video call dengan orang tuanya saat Idulfitri.

Selain sekadar melepaskan rindu, ia akan meminta maaf atas perbuatannya. "Kangen sama orang tua," ucap A tertunduk. Entah apa yang dirasakannya.

Kondisi berbeda dialami AR. Di usianya yang baru menginjak empat tahun, ia harus terpisah dengan ibu dan ayahnya yang bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) di Taiwan.

AR merupakan balita yang dijemput oleh Pemerintah Indonesia dari Taiwan karena tidak memiliki dokumen kependudukan yang lengkap saat lahir hingga berusia sekitar tiga 3,5 tahun di negara tersebut.

Pertama kali tiba di Tanah Air pada November 2019, ia bersama 11 balita lain langsung diasuh di Balai Handayani. AR dan tiga balita lain saat itu sama sekali tidak bisa dan mengerti Bahasa Indonesia.

Untuk berkomunikasi, para pengasuh menggunakan Bahasa Mandarin serta bahasa isyarat. "Orang tua mereka mengajari Bahasa Mandarin, bukan Bahasa Indonesia. Jadi mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia," kata Erni, pengasuh AR, yang pernah bekerja di Taiwan selama enam tahun.

Sejak diasuh di balai hingga kini AR belum pernah berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Sementara tiga balita yang menggunakan Bahasa Mandarin lain sudah dipulangkan ke keluarganya masing-masing.

Situasi berbeda terjadi pada NF. Remaja yang terjerat kasus pembunuhan bocah lima tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat, itu juga harus merayakan Idulfitri di Balai Handayani.

NF bisa bernafas lega karena anggota keluarganya telah membuat janji dengan pihak balai. Rencananya, keluarga NF berkunjung ke balai saat Idulfitri yang jatuh pada Minggu (24/5).

Merayakan kemenangan

Meski tidak bisa bertemu dan berkumpul dengan orang tua, keluarga dan kerabat lainnya anak-anak di Balai Handayani akan tetap merayakan hari kemenangan dengan suka cita dan kesederhanaan.

Para pengasuh, pekerja sosial dan petugas di Balai Handayani tetap menghidupkan nuansa Idulfitri sebagaimana mestinya para anak-anak tersebut rasakan. Balai memberikan hal-hal sederhana, namun akan tetap bermakna bagi mereka.

Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Idulfitri identik sebagai kesempatan untuk mendapatkan baju baru dari orang tua. Keempat anak di balai juga diberikan hal serupa agar mereka tidak berkecil hati. "Mereka sudah kami siapkan baju lebaran dan juga kue Lebaran," kata Sri Musfiah.

D, A, AR dan NF akan diajak salat Id berjamaah di masjid Balai Handayani apabila memang ada kegiatan salat berjamaah. Jika tidak, ibadah akan tetap dilakukan di asrama bersama para pengasuh.

Tidak hanya itu, ketupat Lebaran juga disediakan di balai. Anak-anak akan diajak makan ketupat bersama usai salat Id. Agar makna Lebaran tetap dapat mereka rasakan layaknya saat mereka merayakan bersama keluarga masing-masing pada tahun-tahun sebelumnya. (Ant)

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid